Setelah berkali-kali berkesempatan menaki bus bersama, akhirnya mereka mendapatkan tempat bersebelahan duduk juga. Mereka duduk bersisian dengan Dara yang berada dekat jendela.
Nata melirik Dara yang sejak tadi menatap ke luar jendela. Memandangi pemandangan malam yang didominasi lampu-lampu jalan dan gedung-gedung.
Laki-laki itu masih memikirkan ucapan Dara tadi, tentang bibirnya yang manis dan membuat gadis itu suka.
Padahal dia pernah mendapat ucapan serupa dari manusia lain saat melakukan tugasnya sebagai malaikat. Namun entah kenapa wajah datar Dara saat mengatakannya justru membuat Nata terus memikirkan hal itu.
"Nata."
Nata terkejut. Dia mendapati Dara yang ternyata sudah menoleh padanya.
"Apa?"
"Aku tidak mendengarmu merintih sejak tadi, padahal lukamu banyak sekali. Apa kau memang tidak bisa merasakan sakit?" tanyanya dengan datar. Wajahnya tanpa emosi dan sorotnya perpaduan antara malas dan tidak tertarik.
Namun Nata paham betul bahwa gadis itu bertanya dengan kesungguhan, bahwa Dara sungguh ingin tahu tentang tubuhnya yang tidak bisa merasakan sakit atau dia hanya menahan sakit dan berpura-pura baik-baik saja di hadapan Dara selama ini.
Namun Nata tidak bisa menjawab begitu saja. Ada hal-hal tentang kemalaikatannya yang tidak bisa diumbar begitu saja. Terlebih pada seorang manusia yang adalah kliennya untuk dipenuhi keinginan tulusnya.
"A-apa maksudmu?" gagap Nata yang pandangannya masih terkunci pada sorot tanpa binar di mata Dara.
"Saat tanganmu terluka karena pisau kau juga hanya tersenyum-senyum saja. Tidak pernah berkata sakit atau perih atau apapun. Sekarang juga begitu, kau diam saja dan mengajakku mengobrol sampai aku lupa kalau kau sedang terluka."
Dara meraih tangan Nata yang masih terbalut perban. Perban yang harusnya putih tapi sekarang menjadi sedikit kotor karena perkelahian tadi.
Dia menghela napas dalam dan melepaskannya dengan pelan, sangat pelan dan lembut sampai nyaris tidak menghasilkan suara apapun.
Namun Nata di sampingnya, mendengarnya dengan jelas.
"Apa kau menggunakan tangan ini juga untuk berkelahi tadi?" gadis itu mendongak saat bertanya, menatap Nata langsung tepat di mata.
Lagi-lagi mengunci Nata dalam tatapannya yang seakan tidak berperasaan.
Nata hanya mengangguk. Kehilangan kata untuk menjelaskan keadaan tubuhnya yang memang istimewa dibandingkan manusia biasa— tidak bisa merasakan sakit. Namun tidak masalah jatuh terdiam, karena memang sudah seharusnya dia menyembunyikan hal itu.
"Harusnya kau meringis kesakitan. Kau justru tersenyum terus sejak tadi."
"Ah, itu ...." Sekarang Nata kehilangan kata sepenuhnya. Dia menegang di tempatnya.
Dia bisa menghilang dari hadapan Dara sekarang juga jika mau. Tinggal memfokuskan pikiran dan boom! Nata akan sampai di tempat yang dia inginkan.
Sayangnya itu hanya akan membuat tanya dalam kepala Dara semakin menumpuk, dan jangan lupakan orang-orang yang sedang berada satu bus bersamanya. Mereka akan menyaksikan sebuah sulap yang bukan sekadar trik di depan mata mereka langsung.
Dan sungguh, itu tidak akan berakhir baik. Semua orang akan mulai membicarakannya dan itu hanya akan membuat dirinya dipanggil untuk sidang disiplin lagi.
Maka pilihan yang tersisa hanya satu: duduk dan hadapi Dara. Jangan coba-coba berpikir untuk kabur, bahkan jika Dara menatapnya seperti sekarang, dalam dan menjerumuskan.
"Kau tidak bisa merasakan sakit. Benar begitu, kan?"
Nata menunduk menghindari kontak mata dengan Dara. Terlalu berbahaya cara gadis itu mempengaruhinya hanya dengan kedua manik mati itu.
Susah payah Nata menelan ludah. Pada akhirnya, dia menjawab sejujurnya dengan segala konsekuensi yang tidak repot dia pikirkan lebih dulu, "Ya. Begitulah."
Bus berhenti. Mereka berdua turun di halte dan berjalan kaki menuju tempat tinggal mereka.
Dara tidak langsung masuk, dia menatap Nata yang perlu berjalan beberapa langkah lagi untuk sampai di depan apartemennya.
Gadis itu memanggil, "Nata."
Nata menghentikan langkahnya. Menoleh ke belakang.
"Walaupun tidak sakit. Setidaknya biarkan aku membersihkan luka-lukamu," ujar Dara, dan itu sama sekali tak terduga.
Sebab kebanyakan manusia yang— tanpa sengaja —mengetahui tubuhnya tidak bisa merasakan sakit, kebanyakan dari mereka dan nyaris semua dari mereka memilih menjauh.
Nata terdiam sesaat, tidak menyangka Dara akan memperhatikannya dan bukannya menganggap dirinya sosok yang perlu dihindari.
"Kemarilah," perintah Dara pelan.
Tidak ada ruang bagi Nata untuk menolak. Maka satu hal tersisa yang bisa Nata lakukan hanya menurut, mengikuti gadis itu masuk ke dalam apartemennya.
***
"Apa kau punya jimat atau semacamnya?"
Nata, yang duduk memunggungi Dara, menoleh dan menatap gadis itu lewat atas pundaknya.
Dia mengecam, "Pertanyaan macam apa itu?"
Dara balas menatap Mata sebentar, sebelum dia kembali menunduk pada punggung Nata yang perlu dibersihkan dan diberi obat pada luka-luka yang menyeluruh di permukaan mulus itu.
"Aku hanya penasaran kenapa kau tidak bisa merasakan sakit di tubuhmu. Sepertinya akan menyenangkan kalau aku juga begitu," ujar Dara, jujur. Meski terdengar seperti ucapan sembrono dari gadis yang baru beranjak dewasa beberapa tahun terakhir.
Dengusan terdengar. Tentu saja Nata yang melakukannya. Dia kembali menatap ke depan, membiarkan punggungnya diperlakukan dengan begitu hati-hati oleh manusia yang sedang dia manfaatkan demi kembali pada habitatnya yang asli— surga.
"Apanya yang menyenangkan?" gerutu Nata. Entah kenapa terdengar kesal padahal dia tidak merugi meski tubuhnya kebal terhadap luka yang sanggup membunuh manusia sekalipun. Harusnya dia bersyukur. Entah apa yang membuatnya merasa berhak mengeluh seperti itu.
Dara meraih salep dan menimpakannya pada tiap luka yang menghias di punggung Nata, begitu pelan, dengan jemarinya langsung, begitu lembut, diselingi tiupan pelan dari mulut.
Pikiran Dara secara otomatis membayangkan dirinya dengan tubuh yang tidak dapat merasakan sakit, apapun itu. Mungkin sesekali tubuhnya terluka, tapi dia tidak akan mengeluh bahkan jika seember larutan garam ditumpahkan kepadanya.
Dara mendekatkan bibir pada satu luka gores paling parah di bagian atas punggung Nata. Meniupnya pelan sambil mengoles salep. Lalu dia berbisik masih dengan bibir yang dekat dengan luka, "Aku bisa bekerja seharian penuh tanpa takut jatuh sakit."
Bisikannya datar, konsisten dengan tanpa perasaan pada tiap kata yang dia ucap. Namun Nata terus saja merasakan kesungguhan dalam kalimat yang keluar dari bibir Dara. Seakan gadis itu tidak pernah dikenalkan pada kebohongan, setitik pun.
Dan juga Nata merasakan hembus napas hangat dari mulut Dara saat gadis itu mengutarakan keinginannya. Sebuah 'andai saja' yang tidak akan pernah jadi nyata, sebab gadis itu manusia, sesosok manusia yang mencapai standar sempurna bagi para manusia: normal.
"Jangan memaksa diri bekerja terlalu keras. Kau bisa mati. Ingatlah, kau itu cuma manusia biasa, jangan terlalu memaksakan diri."
"Kau bicara seakan kau bukan orang biasa," balas Dara sebelum beralih ke luka lain, mengoleskan salep dengan jemarinya itu.
"Aku spesial, asal kau tahu saja."
Dara mendengus. "Tapi sungguh, jika aku tidak bisa merasakan sakit sepertimu, aku akan sangat suka."
Nata terkekeh. "Kau menyukai segala hal tentangku sepertinya."
"Hah?"
"Tubuhku yang tidak bisa merasakan sakit, bibirku yang lembab dan manis, kau menyukai semua itu." Nata membalik badan, membiarkan keduanya saling menghadap dengan mata yang terpaku satu sama lain. "Apa kau juga akan menyukai mataku jika aku menatapmu seperti ini?"
Dara berkedip. Butuh sedetik sebelum dia berhasil bangun dari keterpakuannya terhadap manik Nata.
"Berhenti menatapku!" Gadis itu melayangkan pukulan ringan di lengan Nata. Sedikit kuat sebenarnya, tapi bukankah apa-apa bagi Nata yang memang tidak akan tersakiti oleh luka-luka manusia.
"Kau pasti akan menyukai mataku jika aku menatapmu lebih lama lagi." Nata menatap menggoda pada gadis yang kini menghindari matanya itu. Dara memfokuskan diri pada kotak obat, mencari-cari sesuatu entah apa, Nata tidak tahu.
Setelah hening yang cukup lama, Dara membuka suara. Mengatakan sekalimat hal yang sangat tidak terduga.
"Aku sudah menyukai matamu sejak awal."
Mata Nata, yang katanya disukai oleh Dara, membulat terkejut. Tidak aneh bagi manusia untuk jatuh pada pesona malaikat. Namun Nata tidak menyangka Dara akan mengatakannya begitu saja dengan nada enteng seolah hal itu bukanlah apa-apa.
Atau memang semudah itu bagi Dara untuk mengungkapkan perasaannya?
"Sejak awal? Sejak kapan?" desak Nata agar Dara segera memberitahunya.
Mengalihkan pandangan dari kotak obat ke mata Nata, Dara masih saja menatap datar. Gadis itu berdecak.
"Diamlah, aku harus membersihkan bibirmu."
Kemudian dengan sebilah cotton bud dan antiseptik, dia mulai membersihkan ujung bibir Nata yang sobek, sekaligus membuat jelmaan malaikat itu bungkam karena jarak wajah mereka yang terlalu dekat.