26. Angle last mission
Nata memberikan elusan terakhir pada kepada Dara. Kemudian dia melepas genggaman tangan mereka.
Setelah itu dia berdiri dan membalik badan, berniat mengambilkan segelas air untuk gadis yang masih dihantui oleh mimpi buruknya barusan. Dara masih belum bisa tidur lagi meski Nata sudah menenangkannya.
Gadis itu bahkan seakan kehilangan ketenangan, dia tampak basah oleh keringat dan sesekali air mata menetes tanpa pemberitahuan dari sudut matanya. Kerutan di dahinya menunjukkan betapa dia takut, takut pada mimpinya, takut jika mimpinya akan datang lagi.
"Nata…." Dara menghentikan Nata. Tangannya meraih tangan lelaki itu dan memeganginya, tidak membiarkan dia pergi.
Nata membalik badan untuk melihat sosok yang masih terbaring itu. "Ada apa? Kau merasa buruk?"
Dara menggeleng. Itu hanya membuat Nata mengerutkan dahi dalam-dalam, dia tidak paham. Kenapa juga gadis itu menghentikan dia yang berniat pergi jika tidak punya alasan apapun?
"Katakan padaku, ada apa, Ra? Kau bisa bilang jika kau merasa tidak nyaman atau kau merasa—"
Dara mengencangkan genggamannya, membuat Nata berhenti bicara untuk mengaduh sesaat.
Nata melirik pegangan tangan Dara yang sangat erat pada lengannya. Nata menghela napas. Dia pun duduk di sisi ranjang dan menunduk menatap gadis itu dengan intens.
"Ada apa, Ra?" tanyanya lagi. "Apa kau takut mimpimu akan menghantui sampai ke alam nyata?"
Jujur saja Nata tidak tahu cara menghibur manusia. Dia tidak tahu apa yang perlu dia katakan kepada manusia yang baru saja terkena mimpi menakutkan dan bangun dari tidur dengan kegelisahan yang melanda. Nata tidak pernah mendapat pelatihan tentang hal ini.
Nata tidak melepas kontak mata dengan Dara. Pikiran yang berada paling di permukaan gadis itu adalah yang bisa dia baca sekilas. Dia tidak bisa membaca keseluruhan pikiran—dan jikapun bisa, para malaikat tidak diperbolehkan mengintip pikiran orang sembarangan, kecuali yang memang ditugaskan untuk hal itu— Nata hanya bisa membaca hal yang paling menonjol dalam isi pikiran seseorang, satu hal yang mengambil tempat paling banyak dalam pikiran gadis itu.
Dan itu adalah ketakutan.
Gadis itu sedang takut—takut setengah mati. Yang jelas sesuatu dalam mimpinya membuat dia mengingat sesuatu yang ingin dia lupakan. Hal yang membuat dia merasa terbebani dan membuatnya gelisah setiap saat kini teringat kembali karena mimpi itu, membuat ingatan itu tampak begitu segar meski entah kapan telah terjadi.
"Jangan tinggalkan aku," gadis itu memohon. Nata tidak berkutik di tempatnya, dia balas menggenggam tangan Dara dengan tangannya yang lain. Lantas tersenyum.
"Aku di sini."
Sebuah senyum menenangkan tercipta di wajah manis Nata. Menyita perhatian Dara sepenuhnya meski dia masih belum sepenuhnya sadar dari mimpi buruk barusan.
Gadis itu hanyut dalam belaian lembut yang Nata berikan, bersamaan dengan kata-kata penenang yang tidak berhenti keluar dari bibirnya. Dara merasa lebih baik karena hal-hal itu. Tetapi kemudian—
"Tunggu aku sebentar," ujar Nata sambil bangkit.
"Kau mau ke mana?" tanya Dara panik. Napasnya mulai memburu lagi, persis seperti saat dia baru bangun.
"Mengambil air. Kau tidak haus memangnya?" Nata bertanya santai. Tetapi hal itu justru membuat Dara merasa sangat buruk.
Gadis itu merasa takut walau hanya ditinggal sebentar saja. Dia tidak melepaskan matanya dari punggung Nata sampai lelaki itu menghilang dari balik pintu.
Tubuh gadis itu menggigil. Membayangkan bagaimana jika Nata tidak mengambil minum, tetapi pergi meninggalkannya.
Pikiran gadis itu meliar ke mana-mana. Dia tidak bisa mengendalikannya. Banyak skenario buruk yang membayang-bayangi dirinya. Semua bermuara pada titik yang sama; Nata meninggalkannya.
Air mata pun menetes dari kedua matanya tanpa bisa ditahan. Keringat dingin mengalir. Dia merasa cemas luar biasa. Tangannya terasa dingin dan dia terus menatap pintu menunggu Nata kembali.
Dan lelaki itu sungguh kembali.
"Minumlah dulu—" Nata membeliak melihat Dara yang tampak semakin kacau. "Dara, kau kenapa? Dara! Kau baik-baik saja?"
Lelaki itu meletakkan gelas berisi air putih ke nakas. Setelah itu dia langsung duduk di pinggiran ranjang dan meraih Dara yang tampak tidak berdaya.
"Kau kenapa?" tanya Nata cemas.
Dara menatap lelaki itu, menatapnya dengan lemah. "Jangan tinggalkan aku."
Nata mengembuskan napas. Dia merengkuh tubuh Dara, memeluknya erat sambil memberikan elusan di belakang kepala, mencoba menenangkannya.
Dara tidak protes. Dia menenggelamkan diri dalam pelukan itu, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher si lelaki. Air mata luruh dari matanya meski dia tidak bermaksud menangis. Tetapi air mata jatuh begitu saja, mengalir turun melewati pipinya, lalu jatuh membasahi bahu Nata.
"Kau menangis." Nata menekan tengkuk Dara agar lebih merapat padanya.
Dia lupa kapan, tetapi seorang manusia pernah memberitahunya bahwa kebanyakan orang tidak suka menunjukkan wajahnya saat menangis.
Maka yang Nata lakukan adalah mendorong Dara lebih dalam pada pelukannya, untuk menyembunyikan tangis tanpa suara yang baru beberapa saat tetapi sudah berhasil membuat basah di baju Nata merembes sampai ke kulitnya.
Tangisan manusia.
Ini pertama kalinya kulit Nata bersentuhan langsung dengan air mata manusia.
Rasanya menyakitkan. Bukan secara fisik. Tetapi dia merasa sakit, karena Dara menderita di balik tangis itu.
Air mata di bahunya terasa basah dan dingin. Tetapi dalam hatinya terasa seperti ada yang terbakar habis, sampai tidak bersisa apapun. Meninggalkan sebuah padang gersang yang membuatnya merasa hampa, dan sepi. Seperti ditinggalkan, seperti dibuang. Dan itu, jujur saja, lumayan menyakitkan.
"Jangan tinggalkan aku." Lagi, Dara merintih di sela tangisnya. Entah sudah yang ke-berapa kali, tetapi, itu masih terdengar seperti tadi; penuh putus asa.
Seakan jika ini adalah kesempatan terakhirnya bernapas, maka gadis itu akan menghembuskan kalimat yang sama—jangan tinggalkan aku. Entah dalam bisikan serupa angin lalu, atau dengan teriakan dalam hati yang—untungnya—akan bisa didengar oleh Nata bagaimana pun juga.
Lelaki itu memberikan tekanan pada tengkuk gadis itu sebagai ganti elusan. Jari-jarinya bergantian menekan tengkuknya dengan pola acak, tanpa ritme, dilakukan dengan asal mengikuti gerakan jari-jari itu sendiri. Nata membiarkannya saja, sambil menikmati sakit yang dia dapat setelah bersentuhan dengan air mata manusia.
Bahu Dara perlahan bergerak naik-turun dengan lebih tenang, memberitahu dirinya bahwa Dara sudah bernapas dengan lebih nyaman, tidak memburu seperti tadi. Sesekali gadis itu tersengal oleh isakan yang datang tiba-tiba.
Dan yang Nata lakukan hanya satu, menunduk untuk mendekatkan mulutnya pada telinga Dara.
"Aku di sini," bisik lelaki itu tidak kalah monoton dari rengekan si gadis.
Sebuah rengekan untuk tidak ditinggalkan lalu dijawab dengan kata-kata yang seperti jawaban ketika ada yang mengabsensi namanya di dalam kelas. Sungguh, perpaduan yang membosankan.
Mikari dari sudut ruangan, tanpa Nata ketahui, telah mengamati sejak tadi bagaimana hubungan malaikat dan manusia yang sedikit tidak lazim itu.
Mikari bergumam, "Apa dia tidak punya kata-kata lain untuk menenangkan gadis itu? Dasar bodoh."