Di tengah perjalanan, Dara hanya mendengarkan musik yang mengalun di antara mereka. Lagu itu dipilih oleh Nata sendiri, tetapi entah kenapa dara menyukainya. Padahal Dara tidak begitu suka dengan lagu-lagu Ballad sebelumnya.
"Kau suka musiknya?" Nata menoleh ke arah gadis di sampingnya.
Gadis itu menatap keluar jendela. Dia tampak nyaman dengan suasana mobil itu yang tenang diiringi oleh musik yang mengalun dengan lembut. Membuat siapapun yang mendengarnya merasa nyaman.
Dara berkomentar, "Lumayan enak didengar."
Dia tidak bohong. Walaupun sebelumnya dia tidak suka musik seperti ini, dia juga tidak suka mendengarkan musik juga sebenarnya, tetapi suasana yang tercipta karena lagu itu membuat Dara tidak bisa tidak menyukai lagu-lagu yang bergantian terputar dalam sebuah playlist pilihan Nata.
Nata kembali menatap ke depan, ke jalanan yang sedang dia belah dengan mobilnya itu. Mobil yang dia dapat setelah merengek kepada penanggung jawab hukumannya.
"Kau bisa ganti kalau tidak suka," ujar Nata. Dia tidak ingin membuat Dara merasa tidak nyaman karena mereka akan menjalankan misi bersama. Akan lebih baik jika Dara berada dalam suasana hati terbaiknya.
Untung saja Dara merasa nyaman saat ini.
"Suka, kok." Dara menipiskan bibir, seperti sedang menimbang sesuatu untuk dikatakan. Pada akhirnya dia memanggil lelaki yang sedang mengemudi di sampingnya itu, "Nata."
Nata melirik sebentar sebelum kembali menatap ke depan. "Ya? Kenapa?"
"Ini mobilmu?" tanya Dara setelah menahan rasa penasaran sejak tadi.
Dara sempat berpikir Nata menyewa mobil ini hanya agar tampak keren saja. Dara takut Nata terlalu terobsesi agar tampak lebih baik di hadapan Matt karena mereka memang yakna melakukan misi balas dendam terhadap lelaki itu.
Tanpa disangka, Nata mengiyakan pertanyaan Dara. Lelaki itu mengakui kepunyaannya terhadap mobil mewah ini.
"Iya. Mobil ini punyaku," Nata mengaku.
Mobil ini tampak sangat mewah, sungguh. Bahkan meski Dara tidak begitu paham dengan jenis-jenis mobil, tapi dia bisa langsung tahu bahwa mobil ini bukanlah mobil biasa. Ini mobil mahal. Tidka sembarang orang bisa memilikinya.
Bagian luarnya berwarna hitam mengkilap. Dengan desain yang bagus dan menarik, tampak sangat elegan. Dara tidak bisa mendeskripsikannya dengan jelas karena dia tidak tahu apa-apa soal mobil.
Tetapi, dia yakin sekali ini bukan mobil yang orang-orang punya pada umumnya. Bahkan Matt saja memakai mobil yang sering Dara lihat di jalanan, mobil umum, mobil mainstream.
Dara tidak menyangka Nata bisa memiliki mobil sebagus ini. Tapi, mau sebagus apapun mobilnya, itu tidak ada hubungannya dengan Dara.
Sehingga dia hanya memberi jawaban singkat, "Oh."
Setelahnya, dia kembali fokus ke luar jendela. Memandangi lampu-lampu gedung dan lampu-lampu jalan yang baginya tampak lebih indah daripada bintang.
Yah, lagi pula di sini sudah sulit untuk menemukan bintang di langit. Polusi cahaya mengacaukan keindahan langit malam.
"Kenapa memang? Kau pikir aku tidak bisa punya mobil karena tinggal di daerah yang kumuh?" Nata bertanya dengan nada bercanda tetapi juga sedikit tidak terima.
Dara menjawab jujur, "Aku berpikir begitu, jujur saja."
Gadis itu tampak tenang dan santai saat menjawabnya. Meski kebanyakan orang akan memilih berbohong jika memiliki jawaban jujur seperti itu, Dara malah tetap jujur dengan santainya. Seakan apapun yang keluar dari mulutnya bukanlah kebohongan.
Gadis itu juga tidak menoleh pada Nata. Masih tetap santai menatap ke luar jendela. Dia tidak takut melukai Nata dengan kejujurannya itu.
Namun meskipun menyakitkan mendengar sebuah fakta, bukankah itu tetap lebih baik daripada diberi kebohongan? Nata sebagai malaikat saja merasa benci apabila dibohongi. Meski dia bisa membaca pikiran orang yang muncul paling di permukaan— hanya sedikit yang bisa dia baca.
Nata berujar sarkas, "Kau tahu istilah 'jangan menilai buku dari sampulnya'?"
Dara hanya terkekeh ringan mendengar itu. Tidak merasa bersalah meski telah berpikiran buruk terhadap lelaki itu. Baginya itu sudah wajar untuk menilai orang miskin jika tinggal di tempat yang tidak layak seperti apartemen mereka.
Orang bodoh mana yang mau tinggal di tempat yang buruk di saat punya uang untuk tinggal di tempat yang lebih baik? Tidakkah terdengar sinting jika Nata mengaku kaya tetapi tetap tinggal di apartemen itu?
"Tapi kalau kau punya uang, kenapa kau malah tinggal di apartemen itu? Kau Pasti bisa untuk menyewa tempat tinggal yang jauh lebih layak, kan?" Dara bertanya, menumpahkan rasa penasarannya daripada memendam nya saja dan berakhir kebingungan sendiri. Lebih baik bertanya.
Nata menoleh ke samping, Dara menatapnya, menunggu jawaban. Lelaki itu kembali menatap ke depan dan membiarkan Dara tetap menatapnya.
Sebenarnya, Nata bahkan tidak tahu dia itu miskin atau kaya jika diukur dengan standar manusia. Dia bisa meminta fasilitas selama bertugas kepada para malaikat yang memang bertanggung jawab mengurusi hal itu.
Tetapi, jika dilihat-lihat lagi, mereka—para malaikat—tidak punya uang yang menjadi alat ukur kekayaan di bumi ini.
Lagi pula, Nata hanya meminta tempat tinggal sementara di sini, Nata tidak mengira seniornya malah akan menyewakan apartemen tepat di sebelah Dara.
Nata berdecap miris untuk dirinya sendiri.
"Bisa, sih, bisa," jawabnya.
"Tapi?"
Tapi seniornya pasti sengaja ingin membuat Nata lebih dekat dengan targetnya. Seniornya itu pasti berpikir hal ini akan mempermudah Nata dalam menjalankan misi hukuman ini. Karena itulah, Nata tidak bisa melakukan apa-apa selain menurut saja.
"Mmm...." Lelaki itu bergumam pelan, mengarang jawaban yang semoga saja bisa diterima oleh Dara, "Anggap saja aku ingin dekat denganmu."
Dara menatap Nata semakin intens. Tanpa Nata menoleh pun, dia tahu kalau di sampingnya sedang ada yang menatapnya bagai sinar leser. Menatapnya dengan tajam.
Gadis itu memicingkan mata, menatap Nata dengan curiga.
"Jadi kau tinggal di sana karena sudah tahu aku juga tinggal di sana?" tuduh Dara, setelah mendengarkan alasan yang diberikan Nata dan memikirkan hal tersebut, rasanya tidak mungkin untuk tidak curiga pada lelaki itu.
Nata melotot mendengar itu. Dia dituduh begitu saja padahal dia tidak memilih di mana dia akan tinggal di bumi ini. Dia tidak bisa menentukan di mana dia akan tinggal. Semuanya sudah ditentukan oleh seniornya.
Tetapi lihatlah ini, Nata dituduh tinggal di apartemen kumuh itu karena ikut-ikutan Dara. Yah, sebenarnya salahnya juga karena menjawab tinggal di sana agar bisa dekat dengan gadis itu. Sungguh jawaban yang bodoh. Nata kira jawaban itu bisa menghentikan percakapan itu secepatnya.
Siapa sangka Dara malah membahasnya lebih jauh?
Nata menyesali jawabannya. Haruskah dia menghilangkan ingatan Dara beberapa menit terakhir?
Tidak, tidak. Dia bisa dihukum lebih banyak jika ketahuan memakai kekuatan yang sangat disarankan untuk tidak dipakai kecuali pada saat-saat mendesak saja. Nata hanya punya satu jalan keluar; menjelaskan pada Dara sejelas-jelasnya.
"Tidak. Seniorku yang mengurus penyewaan apartemen ini, jadi aku hanya menurut saja saat dia memberitahu aku akan tinggal di sana," jelas Nata berhati-hati. Berharap Dara tidak akan menuduhnya lagi.
Yah, walaupun yang membuatnya dituduh begitu adalah ucapannya sendiri tadi.
Kedua mata Dara masih memicing. Sedikit tidak percaya, "Kenapa seniormu yang mengurus hal seperti itu?"
Nata melirik Dara dan tersenyum kaku.
"Ya.... Begitulah," jawabnya saat tidak tahu harus menjawab apa.