"Kenapa aku ada di sini?"
Nata mengelus tengkuknya, bingung harus menjelaskan dari mana.
Gadis yang baru bangun dari tidurnya itu melirik jam dinding, memperhatikan sebentar sebelum beralih ke jendela, membuka kain gorden putih yang menghalangi pandangan dari luar.
"Sudah pagi," bisik gadis itu sambil mendongak menatap langit.
Gadis menoleh ke belakang, di mana Nata sedang duduk di sofa, menatapnya.
"Bagaimana aku bisa berakhir di sini?" ulang gadis itu.
Nata tahu dia harus menjawab saat itu juga, mau tidak mau. Dia pun berdiri dan menghampiri Dara, berdiri di sampingnya dan ikut menatap langit yang mulai dihiasi semburat kemerahan.
Dia menatap ke ujung sana di mana matahari perlahan menampakkan diri. Membawa serta cahaya yang mampu mengusir gelap yang merengkuh malam seperti biasa.
"Kau tertidur. Aku tidak tega membangunkanmu. Jadi, yah, begitu." Nata mengendik dan memandang ke luar jendela lagi.
Dara mengernyit. "Begitu bagaimana?"
Langit semakin berwarna. Pantulan matahari tampak jelas di kedua mata Nata.
Dara memperhatikan itu dari samping. Entah mengapa kedua mata Nata tampak jauh lebih bersinar dari pada separuh matahari yang baru memunculkan diri di ujung sana.
Dara berkedip. Sadar tidak seharusnya terpesona di saat-saat seperti ini. Dia pun mengalihkan pandangan ke depan, menatap matahari terbit yang bisa mereka saksikan dari jendela apartemen.
Setidaknya, meski bangunan itu kumuh, mereka masih bisa mendapatkan pemandangan seindah ini sebagai gantinya. Walaupun Dara sendiri jarang melihatnya karena dia bangun setelah matahari terbit, atau jika dia bangun pagi pun dia tidak punya waktu untuk menatap pemandangan dengan tenang seperti sekarang.
Berhubung dia sudah keluar dari pekerjaannya, dia pun bisa leluasa menghabiskan waktu sesuka hati.
"Aku menggendongmu ke sini, supaya kau tidak bangun," jawab Nata sambil menggeser jendela, membukanya.
Angin pagi segera menampar mereka berdua. Mengundang rasa dingin yang menyengat dan menusuk sampai ke tulang. Tetapi Dara tidak protes. Dia menyukai ini. Angin terasa dingin, tetapi ada kesegaran pagi yang seperti mengajaknya untuk bangun.
Gadis itu memejamkan mata, menikmati embus angin yang membuat rambutnya berkibar kecil ke belakang. Gaunnya yang cukup terbuka membuat tubuhnya merasa kedinginan dengan merata. Leher, bahu, lengan, semuanya kedinginan. Dan dia suka itu.
Masih dengan mata tertutup, dia bertanya, "Kenapa tidak membawaku ke apartemenku sekalian?"
Nata tersenyum, sudah menebak pertanyaan ini akan terlontar dari sosok di sebelah kanannya. Andai saja Nata bisa menjawab jujur, dia tidak membawanya ke apartemen karena takut identitas malaikatnya ketahuan.
Tapi jawaban Nata pun bukanlah kebohongan, "Aku tidak tahu di mana kau menyimpan kunci pintunya."
Nata bisa saja menerobos masuk apartemen Dara, entah dengan menembus tembok, atau membuka kunci hanya dengan tatapan saja. Ada banyak cara membawa Dara masuk ke dalam tempat tinggal gadis itu.
Tetapi resikonya identitas Nata akan terbongkar. Sehingga Nata berakhir membawa gadis itu ke sini.
"Ah, kau benar juga," Dara mengakui.
Untuk sesaat, dia juga lupa di mana dia menyimpan kunci apartemennya. Kemudian ingat dia menyimpannya dia case ponselnya.
Gadis itu membuka mata saat keheningan di antara mereka berdua sudah berjalan terlalu lama. Matahari sudah semakin naik di depannya. Kemudian saat dia menoleh ke samping, Nata sedang menatapnya.
Mata mereka bertemu, saling mengunci satu sama lain.
Kali ini Dara harus mengakui, kedua mata Nata memang lebih indah dari pemandangan di depan mereka.
"Kau baik-baik saja?" tanya Nata saat Dara sedang tenggelam dalam tatapannya.
Dara berkedip. Tidak paham apa yang lelaki itu bicarakan. "Memang aku kenapa?"
"Semalam kau … bermimpi buruk." Nata menelan ludah. "Sepertinya."
Ingatan Dara terlempar pada kejadian semalam, pada mimpi mengerikan yang dia dapat semalam.
Semuanya kenangan buruk dari masa kecilnya bergabung menjadi satu dan muncul dalam tidurnya, menghantui dia yang sedang mencoba beristirahat di ujung hari.
Gadis itu ingat dirinya ketakutan. Lalu ada juga sosok yang memeluknya, mengelus kepalanya, membisikkan kata-kata penenang untuknya.
Apa itu juga bagian dari mimpi?
Atau … itu nyata?
Dara menatap Nata lamat-lamat. Perlahan dia mengingat suara yang berbisik rendah di telinganya saat mencoba menenangkan dirinya.
"Semalam kau yang menenangkanku?" tanya Dara memastikan.
Dia ingat persis suara itu sekarang. Tidak salah lagi, suara itu memang milik Nata.
Nata mengangguk. Toh, tidak ada alasan baginya untuk mengelak. Memang dia yang berada di samping Dara saat dia terbangun dari mimpi buruknya. Memang dia yang tetap ada di sana saat Dara masih dihantui ketakutan akan mimpi buruknya.
"Iya, itu aku," Nata mengaku. "Kau terlihat sangat ketakutan."
Nata tidak tega. Melihat gadis itu tampak kacau dan berbeda dari biasanya membuat Nata merasa kasihan. Nata tidak tahu cara membuat manusia merasa lebih tenang di saat-saat seperti itu, tetapi Nata berusaha.
Dia tidak ingin meninggalkan Dara yang sedang ketakutan sendirian.
Belum lagi saat air mata gadis itu jatuh ke bahunya. Nata bisa merasakan jelas bahwa ketakutan itu berasal dari penderitaan. Barangkali Dara menderita di masa kecilnya dan takut kejadian serupa terjadi lagi.
Yang jelas Nata bisa merasakan rasa sakit dari air mata yang jatuh menyentuh kulitnya.
Tangan Nata meraih bahunya, tempat di mana semalam Dara meneteskan air mata. Masih ada sisa-sisa rasa sakit di sana. Mungkin juga akan menjadi lebam apabila Dara memang sangat menderita. Semakin menderita pemilik air mata, maka semakin parah lebam yang akan malaikat dapatkan.
"Kupikir itu bagian bagian dari mimpi."
Nata mendenguskan tawa. "Itu nyata."
Si malaikat menatap sisi samping manusia di sebelahnya. Sosoknya memang cantik. Tetapi caranya mengekspresikan diri lewat wajah sangat buruk. Dia tidak tahu cara membuat wajah ramah. Dia juga jarang tersenyum dengan tulus.
Pantas saja dia tidak memiliki orang yang dekat dengannya. Alasan lainnya jelas karena dia tidak mau membuka hati untuk orang lain.
Mungkin, dia juga tidak akan membuka hatinya untuk siapapun lagi. Dia sudah sangat terluka dengan pengkhianatan yang dilakukan oleh mantan kekasihnya—
"Berhenti menatapku," suruh Dara tiba-tiba.
Nata berkedip. Mengalihkan pandangan sesuatu perintah gadis itu.
"Apa kau sering bermimpi buruk?" tanyanya penasaran.
Dara menipiskan bibir, matanya menyipit sambil mengingat-ingat kapan terakhir kali dia dihantui mimpi seburuk itu.
Kemudian dia sadar, dia baru saja bermimpi serupa kemarin malam. Kemarin lusa juga begitu. Malam sebelum-sebelumnya juga sama saja.
Seakan tidak ada malam yang tenang bagi Dara. Hal itu jugalah yang membuat dia merasa takut untuk tidur. Pada akhirnya dia kesulitan untuk tidur dan berakhir insomnia.
Dara menjawab, "Cukup sering."
Bangun dengan keringat dingin mengalir di pelipis dan tubuh gemetaran. Itu seperti sudah menjadi bagian dari kesehariannya. Dia tidak merasa terkejut meski tetap merasa takut tiap kali kenangan masa lalunya menghampiri dalam wujud mimpi.
"Tapi aku sudah terbiasa," lanjut gadis itu dengan sendu.