Waktu berlalu, dan ini hari terakhir Dara bekerja untuk Sinbi.
Seperti biasa, gadis itu akan lebih awal untuk menyiapkan kafe sebelum jam buka. Meski ada perselisihan antara dirinya dan Sinbi, tetapi dia mencoba untuk tidak memikirkannya. Dia ingin bekerja dengan damai. Itu saja.
Kalau dia ingin mengurusi masalah Matt, lebih baik diurus setelah dia menyelesaikan pekerjaan hari ini dan mendapatkan gaji untuk sebulan penuh.
Untuk saat ini lebih baik fokus pada pekerjaan saja. Tidak lupa untuk fokus agar tidak mengurusi Sinbi yang berpotensi memancing kemarahan.
Kafe akhirnya dibuka. Pelanggan berdatangan dan Dara pun mulai sibuk melayani mereka, membuatkan pesanan mereka.
"Selesaikan pesanan itu dan bicaralah sebentar denganku," Sinbi, bos sekaligus orang yang merebut kekasihnya, memerintah dengan suara pelan.
Dara menatap Sinbi, menghela napas.
Padahal sejak tadi Dara berusaha menghindar. Dia menyibukkan diri agar tidak diajak bicara masalah pribadi. Tetapi, lihatlah ini. Malah Sinbi sendiri yang menawarkan waktu untuk bicara dengannya. Sungguh menyebalkan.
"Tidak bisakah kita bicara nanti saja? Saat pekerjaan sudah selesai," ujar Dara menyarankan. Dia tidak ingin fokusnya terganggu. Terlebih dia tahu pembicaraan ini adalah tentang Matt— tidak mungkin tentang yang lain.
Sayangnya Sinbi tidak mau berkompromi. Dia memasang wajah kesal dan tidak berniat menutupinya. Terang-terangan menatap Dara dengan raut tidak setuju.
"Aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi, ayo bicara sekarang saja," si bos memaksa.
Namun Dara tidak menurut begitu saja. Meski Sinbi adalah bosnya, Dara tidak akan lupa apa ynag sudah gadis itu lakukan kepadanya—merebut kekasihnya. Dan juga ini hari terakhir Dara bekerja di sini. Dara tidak ingin terlalu menurut pada gadis yang menjadi bosnya itu.
Dara menuangkan satu shot ekspreso ke dalam gelas plastik dengan es batu dan air putih di dalamnya. Setelah memasang tutup gelas itu dan menyertakan sedotan, Dara pun memberikan es americano itu pada pelanggan.
Pelanggan itu pergi, Dara berbalik pada bosnya.
"Biarkan aku dengan tenang, Bi. Kita bicara nanti saja. Toh, kalau aku menjadi tidak fokus dan mengacau di sini, pada akhirnya kau akan memotong gajiku." Dara menatap Sinbi dengan lelah, persis seperti tarikan napasnya yang terdengar penuh beban. "Lebih baik kita hindari hal seperti itu."
"Ayolah, jangan berlebihan. Aku hanya ingin bicara soal kejadian malam itu." Sinbi tidak menyerah begitu saja. Dia masih saja mencoba berbagai cara untuk membujukku.
Namun tepat saat itu, segerombol anak sekolah datang. Mereka memesan cukup banyak hal yang membuat Sinbi mau tak mau mengalah. Demi bisnisnya, dia akan menunda pembicaraan penting itu.
***
Seberapa pun Dara menghindar, pada akhirnya hal ini datang juga. Sinbi menahannya agar tidak pulang dulu setelah mereka menutup kafe. Ini akan menjadi awal pembicaraan yang paling Dara benci, pembicaraan soal Matt.
Mereka berdua duduk di salah satu bangku kafe, bangku yang berada dekat dengan jendela, bangku kesukaan pelanggan. Namun mereka sudah menarik turun penutup jendela, sehingga meski mereka menoleh ke samping, mereka tidak akan melihat pemandangan apapun.
Sinbi, di luar dugaan, masih memiliki sedikit kebaikan sebagai manusia. Dia membuat dua cangkir latte, satu untuk Dara dan satu untuknya sendiri.
Dara menunduk, menatap latte art buatan Sinbi yang lebih bagus dari buatannya. Dara akui Sinbi hebat jika menyangkut pembuatan menu di kafenya. Meski manajemen secara keseluruhan lumayan buruk. Untung dia punya keluarganya yang kaya itu.
Sinbi meletakkan cangkir setelah menyeruput. Dia tampak puas dengan rasanya.
"Katakan apa yang ingin kau katakan secepatnya. Aku ingin pulang," ujar Dara. Dia ingin pergi dari tempat itu dan tidak usah kembali lagi untuk selamanya.
"Aku juga tidak ingin berbicara lama-lama denganmu." Sinbi menumpukan kedua siku di meja. Tubuhnya sedikit condong ke depan, ke arah Dara. "Sekarang, katakan padaku, apa yang terjadi malam itu? Apa yang membuat Matt dan kekasihmu berkelahi hebat malam itu? Apa yang membuat lelaki selembut Matt memancing keributan di tempat umum?"
Sudah tertebak. Mengabaikan Nata yang disebut sebagai kekasihnya, Dara sudah mengira pertanyaannya akan seputar hal ini. Hal apa lagi memang? Urusan antara Dara dan Sinbi hanya ada Mattew saja. Jika urusan bisnis mereka akan bicara langsung tanpa saling meminta waktu begini.
Sejujurnya meskipun sudah tahu topik apa yang akan dibicarakan oleh Sinbi, Dara tetap heran dengan pertanyaan gadis itu. Kenapa juga Sinbi menanyakan alasan dari keributan itu? Apa dia benar-benar tidak tahu?
"Apa kau sungguh tidak tahu?" tanya Dara.
"Aku bingung, jujur saja." Sinbi menegakkan punggung, matanya melirik ke samping, tidak menatap apapun dengan pasti. "Kenapa Matt menjadi begitu setelah melihatmu dan kekasihmu?"
Kali ini Dara tidak lagi bisa mengabaikan detail kecil itu, tentang Nata yang disebut sebagai kekasihnya. "Aku tidak tahu bagian mana yang membuatmu, tapi, biar ku perjelas, lelaki yang bersamaku itu bukan kekasihku."
Kepala Sinbi meneleng sedikit. "Dia bukan kekasihmu?"
"Bukan."
"Sekarang aku semakin bingung," Sinbi mengaku. Gadis itu menangkupkan kedua telapak tangan ke cangkir, mencari kehangatan di sana.
"Katakan apa yang membuatmu bingung? Biar aku jelaskan," tawar Dara bukan karena dia memiliki hati yang baik atau apa, dia hanya sudah ingin menyudahi pembicaraan menyebalkan ini. Dia ingin segera pulang dan mengunjungi tetangganya, Nata.
"Aku sangat yakin Matt lebih menyukaiku dari pada kau. Rasanya tidak masuk akal dia meninju kekasihmu hanya karena kalian berciuman."
Dara terbatuk, nyaris tersedak. Dia tidak menyangka Sinbi akan menyebut kejadian itu dengan gamblang seperti itu. Dan juga,
"Dia bukan kekasihku. Berapa kali harus ku katakan?"
"Lalu kenapa kalian berciuman?" tanya Sinbi polos, berbanding terbalik dengan sosok dirinya yang jauh dari kata polos, sejauh kutub Utara dan Selatan.
Dara, tanpa bisa ditahan, memutar kelereng matanya. "Biar kutebak, kau dan Matt lebih dulu berciuman sebelum resmi menjalin hubungan, kan?"
Itu sudah menjadi hal yang jelas. Mengingat Sinbi harus menggoda Mattew lebih dulu agar mereka bisa menjadi pasangan kekasih—sebelumnya selingkuhan—karena Mattew tidak mungkin akan berpaling semudah itu. (Atau mungkin Matt memang mudah berpaling. Dara saja yang tidak tahu.)
Sinbi menipiskan bibir, tampak berpikir dengan mata memicing.
"Baiklah, kalian bukan sepasang kekasih tapi kalian berciuman. Sekarang jelaskan bagian ini, kenapa Matt menonjok lelaki yang bukan kekasihmu itu? Apa Matt masih menyukaimu?"
Pertanyaan ini juga menimbulkan kebingungan tersendiri bagi Dara. Yang jelas Dara tidak bisa menjawabnya.
Meskipun Nata sudah meyakinkan Dara bahwa Matt masih menyukainya, meski Nata menyebutkan penjelasan panjang lebar untuk meyakinkan Dara, sayangnya Dara masihlah tidak percaya akan hal itu.
Baginya, jika Matt memang menyukainya, maka dia tidak mungkin berselingkuh dengan Sinbi.
Meski dia sesekali melihat sorot penuh perasaan dari mata Matt yang ditujukan padanya, Dara lebih sering melihat sorot itu ditujukan kepada Sinbi. Sehingga dia menyimpulkan bahwa Matt jauh menyukai Sinbi dibanding dirinya.
Namun di titik ini, dia ingin membuat Sinbi kehilangan kesenangannya. Dia ingin membiarkan Sinbi gusar dengan dugaan-dugaan yang membuatnya takut kehilangan Matt.
"Tidak ada alasan lain yang menjelaskan kenapa Matt memukul lelaki yang menciumku jika bukan karena cemburu. Dan kecemburuan hanya bisa datang jika Matt memang masih menyukaiku."