Nata berkedip. Seketika sadar sudah terlalu lama memperhatikan Dara yang sibuk menertawakan pendapat Nata.
"Apa yang membuatmu berpikir begitu?" tanya Dara dengan sisa tawa di bibirnya itu, "Apa tempat berantakan ini mengingatkanmu pada hidupku yang tidak kalah berantakan?"
"Bukan itu yang aku bicarakan."
"Lalu apa? Kumuh, kacau, berantakan. Hanya itu yang bisa kau lihat dari tempat ini," ujar Dara dengan entengnya mengabsen daftar keburukan tempa tinggalnya.
Nata menatap Dara sampai gadi itu benar-benar selesai dengan tawanya itu.
Dara yang tidak kunjung mendapat balasan dari Nata pun menoleh pada lelaki itu. Matanya langsung bertemu dengan mata Nata yang menatapnya lurus. Seketika Dara berhenti tertawa, dia terkelu.
"Kau benar-benar tidak tahu atau hanya berpura-pura tidak tahu?"
"A-apa?"
"Tempat ini sangat kosong dan hampa, tapi di saat bersamaan kau bisa merasakan ambisi dan sisa-sisa kehangatan yang entah berasal dari mana."
Dara merasa tubuhnya membeku. Dia merinding mendengar ucapan Nata yang selalu terucap dengan manis. Hanya saja kali ini ada kesungguhan lain yang Dara lihat di mata lelaki itu.
Dara menelan ludah. Dia segera melengos menghindari tatapan Nata yang terasa sangat intens.
Gadis itu mengelus tengkuknya yang meremang. "A-apa yan kau bicarakan, sih?" tanyanya tergagap.
Nata hanya mengangkat bahu tidak peduli. Setelah itu dia meminum kopinya yang sudah mulai dingin.
"Kopi apa ini?" tanya Nata seusai meneguk beberapa kali minuman itu.
Dara menunjuk bungkus kopi yang tergeletak di dapur, belum sempat dia buang. "Merek apa itu aku lupa. Lihat sendiri kalau mau tahu."
"Sepertinya aku akan membelinya nanti."
"Kau suka?" tanya Dara sambil lalu. Tida benar-benar ingin tahu sebenarnya.
"Tidak terlalu manis. Aku suka."
Gadis itu menatap laki-laki yang sedang menikmati kopinya itu.
Mungkin alasan Nata menyukai sesuatu yang tidak terlalu manis karena parasnya yang sudah luar biasa manis. Sehingga dia tidak perlu pemanis tambahan untuk setiap makanan yang masuk ke dalam perutnya.
"Kenapa?" tanya Nata menyadari Dara menatapnya sejak tadi.
Dara menggeleng. "Bukan apa-apa."
Gadis itu segera bangkit dan kembali ke dapur. Dia membuka lemari dan mengambil beberapa bungkus makanan ringan dan membawanya kembali ke sofa.
Dai membuka salah satunya dan mulai makan dalam hikmat.
Nata menatapnya. "Boleh aku buka yang ini?"
"Buka saja. Memang aku mengambil ini untukmu."
Senyum Nata terbit dengan begitu lebar.
Darah Dara berdesir melihat itu.
"Terimakasih," ucap Nata. Laki-laki itu memasukkan sebuah keripik kentang ke dalam mulutnya sebelum bertanya sambil mengunyah, "Ngomong-ngomong, bagaimana dengan balas dendammu itu?"
Dara menjawab, "Aku berniat meminta saran darimu. Kau bilang kau punya banyak ide, kan?"
"Itu benar. Ideku banyak. Tapi kebanyakan bisa membuatmu berakhir di penjara."
Dara melotot. "Apa otakmu didominasi ide-ide pembunuhan?"
"Kurang lebih. Tapi seniorku sudah menyuruhku berhenti melakukan hal itu."
Untuk sejenak, Dara benar-benar tidak membuat gerakan apapun. Dia tertegun. Tubuhnya mematung, mulutnya kelu.
Perlahan kelopak matanya berkedip. Dia mendapatkan kembali kesadarannya.
"Ka-kau ... pernah ... membunuh?"
Sekarang giliran Nata yang terdiam. menyadari kebodohan apa yang baru saja dia lakukan, mengungkapkan kegiatan yang biasa dia lakukan saat masih menjadi malaikat pembuat onar.
"Tentu saja tidak," bohong Nata. "Aku hanya membatu orang-orang yang kebetulan menginginkan orang lain untuk mati."
"Apa kau membantu orang-orang itu dengan membunuh?"
"Hey, ayolah. Kenapa kau serius begitu?"
"Bagaimana aku tidak serius saat kau jelas-jelas mengaku pernah membunuh orang."
"Dara—"
Gadis itu memundurkan tubuhnya begitu Nata menghadap padanya.
Nata menghela napas. Dia pun meraih kedua bahu gadis itu dan membawanya untuk tegak, memeganginya erat. Dia tidak membiarkan Dara menghindar darinya.
"Dengarkan aku," kedua mata Nata memaku pandangan Dara. Membawa gadis itu untuk tenggelam dalam mata gelapnya yang tampak tak berujung.
Dara menelan ludah takut-takut.
Dengan suara dalam Nata berujar penuh kelembutan, "Aku tidak pernah berkata aku membunuh manusia. Kau sendiri yang menyimpulkan hal itu, Dara."
"Ta-tapi kau---"
"Sssstt," Nata menempelkan telunjuk pada bibir Dara, membungkam gadis itu seketika. "Jika aku pembunuh, aku harusnya ada di kantor polisi, bukannya di sini."
"Bisa saja para polisi sedang mengejarmu," ucap Dara dengan berbagai macam kemungkinan yang melintas dalam kepalanya.
Nata tidak gentar. Dia tetap menatap Dara lurus-lurus, membuat gadis itu kewalahan dengan tatapanya itu.
Lelaki itu pun membalas Dara, "Kalau aku buronan, aku harusnya sembunyi. Menurutmu kenapa aku malah berakhir di sini dan membantumu merencanakan dendammu itu?"
"Aku—" belum sempat menyelesaikan kalimatnya, lagi-lagi Nata memotongnya.
"Berhenti memikirkan hal tidak masuk akal seperti itu. Aku bukan manusia kejam yang tega mmbunuh manusia lainnya." Tapi malaikat pembuat onar yang membunuh manusia karena keinginan manusia lainnya.
Andai saja Dara mndengar isi pikiran Nata, pasti gadis itu akan lebih terkejut karena Nata bukan sekadar pembunuh tetapi malaikat yang membunuh dengan dalih permintaan tulus manusia.
Nata melepaskan tangannya dari bahu Dara. Dia meraih cangkir kopinya dan mulai menyeruput cairan hitam itu lagi.
"Sebenarnya apa yang kau pikirkan sampai mengira aku ini seorang pembunuh?"
Dara berdeham. Tiba-tiba saja merasakan kecanggungan yang begitu kuat. Dia melirik Nata. Dengan ragu-ragu dia menjawab lirih, "Kau sendiri yang mengatakannya secara tidak langsung tadi."
Nata menatap Dara dan menggeleng-gelengkan kepalanya itu seperti menemukan sesuatu yang menakjubkan.
"Kau terlalu banyak menonton film sepertinya," komentar laki-laki itu.
Nata kembali meraih sebungkus makanan yang belum sempat dia habiskan itu. Dia kembali memakan itu dan mengagumi rasa yang tidak pernah dia temui di kalangan malaikat. Tentu karena malaikat tidak membutuhkan makan sehingga tidak ada gunanya mengembangkan berbagai macam rasa seperti yang dilakukan para manusai.
"Apa kau masih mau meminta saran dariku?" tanya Nata tiba-tiba.
Dara tersentak. Namun dia segera menajwab tanpa berpikir panjang, "Tentu saja. Aku ingin membalas dendam pada mereka, jadi kau harus menepati ucapanmu untuk membantuku."
"Bukankah sudah kubilang? Kau cukup balas dendam pada Sinbi saja, jangan keduanya," Nata mengingatkan. "Tapi tenang saja, aku akan tetap membantumu. Kau tidak perlu khawatir."
Dara merasa senyumnya perlaan mengenbang naik. Seteah tadi ketakutan, sekarang dia mencoba tidak peduli asalkan misi balas dendamnya bisa terlaksana dengan sempurna.
Dia bertanya pada Nata dengan penuh pengharapan, "Apa yang aharus kau lakukan pertama?"
"Pertama?" Nata seperti sedang berpikir sesaat. Setelah itu dia menatap Dara dengan sebuah senyum penuh arti. "Kita pastikan dulu seberapa perasaan Mattew yang tersisa untukmu."
Dengan tatapan ragu, Dara menatap laki-laki itu. dia bertanya pesimis, "Bagaimana jika dia sudah tidak menyukaiku sama sekali?"
Nata menjawab tanpa beban, "Tinggal buat dia menyukaimu lagi. Apa susahnya?"