Tinju yang dilayankan Matt tidak berhenti sampai di situ saja. Laki-laki itu meraih kerah Nata dan menyeretnya ke luar restoran. Melanjutkan perkelahian di sana.
Dengan tanpa aba-aba, Matt memukuli Nata tanpa ampun. Sementara laki-laki malaikat itu hanya diam saja, membiairkan sang manusia memukuli tubuhnya sampai menimbulkan luka di mana-mana.
"Beraninya kau melakukan itu?!" satu pukulan melayang lagi, tepat di ulu hati Nata. "Kau pikir kau siapa, hah?!"
Nata berdiri dengan tegak saat Matt mengambil jeda. Nata mengusap sudut bibirnya yang berdarah.
Malaikat itu tersenyum mengejek. "Kau sendiri siapa? Kenapa harus marah saat aku mencium Dara?"
Dara dan Sinbi mendekat berusaha memisahkan dua laki-laki itu.
Nata menyuruh Dara menyigkir, "Aku baik-baik saja. Lebih baik kau masuk ke restoran lagi."
"Babak belur begini masih bisa bilang baik-baik saja? Kau punya nyawa berapa sampai berani bicara begitu?" gadis itu mengomeli Nata sambil memegangi lengan laki-laki itu, membantunya berdiri. Padahal Nata masih sanggup berdiri dengan tenaganya sendiri.
Nata melirik Mattew yang terbakar cemburu melihat Dara memilih menolongnya daripada menolong Matt. Malaikat pembuat onar itu tersenyum puas.
"Lebih baik kau mengalah kalau tidak bisa berkelahi," suruh Dara. Dia tidak ingin Nata semakin bonyok lagi.
Nata merogoh sakunya, mengambil sebuah dompet dan menyerahkannya pada Dara. "Kembalilah ke restoran. Kita belum membayar tagihannya tadi."
Dara mendelik karena Nata sempat-sempatnya memikirkan hal itu di saat tubuhnya sudah dipenuhi lebam dan darah.
Dara berniat menolak. Dia ingin memastikan Nata baik-baik saja lebih dulu dan mengurus pembayaran makanan nanti saja. Namun Nata mendorong gadis itu unutk segera pergi dari sana.
Mau tak mau Dara pun meninggalkan Nata dan membayar makanan mereka lebih dulu.
Begitu dia selesai membayar, dia sgera keluar lagi.
Pemandangan yang dia lihat di luar membuatnya membeku sesaat saking terkejutnya.
Nata masih dalam penampilannya dengan luka yan lumayan parah. Namun laki-laki itu kini berdiri dengan satu kaki mendarat di dada Matt yang sudah tergeletak tak berdaya.
"Kau cemburu?"
Matt tidak mendengarkan. Dia kesakitan dan sibuk mencoba menyingkirkan kaki Nata dari dadanya.
"Jawab aku, Matt. Apa kau cemburu?"
Masih tidka mendapatkan jawaban juga, Nata pun menekan kakinya lebih kuat. "Jawab aku!"
"A-aku ... aku ...."
"Jawab yang jelas," suruh Nata sambil menekan kakinya lagi.
"Singkirkan kakimu," pinta Matt dengan mata yang sudah memerah dan sedikit berair.
"Kenapa aku harus melakukannya? Kau sudah memukulku sepuasmu tadi. Bukankah menjadi giiranku sekarang ini?" taya Nata dengan suara yang membuat Matt meerinding. Terlebih saat matanya ditatap lurus oleh laki-laki itu, Matt menelan ludah gugup.
Pada akhirnya Nata menyingkirkan kakinya dari Matt, membiarkan laki-laki itu bangkit meski kepayahan. Sinbi segera mendekat dan membantu Matt berdiri.
"Kau tidak apa-apa?" tanya gadis itu yang hanya diabaikan oleh Matt.
Matt sibuk menatap Nata yang tidak tampak kesakitan meski tubuhnya sudah babak belur begitu.
Nata bals menatap Matt dan berujar dengan senyum manisnya itu, "Aku tahu kau masih menyukai Dara. Aku tahu benar itu."
"Kenapa kau menciumnya kalau kau tahu hal itu?"
Nata menipiskan bibir dan bergumam, sok berpikir. Dia kemudian menatap Matt lagi dan hanya mengangkat bahu. "Aku hanya ingin melakukannya."
"Bajingan kau!" mantan kekasih Dara itu berniat melayagkan tinju lagi, tapi Sinbi menahan dirinya. Ditambah tenaganya yang sudah berkurang pasca dihajar Nata membuatnya tidak bisa banyak bergrak.
"Kau mau memukulku lagi?" dengan jahil Nata bertanya.
"Nata," sseorang memanggil.
"Oh? Kau sudah membayar?" tanya Nata dengan lembut seakan dia tidak habis menghajar orang lain.
Dara mengangguk meski masih tidak bisa beradaptasi dengan keadaan yang aneh itu. "Sudah. Ini dompetmu."
Nata menerima dompetnya kembali. Dia mengusap kepala Dara dengan sengaja, membuat Matt semakin cemburu. Setelah itu dia memasukkan dompet ke dalam saku.
"Ayo kita pergi," ajakya sambil merangkul Dara akrab.
"Pergi begitu saja?"
"Kau masih ingin berada di sini lebih lama?"
"Tentu saja tidak." Setelah semua kekacauan yang terjadi, mana mungkin Dara mau bertahan di tempat seperti itu. Hanya saja dia merasa ada yang kurang.
Dia menatap Nata yang berjalan santai sambil merangkulnya itu. "Bukankah kau bilang kau akan memastikan perasaan Matt terhadapku? Kenapa kita pergi begitu saja?"
Setelah mereka sudah mulai menjauh dari restoran itu, Nata baru menjawab, "Aku sudah memastikannya."
"Sungguh?" Dara terkejut sampai menghentikan langkah.
Nata menunduk, melirik gadis dalam rangkulannya. Dia tersenyum lalu mengangguk. "Iya."
Setelah itu dia membawa Dara berjalan lagi, semakin menjauh dari restoran itu, semakin menjauh dari Matt yang masih saja menguarkan aura kecemburuan.
"Dia sudah tidak menyukaiku lagi, ya?" tanya Dara dengan lesu. Gadis itu lebih dulu menyimpulkan hal yang belum jelas kebenarannya.
"Kenapa kau berpikir begitu?"
"Dia masih bersama Sinbi sekarang. Harusnya dia megejarku kalau dia masih menyukaiku," jelasnya dengan nada kecewa.
"Kau pikir Matt akan mengejarmu di saat kau sedang kurangkul begini? Dia takut aku menghajarnya lagi," Nata berujar dengan penuh percaya diri. Dia tersenyum bangga karena telah membuat manusia angkuh itu kalah di bawah kakinya.
"Jadi dia masih punya perasaan untukku tidak?"
"Babe? Kau sungguh menanyakan hal itu?" Nata menatap Dara dengan wajah yang tidak percaya. "Saat mantan pacarmu itu menghajarku, harusnya kau sadar bahwa dia masih menyukaimu."
"Tapi ... kenapa dia menghajarmu?"
Nata menghentikan langkah. Dia melepaskan rangkulannya dan memegangi kedua bahu Dara.
"Kau sungguh tidak tahu?"
Dara menggeleng jujur.
Nata sedikit menunduk agar sejajar dengan wajah Dara. "Dia marah karena aku menciummu, Dara."
Dara tertegun.
Nata menunggu sampai gadis itu mencerna ucapannya.
"Kenapa dia marah? Dia ... cemburu?"
Nata mengangguk. "Semacam itu."
Laki-laki itu kembali mernagkul Dara yang masih setengah kebingungan. Mengajak gadis itu untuk membeli es krim untuk menutup malam panjang mereka.
Mereka duduk di kedai es krim dalam diam. Dara masih tampak sedikit bingung. Entah bagian mana yang tidka gadis itu pahami. Namun Nata senang memandangi raut wajah Dara yang menurutnya menggemaskan itu.
"Makan es krimnya sebelum meleleh," Nata mengingatkan.
Dara mengangguk dan memasukkan sesendok rasa cklat ke dalam mulutnya.
Tiba-tiba saja gadis itu mencetus, "Harusnya aku menghajar Sinbi saat pertama kali melihatnya berciuman dengan Matt."
Nata hampir tersedak menddengar hal itu. "Kau benar-benar tipe pendendam rupanya."
"Harusnya aku membuat Sinbi babak belur seperti yang kau lakukan pada Matt." Gadis itu tampak kesal dan berapi-api. "Kenapa saat itu aku malah kabur? Bodoh sekali aku."
"Mungkin kau hanya terkejut, makanya kau tidak tahu harus berbuat apa selain kabur."
"Lagipula, setelah itu kau juga berniat merajam mereka berdua dengan pisau kecilmu itu, kan? Kupikir itu usaha yang lumayan bagus, kau tidak menangisi nasibmu di pojokan seperti kebanyakan gadis yang dikhianati."
"Ngomong-ngomong, pelembab bibir apa yang kau pakai?"
"Hm?" Nata menatap Dara tidak paham.
Dara menggaruk pelipisnya. "Bibirmu terasa lembab dan ... manis. Aku suka."
Kali ini Nata benar-benar tersedak ludahnya sendiri.