Chereads / GRANDE / Chapter 4 - Kejutan

Chapter 4 - Kejutan

"Alice!"

Yang dipanggil menoleh. Bukan hanya dia saja, tapi seluruh orang yang ada di dalam store. Sebab, cara bicara Aaron mengundang perhatian.

Alice bangkit perlahan. Tidak ia sangka bahwa Aaron akhirnya sampai sini juga.

"Aaron ...."

Aaron segera mendekat. Ia memeluk Alice, tidak peduli bahwa mereka sedang ada di pusat keramaian.

Alice terbelalak. Ia terlambat merespon pelukan. Meski begitu ia lama-lama sadar, tidak seharusnya mereka seperti ini.

Aaron pasrah saat Alice melepas pelukan. Ia berusaha bersikap normal dan tenang.

"Ada apa?"

Aaron melihat sekitar. Orang-orang yang sebelumnya memperhatikan kini mulai menjalankan keperluan mereka masing-masing.

"Minta maaf."

Aaron menunjukkan wajah penyesalan. Sementara itu Alice melipat kedua tangan sambil agak menertawakan, menghina maksud kedatangan Aaron.

"Serius? Sekarang? Setelah kamu mengumpatku dan menghancurkan buket itu?"

"Eh, kamu tahu?"

Alice memiringkan sudut bibirnya.

"Tentu saja. Kamu pikir aku tidak peka dan tidak bisa menebaknya?"

Aaron menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. Ia salah tingkah dan merasa malu.

Alice semakin terlihat sok dan jual mahal. Aaron lalu menarik tangannya, menggenggam.

"Maafkan aku, Alice. Serius, aku bersungguh-sungguh."

"Hmm, yakin?"

"Ya. Katakan! Apa yang harus aku lakukan untuk meyakinkanmu?"

Alice berpikir, sebentar.

"Tidak ada."

"Jadi?"

Alice melepas tangan Aaron.

"Bagaimana bisa membuktikannya kalau kemungkinan itu masih akan terjadi di masa depan?"

"Maksudmu?"

"Mungkin saja kamu akan mengumpatku dengan lebih parah. Atau mungkin juga akan ada kekerasan."

Aaron tertawa kecil.

"Mana mungkin? Yang ada hanya celotehanmu soal kesempurnaan."

Alice memonyongkan bibirnya. Ia merasa kesal.

"Dan aku yang selalu berusaha memahamimu."

Alice tersentuh. Raut kekesalan perlahan menjauh dari wajahnya.

"Aaron ...."

Aaron membentangkan tangan. Ini tanda siap memberikan pelukan.

Dengan mimik wajah mellownya, Alice menghambur ke tempat yang sudah Aaron sediakan. Keduanya lalu resmi berpelukan.

Lagi, kelakuan Aaron dan Alice di tengah khalayak ramai jadi pusat perhatian. Bedanya, yang sekarang durasi pengalihan fokus itu hanya sebentar.

"Hmm, seperti tokoh kartun yang suka bertengkar, lalu beberapa jam kemudian baik lagi," komentar staf store yang tadi menerima telepon dari Aaron.

"Ya. Mungkin sebentar lagi mereka akan kembali bertengkar. Lihat saja!" tambah seorang staf lain.

Aaron dan Alice melepas pelukan. Ekspresi bahagia mereka terpancar.

"Kamu ini ... selalu saja bisa membuatku luluh."

"Harus. Siapa namaku? Aaron!"

Alice meledek Aaron. Ia juga memukul lengannya.

"Ya sudah, pergi sana! Aku harus kembali bekerja."

"Eh, mana bisa begitu?"

"Ya kenapa tidak?"

"Karena kamu diculik."

Tanpa basa-basi, Aaron segera menggendong Alice. Perempuan itu secara refleks juga melingkarkan tangan pada leher Aaron.

Seluruh tatapan lagi-lagi tertuju pada Aaron dan Alice. Kepergian mereka diiringi.

Aaron terus menatap Alice selama menggendongnya keluar. Itu baru teralihkan saat mereka sampai mobil dan Aaron harus menurunkannya.

"Sebentar, Tuan Putri."

Alice terkekeh.

"Ya. Baik, Pak Sopir."

Aaron membukakan pintu mobil. Posisinya tepat di samping sopir.

"Nah, silakan."

"Oke. Terima kasih."

Alice masuk. Aaron menutup kembali pintunya. Ia lalu menempati posisi sendiri.

"Kita berangkat."

Aaron tancap gas. Mobilnya melaju melewati jalanan yang tadi dilalui.

"Apa yang akan kita lakukan? Shopping? Kencan? Menonton film? Atau yang lain?"

"Makan. Aku tahu kamu belum melakukannya."

"Uh, seperti cenayang saja."

Aaron tersenyum kecil.

"Hanya mencoba peka."

Mobil Aaron terus membelah jalanan. Kadang ramai, kadang juga lengang.

"Eh, mau kemana kita? Sepertinya tidak asing. Sebentar, apa ini jalan menuju hotel? Restomu?"

"Tepat!"

Alice cemberut.

"Kenapa lagi-lagi ke resto? Kita sudah mencicipi semua makanan dan minuman di sana, Aaron."

"Hei, jangan negative thinking! Aku sudah pesankan menu berbeda, di luar menu yang ada di resto."

Alice tetap cemberut, bahkan lebih parah. Sesaat Aaron fokus menyalip kendaraan di depan.

"Please, apa tidak bisa kita makan di tempat lain?"

"Please juga, tolong dengarkan permintaanku kali ini."

Alice pasrah.

"Ya ... ya. Baiklah."

Aaron menambah kecepatan. Ia ingin segera sampai dan merealisasikan rencana makan malam dengan Alice.

Tidak lama berselang, Aaron dan Alice sampai juga di hotel. Pertama, mereka harus parkir dulu di basement. Setelahnya baru berjalan menuju resto.

"Lelah, tidak? Mau kugendong lagi?"

Alice memukul lengan Aaron, kekasih yang menggodanya.

"Tidak. Tidak usah. Aku masih sanggup jalan sendiri."

"Serius lho ini."

"Sudah, tidak perlu."

Aaron dan Alice melangkah beriringan menuju resto yang terletak di lantai dasar. Aaron baru menggandeng tangan Alice ketika mereka sudah mencapai pintu kaca.

"Selamat malam, Pak, Nona Alice!"

Aaron dan Alice kompak menebar senyuman.

"Malam!"

"Halo! Selamat malam!"

"Silakan."

Waitress mengulurkan tangan, memberi arahan soal kemana Aaron dan Alice harus melangkah. Ia juga mendampingi Aaron dan Alice. Jadi, mereka bertiga beriringan.

"Silakan, Nona."

Alice duduk di kursi yang sebelumnya sudah dimundurkan sang waitress. Posisinya berhadapan dengan Aaron.

Mata Alice menyapu sekeliling. Ia mencari-cari hal yang sekiranya beda, selain menu makanan baru, sesuai kata Aaron.

Bersamaan dengan perginya sang waitress untuk mengambil pesanan, Aaron juga fokus pada tingkah Alice. Ia sampai harus menempatkan tangannya di atas tangan Alice.

"Hei, kenapa?"

"Aaron, tempat ini bahkan tidak berubah sedikitpun. Jadi, hanya makanan khusus malam ini yang beda?"

Aaron tersenyum.

"Sebagian besar orang akan selalu menyukainya, Alice. Tapi, mungkin memang ada yang khusus malam ini selain makanan, dan itu hanya untukmu."

"Emhh, maksudmu? Ayo, katakan yang jelas! Jangan membuatku penasaran!"

Waitress datang bersama 1 temannya, sesama waitress. Tidak sendiri, mereka membawa serta trolley yang sudah terisi lengkap dengan 2 minuman dan beberapa menu makanan.

Pertanyaan Alice masih belum terjawab. Sebab, fokus baru saja teralihkan. Aaron melihat setiap proses pemindahan makanan ke atas meja. Pun, Alice otomatis mengikutinya.

Ada ayran, pide, borek, kofte, dan baklava. Jelas sudah apa itu semua. Menu Turki!

"Ada yang Pak Aaron dan Nona Alice butuhkan mungkin?"

Aaron mengecek kelengkapan.

"Emhh, tidak ada sementara ini. Terima kasih."

"Baik. Selamat menikmati!"

2 waitress undur diri. Mereka meninggalkan Alice yang terpana dengan sajian di hadapan.

Aaron membalikkan piring untuk diri sendiri juga Alice. Ia lalu menyesap ayran, memberi kode pada Alice untuk melakukan hal serupa.

"Bagaimana? Enak."

"Yup."

"Kalau begitu, apa ini bisa disebut hal yang berbeda dari restoku?"

"Tentu, Aaron."

Aaron bersikap melayani. Ia meletakkan sebuah kofte, daging giling khas Turki di masing-masing piring.

Alice menunjukkan rasa antusiasme tinggi. Ia segera mencicipi.

"Wah, Aaron, ini lezat sekali!"

"Harusnya kamu katakan itu pada chef di belakang."

Alice mengunyah makanannya dengan benar.

"Baiklah. Sampaikan itu pada mereka nanti!"

"Oke. Tapi kamu harus coba yang ini dulu."

Aaron menyajikan borek, lalu pide. Ia membuat Alice melupakan soal pantangan makan banyak yang akan mengurangi kecantikan.

"Lezat juga?"

"Ya, pastinya."

Aaron dan Alice terus memenuhi perut mereka. Di atas meja hanya tersisa sedikit bagian untuk masing-masing makanan.

"Nah, yang terakhir."

Aaron mengambil sepotong baklava. Ia memberikan makanan bercita rasa manis itu pada Alice.