Nata membawa Dara ke dalam apartemennya. Dengan hati-hati dia membopong dengan kedua tangan yang mengerat di bagian leher dan lutut gadis itu.
Perlahan dia membaringkan sosok bergaun hitam itu ke atas ranjangnya. Tidak lupa dia melepaskan sepatu tinggi yang melekat di kedua kakinya. Terkahir, dia menyelimuti tubuh yang terlelap itu agar tidak kedinginan.
Nata menatap gadis itu untuk beberapa saat sebelum membalik badan dan pergi. Namun langkahnya terhenti saat mendengar suara rintihan yang rupanya lolos dari mulut Dara.
Nata segera berjongkok di sisi ranjang, menatap khawatir pada gadis yang menjadi target misinya hukumannya itu.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya meski tahu Dara masih terpejam, masih tidur. Gadis itu jelas-jelas sedang bermimpi buruk.
Dahi gadis itu berkerut dalam. Keringat di mana-mana sampai anak-anak rambutnya tampak basah dan lepek, menempel pada dahi.
Sementara bibirnya tidak berhenti mengeluarkan suara-suara tidak jelas yang terdengar bagai ketakutan.
Nata tidak tahu harus bagaimana. Dia kebingungan sendiri.
Selama ini yang dia lakukan adalah mengabulkan permintaan orang, bukannya mengurus orang yang sedang bermimpi buruk seperti ini. Nata tidak paham apa yang perlu dilakukan.
Pada akhirnya, dia pun mengulurkan tangan dengan ragu, lalu mengelus kepala Dara dengan canggung.
Dalam hati dia berharap cara ini bisa menenangkan Dara dalam tidurnya. Sayangnya harapannya tidak terwujud menjadi nyata. Dara justru bangun dengan tersentak.
Gadis itu membuka mata dengan penuh keterkejutan. Napasnya tersengal dengan mata yang melebar. Keringat mengalir semakin deras.
Sadar ada orang lain di sisinya, Dara pun menoleh, mendapati Nata yang menatapnya khawatir dan bingung di saat bersamaan.
Nata menarik tangannya yang bertengger di dahi Dara. "Kau baik-baik saja?"
Dara berkedip. Dia tampak butuh waktu untuk sekadar mencerna pertanyaan sederhana itu. "Ya, aku baik-baik saja," jawabnya lemah.
Gadis itu tampak linglung. Membuat Nata tidak percaya dia baik-baik saja seperti yang dia bilang. Gadis itu tampak mengkhawatirkan dengan penampilannya yang kacau.
"Kau bermimpi buruk?" tanya Nata hati-hati. Dia masih jongkok dan menatap wajah Dara dengan lekat, mencoba mencari tahu apa yang terjadi padanya sebenarnya.
Dara tidak menjawab. Dia terdiam menatap langit-langit cukup lama. Tatapannya mengawang, tidak fokus pada apapun.
Beberapa saat kemudian, dia baru menjawab, "Aku takut."
"Tidak apa-apa, aku di sini. Tidak usah takut," ujar Nata dengan spontan. Kata-kata penenang seperti itu biasanya diucapkan orang-orang pada keadaan seperti ini. Nata hanya meniru sambil berharap Dara sungguh bisa ditenangkan oleh kata-katanya.
Dara menatap sosok yang berjongkok di sisi ranjang.
Lelaki itu memang ada di sana. Itu membuat Dara merasa sedikit lebih baik. Tapi, bukan berarti ketakutannya pergi begitu saja. Dara menelan ludah gugup. "Aku takut, Nata."
Nata meraih tangan Dara, menggenggamnya dengan satu tangan sementara tangan yang lain mengelus rambut berantakan gadis itu.
"Tenanglah, aku di sini. Kau tidak perlu takut, oke?"
Dara menggeleng panik. "Ini menakutkan... Sangat menakutkan... Nata, aku..."
"Shhh," Nata menyuruh gadis itu berhenti meracau.
Entah mimpi buruk macam apa yang gadis itu dapatkan sampai bisa berubah menjadi sosok yang rapuh seperti ini. Gadis itu biasa menjadi sosok yang dingin dan kuat, seakan tidak seorang pun sanggup menggoresnya barang sedikit saja. Tetapi keadaan sekarang sangatlah berbeda; Dara begitu tak berdaya terbaring di atas ranjang.
Nata meremas lembut tangan Dara yang ada dalam genggamannya. "Sudah kubilang aku di sini. Kau tidak sendirian."
Dara tertegun oleh kata-kata Nata. Gadis itu bagai terhipnotis hanya dengan mendengar kalimat sederhana itu.
Selama ini dia hidup dengan penuh penolakan. Semua orang menolak kehadirannya, tidak menyukai keberadaannya, dan akan sangat marah tanpa alasan yang jelas hanya dengan melihat sosok Dara.
Tetapi, kali ini berbeda. Ada orang lain yang menemaninya. Sosok itu tidak meninggalkan Dara dalam penderitaan sendirian. Sosok itu bilang; Kau tidak sendirian...
Dara tidak sendirian...
Kalimat sederhana itu berhasil menenangkan dirinya. Dia yang selalu berusaha berdiri di atas kakinya sendiri tanpa bantuan dari orang lain, sepanjang hidup dia sudah berusaha. Di tengah lelah yang selalu menghujamnya di penghujung hari, ada juga rasa sepi yang kian melekat dalam hatinya, membuat lubang besar yang seakan tidak bisa ditutup dengan apapun.
Lubang itu kini terasa hilang. Mungkin tertutup oleh kehangatan yang diberikan Nata lewat elusan pelan di rambutnya, atau oleh genggaman nyaman di tangannya. Atau mungkin lewat tatapan Mata yang begitu mengkhawatirkan dirinya.
Ah, Dara sekarang sadar betapa sedikit orang yang pernah mengkhawatirkan keadaannya.
Terakhir kali ada Matt yang begitu peduli padanya. Mantan kekasihnya itu sangat pintar merawat Dara jika sedang sakit atau tidak enak badan. Tetapi lelaki itu sudah mengkhianatinya dan pergi kepada perempuan lain.
Dara kembali tidak punya siapa-siapa yang peduli padanya. Gadis itu kembali sendirian, dia harus kembali menelan malam dengan rasa sepi yang menyelimutinya dengan lekat, tidak mau enyah meski Dara sudah muak dengan perasaan hampa dan kosong yang mendalam dalam hatinya. Dara ingin segera menghilangkan hal itu.
Kemudian di sinilah dia. Terbangun dari mimpi buruk tentang masa kecilnya yang menyedihkan, dengan seorang lelaki yang berlutut di sisi ranjang menatapnya penuh khawatir.
"Nata..."
"Iya, aku di sini." Nata menerbitkan senyum bermaksud menenangkan gadis yang memanggilnya dengan gelisah itu. "Aku tidak akan ke mana-mana. Tidurlah lagi."
Dara menggeleng, menolak perintah Nata. "Aku tidak mau."
Gadis itu balas menggenggam tangan Nata yang sejak tadi menyalurkan hangat pada tangannya. Dia menggenggam tangan Nata erat bagai pegangan yang tidak seharusnya dia lepas. Seakan dia akan kena masalah jika melepaskan genggaman itu.
Nata melirik genggaman tangan mereka. Lalu bertanya, "Kenapa? Ada masalah? Kenapa tidak mau tidur?"
"Bagaimana kalau mimpi buruk itu datang lagi begitu aku tidur?" Dara bertanya ketakutan. Matanya bergetar saat bertanya sehingga tidak begitu fokus menatap Nata.
Nata yang menyadari keadaan pun hanya bisa menghela napas.
"Apa seburuk itu mimpinya?" tanya Nata masih tetap mengawasi gadis yang gelisah dan tidak nyaman di atas ranjangnya itu.
Gadis itu menatap Nata. Mulutnya terbuka, tetapi tidak ada kata yang keluar. Gadis itu tampak berusaha menyusun kalimat, tetapi sampai beberapa saat kemudian pun dia tidak mengatakan apa-apa.
Dilihat dari ekspresi wajahnya, tanpa dijawab pun Nata sudah tahu bahwa mimpi gadis itu memang sangatlah buruk.
Nata bertanya lagi, "Apa sangat menakutkan?"
Dara kembali membuka mulut tetapi tidak ada satu katapun yang keluar. Lagi-lagi seperti itu. Gadis itu seakan kehilangan kemampuan bicara karena terlalu banyak hal yang menyita pikirannya. Salah satunya tentu saja bayangan mimpi buruk yang barusan dia lihat dalam tidurnya itu.
"Tidak apa-apa, biarkan saja mimpi burukmu datang. Aku akan menemanimu di sini." Nata menatap gadis itu dengan prihatin. Sungguh gadis itu tampak kacau tidak seperti biasanya. "Sekarang, tidurlah. Aku akan tetap di sini."