Padahal tidak ada perencanaan, tapi seakan sudah didiskusikan, mereka berdua kembali bertemu di halte bus.
Nata berdiri di sana bersama beberapa orang yang sedang menunggu kendaraan umum itu. Dara segera menghampiri laki-laki itu. Dia melirik tempat duduk yang ternyata sudha dipenuhi segerombol remaja berseragam sekolah.
"Kemana kita harus pergi?" tanya Dara.
Mreka perlu melanjutka pembicaraan mereka tentang rencana bals dendam mereka. Sudah jelas mereka butuh sebuah tempat yang nyaman unutk membicaran hal ini.
Tanpa berpikir Nata menawarkan sebuah tempat, "Rumahku. Bagaimana?"
Dara tidak menyangka Nata akan menawrkan rumahnya sendiri sebagai markas. "Kupikir kau tidak ingin alamatmu diketahui."
"Siapa bilang?" tanya Nata sambil menatap gadis itu.
Gadis itu menggeleng. "Tidak ada."
"Lalu kenapa kau menyimpulkan begitu? Aneh sekali kau ini?"
Dara mengigat kejadian sata merka baru pertama kali bertemu. Saat Dara habis membawa Nnata ke klnik. Dia pernah menanyakan alamat lelaki itu. "Kau tampak ragu saat dulu aku bertanya alamat rumahmu."
"Ah, itu." Nata ingat kala itu. Bukannya dia tidak ingin memeberitahu alamatnya pada Dara. Masalahnya dia tidak punya rumah di bumi kala itu. Satu-satunya alamat yang dia punya kala itu adalah surga. Jadi mana mungkin dia memberi tahu Dara?
"Memang di mana rumahmu?" Dara bertanya penasaran.
"Di sebelahmu," jawab Nata tidak terduga.
"Hah?" Dara kebingungan.
Nata menjelaskan keadaannya dengan jujur, "Aku baru pidah ke apartemen di sebelahmu."
Gadis itu terdiam sebentar. Otaknya masih mencoba mencerna apa yang sedang dibicarakan oleh Nata. Informasi yang diberikan laki-laki itu terlalu mendadak dan mengejutkan. Terlalu tidak terduga.
"Kenapa kau pindah ke sana?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Dara.
Nata menggaruk belakang telinganya. "Seniorku yang mengurus kepindahanku. Aku hanya menurutt saja akrea tidak ingin repot."
"Tapi bagaimana kau bisa tahu kalau aku tinggal di sebelahmu? Aku belum pernah mengatakan alamatku padamu," Dara berujar masuk akal.
Lagi-lagi Nata keceplsan. Dia sudah terlalu banyak tahu tentang Dara karena semua informasi yang dia dapakan dari surga.
Sekarang dia hanya bisa tersenyum kaku saat mengarang cerita yag tidak perah terjadi sebenarnya.
"Aku melihatmu keluar masuk apartemen di sebelahku. Jadi aku menyimpulkan kau tinggal di sana."
"Ah. Begitukah?"
Dara mulai terperangkap kebohongan Nata yang kelewat sempurna. Terdengar masuk akal dna mudah dipahami.
Terlebih senyum kaku laki-laki itu tidak terlihat aneh sama sekali. Masih saja terlihat seprtt senyuman manis yang bernilai seuruh gula di semesta ini.
"Oh? Itu busnya datang," Dara memberitahu saat melihat bus yang biasa dia naiki untuk mengantarkan dirinya pulang semakin mendekat ke hate itu.
Bus berhenti. Bebrapa orang di sana memasuki bus, sementara bebrapa lainnya masih diam di tempatnya. Mungkin menunggu bus dengan jurusan lain yang akan datang beberapa saat lagi.
Dara mendahului Nata memasuki bus itu. Sementara Nata, seperti sebelumnya, berada di belakang gadis itu.
Dara menghela napas saat lagi-lagi tidak menemukan kursi kosong untuk dia duduki. Dia sudah sering berdiri selama perjalanan pulang. Tetapi dia tetap menginginkan untuk duduk barnag sekali saja. Kakinya sudah pegal setelah bekerja seharian.
"Kau mau duduk?" tanya Nata dengan suara lirih tepat di telinga Dara.
Dara menoleh ke belakag di mana Nata sedang menunggu jawaban darinya. Nata menunduk, menyodorkan telinganya saat Dara balas berbisik, "Tidak ada kursi kosong, bodoh."
"Aku bisa mengosongkan satu kursi untukmu," ucap Nata. Setelah itu dia melemparkan seyum pada Dara yang menatapnya tidak percaya.
Dara memperingatkan, "Jangan berbuat aneh-aneh."
"Aku hanya menawarkan bantuan. Kau tidak merasa kakimu pegal memang?" tanya Nata dengan nada yang begitu menggoda. Membuat Dara tiba-tiba menginginkan kursi kosng yang dijanjikan oleh lelaki itu.
Tetapi mulutnya malah berbohong, "Aku tidak masalah berdiri."
Nata berdecak. Dia menarik kepalanya yang berada dekat dengan Dara mundur, menyudahi sesi bisik-bisik itu.
Setelah bus lama berjalan, akhirnya mereka sampai di halte yang berada dkat dengan apartemen kumuh mereka.
Mereka berdua berjalan dari halte menuju apartemen bersisian. Selama beberapa saat masih belum ada yang bicara di antara mereka. keduaya diam-diam saja dan menikmati suasana petang yang semakin meninggalkan bumi dalam keremangan.
"Wah," Dara berujaar datar, "Kau benar-benar menjadi tetanggaku ternyata."
"Begitulah," balas Nata tidak niat sambil membuka kunci pintu.
Mereka berdua masuk. Pandangan Dara menjelajahi keseluruhan rumah tetangganya itu.
Tidak begitu berbeda dengan rumahnya sendiri. Sama-sama memiliki nuansa kosong dan sepi. Sama-sama berantakan pada beberapa sisi. Namun begitu dia mendekati dapur, dia mulai merasakan adanya perbedaan besar.
"Aku tidak punya apapun untuk dimakan," jujur Nata. Dia menatap Dara yang tanpa ragu menggeledah dapur.
Benar saja. smaa sekali tidak ada makanan di sana. Sama sekali tidka ada, bahkan bahan mentah sekalipun.
Hanya ada beberapa botol mineral dalam kulkas. Itu saja.
"Kenapa kau mengajakku bertamu kalau kau tidak punya sesuatu untuk disuguhkan padaku?" protes Dara. Dia mendadak kesal karena tidak ada yag bisa dia makan pada kondisi lapar begini.
"Apa kau terbiasa bertamu hanya untuk meminta makan saja?" tanya Nata menusuk. Dia menatap tamunya dengan sedikit sinis.
Sejenak gadis itu terdiam. kemudian dia menjawab dengan suara yang lirih, "Aku jarang bertamu ke rumah orang."
Tiba-tiba saja suasana hati gadis itu berubah menjadi suram, dan Nata menyadarinya.
Nata sadar jika gadis yang menjadi targeetnya itu tidak memiliki banyak kenalan. Teman saja dia tidak punya. Sementara satu-satunya kekasih yang dia percaya sudah terlanjur mengkhianatinya.
Nata berdeham. Dia merasa bersalah pada Dara.
"Haruskah kita memesan makanan? Pakai layanan pesan antar saja," usul Nata sambil berharap suasana hati Dara bisa kembali membaik. Dia tidak nyaman setelah membuat gadis itu murung.
Dara menatap Nata dengan tanpa emosi. "Tidak usah."
"Tidak usah? Sungguh?"
Nata melihatnya dengan jelas bagaimana gadis itu yang tadinya tampak begitu datar dan murung, tiba-tiba kembali menjadi gadis dengan wajah sinis dan penuh warna.
"Aku punya makanan di rumah. Ayo, kita ke rumahku saja," ajak Dara.
Ajakan Dara yang tiba-tiba membuat Nata kewalahan untuk memproses jawaban yang perlu dia lontarkan untuk membalas.
Pada akhirnya dia hanya mengikuti Dara yang sudah berjalan menuju pintu dan keluar dari aparemmennya itu. Dia segera membuka kunci apartemennya sendiri dan mempersilahkan Nata masuk.
"Kau perlu berbelanja, Nat."
"Sepertinya begitu," jawab Nata dengan mata yang terpesona dengan apartemen Dara.
Tidak ada yang berbeda sebenarnya. Hanya saja, tempat ini seakan menunjukkan kejujuran dari keadaan yang sebenarnya.
Kekosongan, kehampaan, juga dengan sedikit kehangatan yang nyaris tidak terasa jika saja Nata tidak memperhatikan dengan seksama.
"Tempat ini benar-benar mirip dengamu," komen Nata pada Dara yang meletakkan segelas kopi instan di atas meja rendah depan sofa.
"Duduklah," suruh Dara karena sejak tadi Nata sibuk melihat-lihat setiap sudut tempat itu.
Nata pun duduk di sofa, bersebelahan dengan sang tuan rumah.
Dara bertanya, "Apanya yang mirip denganku?"
"Tempat ini. Tempat ini sangat mencerminkan dirimu yang sesungguhnya."
Dara hanya mendengus tertawa mendengar itu. "Apa yang kau bicarakan?"
Nata meraih cangkir, meniup kopi yang masih panas tersebut. Sementara matanya tidak bisa lepas dari Dara, dari senyum yang entah sejak kapan menjadi begitu mempesona.