"Dasar, tidak tahu terima kasih!"
Aaron benar-benar menatap Alice yang sudah pergi jauh meninggalkan. Ia lalu melihat sekeliling, menyadari bahwa dirinya sedang jadi pusat perhatian orang-orang.
Seolah tidak peduli, Aaron justru mempertegas sikapnya. Ia menginjak buket lalu menendang.
Aaron pergi setelah memasukkan tangan ke dalam saku celana. Tetap, gayanya selalu cool.
Segenap rasa kesal bersarang dalam hati. Ia bahkan sampai melupakan apa yang menjadi ciri khas dalam dunia perhotelan, keramahan.
"Pak? Halo, Pak!"
Staf marketing yang lewat memukul-mukul lengan temannya, 1 departemen juga. Mereka sama-sama perempuan.
"Apa? Kenapa?"
"Itu ... kenapa Pak Aaron? Tidak biasanya dia seperti itu."
"Hmn, entahlah. Mungkin dapat komplain, atau kinerja karyawan tidak sesuai ekspektasi."
"Ah? Mana mungkin? Baru saja acaranya selesai. Pak Aaron pasti fokus dengan Nona Alice tadi. Apa masuk akal jika mereka bertengkar?"
Sejenak teman staf marketing berpikir. Ia geleng-geleng kepala kemudian dan mengibaskan tangan, menghancurkan apa yang sedang terlintas di pikirannya.
"Sudah...sudah! Ayo, cepat temui client yang sudah menunggu! Pak Aaron dan kekesalannya itu hanya akan membuat pekerjaan kita terganggu."
"Hmm, ya...ya."
2 staf marketing berlalu. Bersamaan dengan ini, keriuhan di dalam ballroom sudah tidak terdengar lagi. Yang ada hanya keramaian dari gerombolan orang, bergantian keluar ruangan.
Semua tampak sudah siap dengan aktivitas selanjutnya yang menyambut. Pun begitu dengan Aaron. Ia hendak menuju kamar pribadinya sekarang, mengakhiri jam kerja.
Seiring dengan langkah kaki, tiba-tiba ada 2 manager yang menghampiri. Mereka tampak tergopoh-gopoh.
"Pak Aaron, di sini anda rupanya. Kami sudah mencari-cari dari tadi."
"Ya, Pak. Bapak katakan hanya mendampingi Nona Alice di awal acara, tapi ternyata sampai akhir dan lama sekali."
Manager yang lain mengangguk, mengiyakan.
Raut sok muncul di wajah Aaron.
"Lalu?"
"Maaf, Pak, tapi apa Bapak lupa dengan meeting bersama seluruh manager?"
"Benar, Pak. Maksudnya, kalau dicancel, ya tidak apa-apa.
Aaron menunjukkan sikap akan menanggapi dengan santai.
"Ya sudah, cancel saja! Saya sedang tidak mood."
Aaron melenggang, meninggalkan 2 manager. Sikapnya benar-benar jauh dari kata dewasa dan profesional.
"Kenapa Pak Aaron? Hmm...."
"Biasa, Pak. Namanya juga jadi presdir di usia muda, ya begitu."
"Ya sudah, mari kabari manager-manager departemen lain."
"Baik."
***
Kata-kata protes yang keluar dari mulut Alice terus terngiang di telinga Aaron. Ia sampai mengepalkan tangan karena mengenang kejadian itu.
Dasi yang dipakai dikendurkan. Aaron mendekati sofa lalu menduduki kemudian.
Di meja yang terlihat serasi dengan sofa, ada 2 botol champagne serta sebuah gelas yang ada sedikit cairan di dalamnya. Plus, ada 1 stoples kacang juga. Jelas sudah siapa pemiliknya.
Aaron mendekatkan gelas, mengambil botol lalu menuang tiga perempat champagne ke dalamnya. Sesaat Aaron menikmati aromanya, lalu meminum beberapa teguk.
Begitu tenggorokan teraliri, gelas diletakkan kembali di atas meja. Aaron menyandarkan diri kemudian, membuat rasa nyaman itu hadir.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki, khas sekali. Sudah pasti itu perempuan dan namanya ....
"Alice?"
Alice memeluk leher dan pundak Aaron, membuat laki-laki yang sempat menoleh ke belakang itu menatap ke depan, ke arah TV berukuran besar. Ia semakin membuat Aaron menikmati pelukan yang dilayangkan.
Aaron meremas tangan Alice. Ia lalu membuka matanya yang terpejam. Alice lantas ditarik, diarahkan untuk duduk di sebelah Aaron, persis.
"Akhirnya kemari, tapi setelah aku menunggu lama."
"Ya mau bagaimana lagi? Kamu tahu, aku sedang sibuk-sibuknya mengembangkan bisnis parfumku."
"Bagaimana? Lancar-lancar saja, bukan?"
"Ya ... begitulah."
Aaron merenggangkan tangan, memeluk pundak Alice, membuat kekasihnya lebih mendekat, menempel.
"Kalau bagus begitu, sebaiknya kita bahas hal lain saja."
Aaron menatap Alice.
"Emhh, apa?"
Aaron semakin mendekatkan wajahnya pada wajah Alice. Ia memberikan tekanan.
Perlahan Aaron mulai mengecup. Tangannya memegang wajah Alice dengan penuh kelembutan.
Alice yang agak terkejut dengan perlakuan itu perlahan juga mulai membalas. Ia bahkan menikmati. Terbukti, Alice meletakkan tangannya di pinggang Aaron.
Detik demi detik berlalu, Aaron mulai membuat hal romantis itu menjadi liar dan panas. Ia mendorong tubuh Alice agar telentang di sofa.
Sambil terus melakukan sesi kecupan, Aaron membuka pakaiannya sendiri. Ia lalu membuka milik Alice.
Malam ini, Aaron dan Alice akhirnya bersatu. Mereka berdua sama-sama banjir peluh.
"Aaron ... kamu hebat sekali!"
Alice masih senyum-senyum sendiri, mengenang. Aaron juga senang dipuji begitu. Ia makin memeluk erat Alice.
"Terima kasih. Kamu juga pintar memuaskanku, Alice."
Alice membenahi posisi, ingin lebih nyaman dalam pelukan Aaron.
"Lebih dekat lagi, Aaron. Kehangatan itu sudah hilang. Aku merasa dingin sekarang."
Aaron melihat Alice. Bukannya memenuhi permintaan, Aaron justru bangkit.
Selimut super tebal dan nyaman, benda inilah yang rupanya diambil Aaron. Ia lalu kembali lagi pada Alice, pada posisi awal. Lantas ia menyelimuti diri sendiri dan Alice.
Sang kekasih mengumbar senyum. Ia sungguh senang dengan perlakuan yang didapat, juga menikmati kehangatan.
Rusak! Suasana penuh cinta yang berlangsung itu harus bubar. Sebab, smartphone Aaron berdering.
Aaron melihat ke kanan dan kiri, juga sampingnya. Tidak ada siapapun. Jadi, ia hanya berkhayal saja? Ah!
"Ya. Halo?"
"Halo! Selamat Malam! Pak Aaron, saya staf in charge resto malam ini. Mau konfirmasi, Pak. Soal reservasi Bapak, jadi atau dicancel?"
Aaron menepuk dahinya. Lupa betul ia dengan rencana itu.
"Sebentar, ee ... jadi. Ya ... saya usahakan jadi."
"Oh, baik, Bapak. Mungkin sedikit terlambat, ya? Kalau begitu biar kami koordinasikan dengan chef soal menu pesanan anda. Terima kasih."
"Ya. Oke."
Aaron memijat dahinya yang tidak sakit itu. Ia bingung tentang rencana apa selanjutnya.
"Ah, oke, kendalikan emosimu, Aaron! Cari dia dan perbaiki hubungan!"
Aaron yang baru saja melakukan monolog itu melirik sofa, bagian sampingnya, tapi di bawah.
"Lagipula siapa yang bisa jadi partner kegiatan panas? Hmm ...."
Aaron mengoperasikan smartphonenya. Ia mencari kontak seseorang lalu menelepon.
"Halo?"
"Ya. Selamat Malam! Alice's Parfume Store. Ada yang bisa dibantu?"
"Ya. Ini Aaron. Diam dan jangan membuat gaduh, karena ini telepon dariku!"
Staf perempuan yang terkejut lalu melihat sekitar, ramai, ada banyak orang. Ia lalu berusaha menenangkan diri.
"Baik, Pak."
"Katakan! Apa Alice ada di sana?"
Staf perempuan melihat ke arah Alice yang sedang duduk di sebuah kursi sambil memainkan smartphone.
"Ya, Pak."
"Katakan lagi! Dia belum makan apapun sejak kembali dari hotel, bukan?"
"Benar, Pak. Nona Alice belum makan malam, hanya sempat minum boba tadi."
"Ah, mana kenyang? Baiklah. Terima kasih infonya. Ingat! Jangan beri tahu siapapun kalau aku menelepon!"
"Baik, Pak."
Telepon diakhiri. Aaron mengambil kunci mobil dan bergerak meninggalkan kamar pribadi khusus presdir.
Mobil mewah Aaron segera meninggalkan basement. Ia dan kendaraannya memecah jalanan malam yang cukup ramai.
Dalam waktu yang sudah diperkirakan, Aaron akhirnya sampai juga di Alice's Parfume Store. Lokasinya strategis, dan tentu di pusat kota, mudah dijangkau.
Aaron agak menghempas pintu mobil. Pasalnya ia ingin segera menemui Alice.