Nata berbaring di sofa di ruang tengah. Dia telentang menatap langit-langit apartemen. Matanya terbuka sepanjang malam karena, ayolah, dia malaikat. Dia tidak butuh tidur.
Televisi menyala dengan volume rendah. Bukan Nata yang menyalakannya, melainkan seniornya yang kini duduk bersila di lantai sambil menyimak drama dengan hikmat. Sesekali dia menyeka air mata yang turun tanpa bisa ditahan.
Nata melirik Mikari. Seniornya itu memangku sekotak tisu dan tidak peduli dengan hal-hal lain di sekitarnya. Padahal tadi Mikari begitu bersemangat menggoda Nata tentang caranya yang membosankan dalam menenangkan Dara.
Mikari menggodanya habis-habisan soal itu. Jika saja mereka manusia, pasti darah sudah naik semua ke wajah Nata, membuatnya tampak merah karena malu.
"Mau sampai kapan kau di sini?" Nata bertanya meski lebih terdengar seperti usiran. Malaikat itu sudah lelah dengan kehadiran seniornya yang selalu tiba-tiba dan seenaknya.
Mikari balas melirik Nata sekilas. "Kau mengusirku?"
"Iya. Anggap saja begitu."
Mikari terkekeh. "Kau ingin menghabiskan waktu berdua dengan manusia itu, ya?"
Nata meraih bantal sofa dan melemparnya pada Mikari. Sebuah perbuatan kurang ajar memang, mana ada seorang junior dianggap sopan setelah melempar bantal tepat mengenai kepala seniornya. Tetapi seniornya itu malah tertawa dan tidak mempermasalahkan hal itu.
Dia meraih bantal untuk dia pangku dan lanjut menonton drama. Tidak peduli pada juniornya yang sedang kesal itu.
"Mikari.... Kau sungguh tidak mau pergi?"
Nata menatap intens punggung seniornya yang melengkung, sedikit condong ke depan karena ingin menonton lebih dekat. Mikari diam saja selama beberapa saat. Tidak ada suara selain bunyi percakapan antar tokoh dalam televisi yang diiringi latar musik dramatis—tentu saja, namanya juga drama.
"Kau sungguh mau aku pergi sekarang juga, huh?" balas Mikari dengan pertanyaan. Dia masih tidak berbalik untuk menatap Nata.
Nata pun mengangguk. Kemudian dia sadar Mikari tidak akan melihatnya. Dia pun menjawab, "Iya. Bisakah kau pergi sekarang?"
Dia mengucapkan itu tanpa ragu sedikit pun. Matanya masih melekat pada punggung seniornya, menunggu sosok itu untuk memberikan jawaban.
Sosok itu pun menoleh ke belakang, menatap Nata. Dia menyipit sesaat sambil memberikan tatapan yang entah apa maksudnya. Kemudian dia menjawab,
"Tidak." Mikari menunjukkan cengiran tanpa dosa. Dia pun lanjut menonton drama lagi. Dia sama sekali tidak peduli dengan juniornya itu. Lebih memilih memikirkan drama yang sedang menayangkan episode paling sedih dari episode lain.
Nata seketika bangkit dari rebahnya. Dia duduk dan menatap si senior dengan tidak terima.
"Apa kau tidak khawatir jika nanti Dara bangun dan melihatmu ada di sini? Apa kau tidak takut ketahuan?" tanya Nata dengan menggebu-gebu.
Dia sudah tidak tahan lagi dengan kelakuan seniornya yang begitu santai dan kukuh dan tidak mau pergi, menempel pada tempat duduknya seakan ada lem yang merekatkan bokongnya.
"Dia hanya akan menganggapku sebagai manusia yang berkunjung ke rumahmu." Mikari berdiri, meletakkan kotak tisu ke atas meja sofa, lalu melempar bantal ke wajah juniornya.
Dia meraih remote dan duduk di sebelah Nata di sofa. Dia sadar juniornya itu sedang menatap dirinya dengan begitu tajam. Menunggu dirinya untuk pergi dari tempat itu secepatnya.
Sayangnya Mikari masih dibuat larut oleh kisah drama itu. Dia belum kepikiran untuk pergi sekarang juga. Tetapi tatapan Nata lama-lama terasa mengganggu.
Mikari pun menghela napas, mengalah.
Dia menoleh pada Nata. "Baiklah, aku pergi. Kau puas sekarang?"
Nata tidak menjawab. Tetapi dia tidak bisa menahan senyumnya yang menyiratkan kepuasan. Semua kekesalan di wajahnya sudah lenyap begitu saja dalam waktu singkat.
Kemudian Mikari mendengus melihat itu. "Kau benar-benar senang aku pergi ternyata."
Nata terkekeh. Tidak berniat menjawab dengan bohong, tetapi juga tidak berniat menjawab dengan jujur. Dia tidak berniat menjawab apapun karena dia sudah merasa puas dengan kebersediaan Mikari untuk pergi.
Mikari mematikan televisi lalu merebahkan kepala ke puncak sandaran sofa. Dia menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Sementara Nata menatapnya dengan tidak sabar, tidak sabar menunggunya pergi dari sana.
Mikari memejamkan mata sejenak.
"Jadi, bagaimana perkembangan misimu?" tanyanya mendadak.
Nata yang tadinya senang karena seniornya akan pergi, tiba-tiba saja harus menghadapi hal lain. Mikari membuat suasana berubah menjadi serius hanya dengan satu pertanyaannya saja.
Nata meneguk ludah tanpa sadar. Dia gugup.
Sekalipun dia punya rencana yang menurut dia cukup mudah walau akan memakan waktu lama, nyatanya dia tidak bisa membuat dirinya benar-benar tenang. Dia tidak bisa memprediksi hasil dari rencananya. Entah apakah sungguh akan berhasil atau justru gagal. Nata tidak tahu yang akan terjadi di masa depan.
"Aku sedang menjalankan misi ini, seperti yang kau tahu," jawab Nata tidak jelas.
Mikari membuka mata, menatap langit-langit apartemen sekali lagi.
"Kau ragu?" tebak Mikari.
Mendengar bagaimana juniornya itu menjawab dengan begitu lemah, walau masih terdengar cukup keras di ruangan kecil yang hanya diisi mereka berdua, tetap saja Mikari bisa merasakan ketidak percayaan diri dalam suara Nata.
Mikari menoleh ke samping. Mendapati Nata yang sedang menatapnya gelisah.
"Kau takut?" sekali lagi Mikari menebak.
Dia menatap Nata langsung ke matanya, mengunci tatapan Nata agar tidak beralih ke manapun selain balas menatap matanya.
Semakin dalam Mikari menatap Nata, semakin jelas kalau tebakannya memang benar. Juniornya itu ada di antara takut dan ragu, atau mungkin berada di percampuran keduanya, merasa ragu dan takut sekaligus.
Mikari pun menghela napas. "Apa yang kau khawatirkan?"
"Aku takut gagal," jawab Nata dengan suara bergetar, "Aku tidak bisa kembali ke surga jika misi ini gagal."
"Kau bisa meminta bantuanku jika merasa tidak sanggup," jawab Mikari. Dia mengulurkan tangan, mengacak rambut Nata.
Ada serbuk yang menebarkan cahaya di sekitar kepala Nata. Serbuk bercahaya itu bertahan beberapa saat sebelum menghilang begitu saja.
Nata memikirkan kalimat Mikari. Sosok itu bersedia membantunya. Tentu saja, dia adalah penanggung jawab hukuman yang dia dapat. Dia akan mendapat poin yang besar jika misi ini berjalan lancar. Sudah pasti dia akan bersedia membantu untuk kelancaran misi.
Nata selama ini mengandalkan otaknya saja dan tidak merasa perlu mendapat bantuan ide dari seniornya itu. Dia pikir dia cukup menghubungi seniornya saat butuh properti atau sesuatu yang akan dia pakai dalam misi.
Harusnya dia tidak berpikir begitu. Jika dia kesulitan, harusnya dia berkonsultasi dengan seniornya itu. Dia pun memutuskan untuk meminta saran dari sang senior.
"Kalau begitu—"
"Sshhh," Mikari memotong ucapan Nata yang belum selesai. Mikari sudah menegakkan tubuhnya, dia melirik pintu kamar Nata yang tertutup.
Dia lalu menatap Nata yang terdiam setelah kesempatan bicaranya diserobot. Mikari berkata, "Aku pergi dulu."
Kemudian menghilang.
Nata panik.
Dia memanggil-manggil seniornya, barangkali seniornya hanya sedang mempermainkannya dengan menghilang tiba-tiba.
Namun kemudian suara pintu kamar dibuka terdengar, dan itu menjelaskan kenapa Mikari buru-buru pergi.
Dara sudah bangun.