"Aku tetap pada pendirianku."
Nata menyugar rambutnya ke belakang dengan frustasi. "Kenapa kau sulit sekali diberitahu?"
Dara tidak melepas tatapannya dari lak-laki yang pernah mengorbankan tangannya demi mencegah dirinya berbuat nekat. Dengan mata kepalanya sendiri Dara melihat asap berkilau yang muncul di atas kepala Nata. Hanya beberapa saat sebelum menghilang.
Dara ingat pernah mllihat hal serupa, tapi dia merasa aneh. Bagaimana bisa sebuah kepala menghasilkan sebuah bubuk berkilau yang menghiasi ubun-ubun begitu?
Dara menggelengkan kepala. Sudah pasti dia salah lihat. Nata adalah manusia, bukan penyihir yang bisa melakukan trik-trik mengagumkan dengan bacaan mantra.
"Apa kau tidak memikirkan dampaknya jika kau balas dendam?"
"Dampak apa yang kau bicarakan? Satu-satunya hal yang kudapat dari balas dendam adalah kepuasan. Dan memang itulah yang sedang aku kejar," jels Dara dengan percaya diri. Dia tidak goyah dengan pertanyaan Nata yang lumayan menyentil sebenarnya.
Nata bertanya lagi, "Kau tidak berpikir tentang dampak buruknya?"
Dara melengos, tidak menjawab karena dia memang tidak peduli dengan dampak buruk yang terjadi pada dirinya nanti. Baginya, asal dia sudah membalas Sinbi dan Matt, maka persetan dengan dampaknya.
"Bagaimana jika kau harus dipenjara? Kau tidak masalah dengan itu?"
Mata Dara melelbar seketika. Dia mendelik pada laki-laki di hadapannya. "Kenapa juga aku harus dipenjara?"
Lelaki itu sedikit mencondongkan tubuh ke depan untuk lebih dekat dengan lawan bicaranya. "Bukankah kau berniat balas dendam?"
"Benar, aku akan belas dendam." Kepala gadis itu mengangguk, tapi wajahnya kebingungan. "Tapi kenapa kau membawa-bawa polisa segala?"
Nata berkedip. "Kau akan membunuh mereka, kan?"
Dara terkejut, "Kau gila?!"
Nata memundurkan tubuhnya. Teriakan Dara sungguh membuat telinganya sakit.
Dia menoleh ke sekitar dan mendapati beberapa pengunjung kafe menoleh ke arah mereka karena teriakan itu. bahkan Sinbi yang sedang melayani pelanggan pun ikut melirik sebentar. Namun Dara sepertinya tidak menyadari hal tersebut.
Gadis itu masih menatap Nata dengan mata yang melebar. "Kenapa kau berpikir sejauh itu?"
"Kau pernah membawa pisau untuk melukai mereka berdua. Jadi kupkir kau akan melakukan hal ekstrem lagi kali ini," Nata menjelaskan alasannya berpikir seperti itu. kalau dipikir-pikir alasannya memanglah masuk akal.
Dara berdecak. Entah mengapa dia merasa kesal karena dianggap sebagai sosok yang nekat dan ekstrem.
"Sejujurnya aku belum memutuskan dengan apa akan membakas dendam," ungkap Dara pada akhirnya.
Tanpa disangka Nata justru tidak menghalangi Dara sperti yang sejak tadi dia lakukan.
Lelaki itu menawarkan diri, "Aku bisa membantumu."
Dara mengedipkan matanya bingung, setengah tidak percaya dengan apa yang dia dengar barusan.
Dia bertanya untuk memastikan, "Bukankah kau yang paling menentangku untuk balas dendam? Kenapa tiba-tiba mau membantuku?"
Nata melirik ke sembarang arah sambl bergumam pada dirinya sendiri, "Aku memang datang ke bumi untuk mewujudkan keinginanmu."
"Kau bilan apa?" tanya Dara yang tidak mendenar jelas gumaman Nata.
Nata menggelengkan kepala. "Bukan apa-apa. pokokny aku bisa membantumu mewujudkan dendammu asalkan kau tidak mencelakai orang lain."
"Sejak pertama bertemu, kau selalu saja merangkau melukai orang lain. Kenapa?"
"Karena aku juga bisa terluka." Nata mengendikkan bahunya cuek.
Lelaki itu berhasil membuat Dara kebingungan.
Gadis itu tidak tahu bahwa Nata bisa terusir dari surga dan kehilangan kemampuanya sebagai malaikat jika sampai membantu Dara mewujudkan keinginan yang beresiko merugikan orang lain.
"Kenapa kau terluka jika kau melukai orang lain?" tanya Dara yag benar-benar tidak punya ide dengan apa yang dibicarakan lelaki di hadapannya itu.
Jemari Nata megetuk-ngetuk meja, memperkirakan sejauh mana yang bisa da ceritakan pada gadis yang menjadi targetnya itu. seorang manusia yang menjadi penentu kehidupan Nata ke depannya.
Setelah dipikir beberapa saat, Nata sadar tidak ada yang bisa dia katakan pada Dara. Dia harus merahasiakan identitasnya sebagai malaikat dan segala hal tentang hukumannya itu. karena da hanya malaikat junior yang tidak memiliki kemampuan meriset ingatan manusia.
Nata berdecak. Pada akhirnya dia harus mengalihkan pembicaraan juga.
"Kau tidak perlu memikirkan itu. yanng perlu kau lakukan adalah memastikan balas dendammu itu tdak akan memakan korban, maka aku akan membantumu dengan senang hati."
"Kau bodoh? Mana ada balas dendam tanpa korban?"
Tatapan Dara menyorot Nata degan merendahkan. Dia tidak habis pikir ada manusia yang berpikir seperti itu. kenapa juga balas dendam jika tidak ada yang ditargetkan?
"Maksudku bukan begitu," Nata mengelak. Dia berusaha menjelaskan maksudnya, "Jangan sampai ada nyawa melayang dalam prosesnya, maka aku bisa membantumu sepenuhnya."
Dara menipiskan bibir. Gumaman lolos dari bibir yang merapat itu. Kedua matanya menyipit, seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Kau sungguh akan membantuku?" tanya gadis itu yang masih tampak raagu.
Tanpa berpikir Nata mengangguk. "Tentu. Aku akan membantumu semampuku."
Kepala Dara meneleng sedikit. "Semampumu?"
"Bahkan jika aku tidak mampu, aku akan tetap mengusahakan yang terbaik agar keinginanmu itu terwujud," jawab Nata terdengar begitu meyakinkan.
Lelaki itu tidak tampak ragu sedikit pun saat menjawab. Bahkan matanya terlihat seakan tidak bisa digoyahkan.
"Apa kau akan meminta imbalan pada akhirnya?"
"Nope." Nata menggeleng. "Tidak sama sekali."
"Aku masih tidak paham kenapa kau mau membantuku. Tapi untuk sekarang aku tidak akan memikirkan hal itu," ucap Dara jujur.
Tanpa sadar Nata tertawa mendengar itu. Dia mendenguskan tawa kecil yang masih bisa ditangkap jelas oleh Dara.
Gadis itu menatap Nata tidak suka. "Kenapa tertawa?"
Nata tersenyum sok polos. Berlagak tidak habis menertawakan gadis itu. "Bukan apa-apa."
Dara mendengus kesal.
Dara pun melanjutkan, "Aku akan fokus pada balas dendamku dulu. Kau punya ide?"
Laki-laki itu mengendikkan bahu. "Banyak."
"Benarkah? Kalau begitu berikan satu ide terbaikmu padaku," perintah Dara dengan nada menantang.
Nata tentu saja merasa tertantang. Dia mencari satu ide buka yang palig baik, tapi yag paling efektif untuk dilakukan oleh Dara.
"Kau tahu Matt masih menyukaimu, kan?"
Dara mengangguk, mengiyakan.
"Kalau begitu kau haya perlu membuat Matt kembali padamu," lajut Nata.
Dara mengernyit. Setengah tidak suka dan setengah bingung, "Balas dendam macam apa itu?"
Nata menghela napas sebeluum mulai menjelaskan secara singkat."Yang harus menjadi target balas dendamu bukanlah Matt, tapi Sinbi."
"Tapi Matt-lah yang mengkhianatiku," protes gadis itu.
"Tapi Sinbi yang merayu pacarmu itu," pungkas Nata masuk akal.
Dara terdiam, menyadari hal itu memanglah benar. Dia kelewat fokus sampai tidak sadar Nata menyebut Matt sebagi pacarnya, bukan mantan pacar.
Setelah beberapa sat terjebak hening, Dara pun mendongak menatap Nata.
Meminta tolong, "Jadi aku harus bagaimana?"
Nata tersenyum, merasa senang karena target hukumannya itu meminta bantuan kepadanya.
Sebelum Nata membuka mulut unutk menjawab, seseorang datang menginterupsi.
"Kau sudah selesai makan siang, kan? Kembali lah bekerja," suruh Sinbi yang berdiri menjulang memandang rendah Dara.
Dara mengangguk pada bosnya itu. Dia segera mengumpulkan bungkus roti dan bagkit dari berdiri. Dia harus kembali bekerja.
"Dara," panggil Nata.
Dara menghentkan langkah dan berbalik. Gadis itu mencoba menutupi kegugupannya yang selalu muncul tiap kali namanya disebut oleh Nata.
"Ada apa?"
"Aku menunggumu sepulang kerja."
Dara menelan ludah, membasahi tenggorokan. "Ba-baiklah."