"Apa yang biasanya kau lakukan jika bangun dari mimpi buruk? Menangis?"
Dara menipiskan bibir, mengingat apa saja yang dia lakukan jika terbangun dari mimpi yang menghantuinya. Sayangnya dia tidak ingat apapun. Karena seperti semalam, dia akan bertindak di luar kesadaran saking takutnya dengan mimpi yang mendatangi tidurnya.
Terkadang saat dia bangun di pagi hari, dia menemukan bantalnya sedikit basah. Mungkin tebakan Nata. Bahwa dia menangis tiap kali mendapat mimpi tidak menyenangkan itu.
"Mungkin. Aku tidak terlalu ingat," jawab Dara sambil mengendikkan bahu.
Gadis itu membalik badan dan berjalan ke sofa, duduk di salah satu sisinya sambil menatap televisi yang menyala tanpa suara.
Dia melirik Nata, berpikir bahwa lelaki itu pasti tidak ingin mengganggu tidurnya sehingga menyalakan televisi tanpa menaikkan volume sama sekali. Gadis itu tidak tahu bahwa bukan Nata yang menonton benda yang sedang menampilkan drama itu.
Nata berjalan menyusul Dara. Dia berkata, "Kau seperti hilang kesadaran semalam."
Dara menaikkan alis, menatap Nata tidak paham. "Pingsan?"
Nata menjatuhkan diri di sebelah Dara, duduk santai dan ikut menonton layar di hadapan mereka yang masih menyala dengan bisu.
"Bukan…. Lebih seperti hilang kendali?" Nata tidak yakin harus mendeskripsikan keadaan Dara semalam bagaimana. "Kau seperti di luar kewasaranmu. Kau bahkan mengira aku adalah bagian dari mimpimu. Padahal aku sungguhan ada di sana semalam."
Dara menunduk. Dia merasa sedikit bersalah karena hal tersebut. Padahal Nata sudah ada di sisinya selama dia merasa ketakutan. Tetapi dia bahkan tidak ingat bahwa ada sosok 'nyata' yang menemaninya dan justru berpikir sosok itu hanya mimpi belaka.
Nata tidak bermaksud membuat Dara merasa bersalah. Dia hanya penasaran apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu. Nata ingin tahu kenapa gadis itu tidak ingat semalam sudah menangis di pelukannya.
Gadis itu mengaku tidak yakin. Dia tidak tahu pasti apa yang dia lakukan tiap kali bermimpi buruk. Maka kesimpulan Nata adalah, Dara memang tidak terlalu ingat apa saja yang terjadi di setiap malam saat dia dimimpikan hal buruk. Mungkin itu jugalah yang membuat Dara tidak ingat kehadiran Nata yang nyata di sisinya semalam.
"Maaf sudah merepotkan," lirih Dara masih belum mengangkat kepala. Wajahnya masih terarah rendah, menunduk tidak punya tenaga untuk menatap hal lain selain lantai yang ada di sekitar kakinya.
Dibanding karena merasa bersalah, Dara tidak sanggup mengangkat wajah lebih karena dia tidak menyangka dengan keadaan dirinya sendiri. Sejak dulu dia memang sudah seperti ini, sering dihantui mimpi buruk. Tetapi dia tidak tahu bahwa mimpi buruknya akan berdampak tidak kalah buruk pada dirinya sendiri.
Jika sekadar bangun dan tubuh tremor dan penuh keringat, itu tidak masalah. Sangat wajar malah. Sayangnya dari pernyataan Nata, Dara sadar dia bisa sampai lepas kendali saking takutnya. Dia tidak pernah menyangka dia sekacau itu.
"Tidak masalah." Nata meraih remote dan mematikan televisi.
Dara mengangkat wajah, menatap layar yang memamerkan warna hitam. Gadis itu bisa melihat pantulan dirinya sendiri di layar yang mati itu. Di sebelahnya, Nata juga bisa melihat pantulannya. Mereka berdua tampak terlalu sunyi setelah percakapan yang tiba-tiba terhenti dengan sendu itu.
Di layar televisi yang mati itu, Nata melihat pantulan Dara yang menoleh kepadanya perlahan. Nata berkedip, lalu balas menoleh pada gadis yang tampak ingin mengatakan sesuatu.
"Dan juga terimakasih…," ujar gadis itu menggantung.
Nata menatap mata Dara lurus-lurus, tidak membiarkan dia berpaling seperti tadi. Mengunci tatapan gadis itu agar tidak langsung menunduk dan menyembunyikan wajah seperti tadi.
Nata menatapnya, sambil berharap untuk balas ditatap persis seperti sekarang. Mata Dara yang redup tapi tidak menunjukkan kelemahan apapun, sepasang mata itu menatap Nata dengan sungguh-sungguh. Dan Nata ingin menyimpan momen ini dalam kenangannya.
"Terimakasih sudah menemaniku semalam," lanjut Dara.
Nata tersenyum tipis. Dia memutuskan untuk mengunci momen ini agar tidak kabur dari ingatannya.
***
Setelah pagi yang cukup mengejutkan bagi Dara; bangun di kamar tetangganya setelah bermimpi buruk, dan juga ternyata tetangganya lah yang menemaninya saat dia lepas kendali setelah terbangun dari mimpi buruk semalam. Tidak ada yang lebih mengejutkan bagi Dara selain hal itu. Kini dia berada di apartemennya sendiri, berdiri di depan kompor sambil menunggu air mendidih.
"Bisakah kau membantuku?"
Nata yang duduk di sofa pun melongokkan kepala, menatap Dara yang ada di dapur kecil itu. "Apa?"
"Jaga air ini sampai mendidih. Aku harus mandi," ujar Dara sambil menunggu Nata yang sedang berjalan menghampirinya.
Begitu sampai di dapur, Nata mengintip panci yang berisi air sedang dipanaskan. Lalu dia melirik si pemilik apartemen dengan bingung. "Sebentar lagi airnya mendidih."
Dara tidak menatap Nata. Gadis itu mengambil sesuatu dari lemari penyimpanan yang menggantung di dinding, di atas kompor, di atas mereka. Kemudian dia menyerahkan dua bungkus mi instan kepada Nata.
Dia memberi instruksi, "Masukkan ini kalau airnya sudah panas. Kau tahu caranya, kan?"
Nata menatap dua bungkus mi instan yang sedang disodorkan kepadanya. Dia berkedip, sedikit bingung karena belum pernah membuat itu sebelumnya. Tetapi kemudian dia sadar akan sangat aneh kalau seorang manusia yang tinggal di kawasan kumuh tidak tahu cara membuat mi instan, mengingat makanan itulah yang paling umum dikonsumsi saat tidak punya banyak uang.
Nata pun mengangguk. "Baiklah. Biar aku yang memasaknya. Kau pergilah mandi."
Dara pun melesat pergi. Dia sangat lapar tadi di apartemen Nata. Dia pun mengajak lelaki itu untuk ikut dan makan bersamanya. Dia terlalu bersemangat makan sampai tidak sadar dia masih memakai gaun hitam yang dipinjamkan Nata.
Sekarang gadis itu merasa lega bisa melepas gaun itu dan berganti dengan pakaian yang lebih santai setelah membersihkan diri. Dia merasa segar dan lebih nyaman.
Dia pun keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terbungkus handuk putih kecil. Dia menghampiri Nata yang tampak kebingungan di depan kompor, lelaki itu menatap panci dengan ragu-ragu.
"Kau baik-baik saja?" tanya Dara. Dia melihat isi panci yang penuh dan masih panas. Tetapi kompor sudah dimatikan.
Dia kemudian menatap Nata. Lelaki itu balas menatapnya dengan sedikit canggung. Dia menggaruk tengkuk yang tidak gatal.
"Apa ini benar?" tanyanya sambil menunjuk mi instan yang sudah termasuk di dalam panci panas itu.
Dara sadar ini pertama kalinya Nata membuat mi instan. Meski bukan pertama, dia pasti sangat jarang melakukan hal ini. Jelas terlihat dari caranya yang ragu-ragu menatap antara panci dan sedikit takut menatap Dara. Seakan dia sedang di kontes memasak dan Dara adalah jurinya.
"Apa kau baru pertama kali memasak mi instan?" tanya Dara sambil maju dan mengambil sedikit mi itu dengan garpu. Dia memasukkannya ke dalam mulutnya, mencoba merasakan seburuk apa makanan ini sampai Nata begitu tidak tenang menatapnya.
Nata menjawab, "Iya. Aku belum pernah melakukannya sebelum ini."
Lelaki itu jujur, mau tak mau. Karena jika pun dia berbohong, itu tidak akan mengubah apapun saat ini. Kemampuannya memasak tetap akan sangat buruk.
Dara menelan kunyahannya. Lantas berkomentar, "Ini tidak buruk."
"Sungguh?" Mata Nata membulat, menatap Dara dengan tidak percaya.
"Ayo makan."
"Sungguh itu bisa dimakan?" tanya Nata masih tidak percaya.
Dara menghembuskan napas. "Ini mi instan. Kalaupun kau tidak bisa masak, kau akan tetap menghasilkan makanan yang enak dengan mi instan ini asal mengikuti petunjuknya."
Nata menghela napas lega. Dia memang mengikuti petunjuk yang ada di bagian belakang kemasan dan mencoba sebaik mungkin memasak makanan instan itu.
"Lagian," lanjut Dara, "Parah sekali jika ada orang yang memasak mi instan dan hasilnya tidak bisa dimakan. Ini kan mudah dibuat."