Sekarang masih gelap, masih subuh, dan Nata akhirnya mendapatkan tempat tinggal sementara di bumi. Penanggung jawab hukumannya itu membiarkan dia tinggal di sebuah apartemen kumuh di pinggiran kota.
Nata yang sudah mengetahui latar belakang kehidupan Dara pun sadar bahwa apartemen ini adalah sama dengan yang ditinggali gadis itu. Bahkan berada di lantai yang sama.
Begitu sampai di depan pintu apartemennya, Nata juga sadar bahwa letaknya tepat bersebelahan dengan Dara.
Nata menghela napas. Tidak punya tenaga untuk protes sekarang. Dia pun segera masuk dan mengistirahatkan diri di kamar yang terbungkus sprei putih polos.
Dia menatap langit-langit kamarnya. Dia bersumpah untuk meminta tinggal di tempat lain. Terlalu berbahaya berada di dekat target. Ini hanya akan membuat Dara curiga jika Nata terus saja ada di sekitarnya seperti ini.
Matanya terpejam. Tidak, dia tidak tertidur. Dia hanya memejamkan mata. Memikirkan berbagai macam skenario yang perlu dia lakukan demi segera kembali ke surga.
***
Beberapa jam kemudian, matahari mulai menampakkan diri. Cahayanya membuat bumi tidak segelap tadi.
Dara bangun dari tidurnya. Dia bangkit dan mulai menyiapkan diri untuk aktivitas rutin sehari-harinya.
Setelah sarapan ala kadarnya, dia pun segera berangkat ke kafe. Meski dia selalu ingin meledak tiap kali melihat bosnya sendiri, tapi seperti yang dia rencanakan, dia akan bekerja sampai bulan ini berakhir.
"Tinggal dua hari lagi. Bertahanlah," bisiknya pada diri sendiri.
Sampai di kafe, lagi-lagi dia disuguhi adegan tidak pantas dari mantan kekasihnya dan bos perempuannya itu. Mereka sama sekali tidak peduli dengan Dara yang mungkin masih sakit hati karena pengkhianatan mereka.
Dara menghela napas. Mencoba sabar. Lalu memilih masuk seakan tidak ada yang terjadi di sana.
"Dara—" suara langkah Dara membuat mereka berdua menyadari kehadiran orang lain selain mereka. Membuat Matt terkejut setengah panik.
"Lanjutkan saja kegiatan kalian. Aku akan bekerja, anggap saja aku tidak di sini," suruh Dara dengan datar. Gadis itu tidak meunjukkan ekspresi sedikit pun.
"Ta-tapi kau ada di sini. Bagaimana bisa aku menganggapmu tidak ada?" Matt menatap Dara yag berjarak beberapa langkah darinya.
Entah ada apa dengan laki-laki itu, dia mudah melupakan kehadira Dara saat Sinbi mendatanginya. Lalu sekarang dia melupakan Sinbi di sebelahnya hanya karena kedatangan Dara.
Sungguh hati lelaki itu memang sudah mendua dengan begitu adil dan merata.
Dara berujar sinis, "Kau selalu mengabaikan aku tiap kali ada Sinbi. Kenapa sekarang kau mengeluhkan hal seperti itu?"
"Aku berkata sungguhan. Aku tidak bisa mengabaikanmu," Matt dengan waajh seriusnya.
Dara menyadari kesungguhan Matt. Dia menyadari keseriusan laki-laki itu. tetapi Dara tidak bisa jatuh begitu saja hanya karena Matt berkata begitu. Karena Matt juga bisa memberikan kesungguhan yang sama untuk Sinbi.
Kesungguhan Mattew bukanlah hal yang hanya ada satu di dunia ini.
Dara berdecak malas meladeni lmantannya lagi. "Jika memang kau tidak bisa menganggapku tidak ada, kau bisa mencium Sinbi sambil memikirkanku kalau mau."
Emosi Sinbi terpancing. Dia marah, "Kau—"
Dara memutar bola mata. "Apa?"
"Berhentilah mengganggu kami!" bentak Sinbi tidak peduli dengan lelaki di sampnya yang sampai harus mengusap telinga. Suara Sinbi kelewat melengking soalnya.
"Ya, ya, ya. Aku tidak akan menginterupsi." Setelah mengucapkan itu Dara segera masuk ke bagian dalam kafe khusus staf untuk bersiap-siap bekerja.
***
Dara memang tidak suka jika harus melihat Matt dan Sinbi bersamaan. Namun kali ini rasa kesalnya berlipat ganda karena percakapannya dengan Nata terngiang-ngiang di kepalanya.
Gadis itu ingat betul dengan cara Nata menyamakan tokoh perempuan dalam film yang mereka tonton dengan Dara sendiri. Tokoh itu jelas-jelas membutuhkan mantan kekasihnya agar bisa merasakan cinta karena dia tidak bisa mencitai orang lain lagi selain mantan kekasihnya itu.
Jika Nata menyamakan Dara dengan tokoh seperti itu, maka dengan kata lain Nata juga menganggap Dara tidak akan bisa jatuh cita lagi pada orang lain.
Dara tidak suka dengan pendapat itu. Dia yakin walaupun sulit, dia pasti bisa membuka hati bagi orang lain selain Matt.
Waktu berlalu dengan cepat. Saat jam makan siangnya datang, Dara duduk di bangku pojok kafe yang memang jarang disinggahi pengunjung karena tidak mendapa pencahaan alami dengan baik. Paling hanya akan diterangi lampu-lampu saat hari mulai petang.
"Makan sendirian saja?"
Dara menatap sosok yang duduk bergabung di meja itu tanpa meminta izin lebih dulu. Dia meletakkan segelas americano dan cookies yang dibawanya dengan nampan berstiker logo kafe.
"Haruskah aku menemani?"
Dara mendengus. Dia sudah duduk dan bergabung di sini. Buat apa lagi bertanya?
Mereka mulai makan dalam diam. Jika dibandingkan dengan konten di youtube, mereka seperti sedang membuat ASMR. Begitu hening dan hikmat. Dara dengan roti yang dia beli tadi pagi, dan Nata dengan cookies yang dia dapat dari kafe ini.
"Apa kau sudah selesai merenung?"
"Merenungkan apa?" tanya Dara kurang mengerti ke mana arah pembicaraan lelaki itu.
Nata menjelaskan singkat, "Kau yang bilang kemarin akan merenungkan sesuatu."
"Oh, itu," Dara mengingatnya sekarang. "Sudah."
Nata kembali bertanya, "Jadi bagaimana kesimpulannya?"
"Kesimpulan apa?" Dara kembali tidak paham apa yang ditanyakan oleh Nata.
Nata menjadi gemas dengan manusia satu itu. Begitu sulit diajak berkomunikasi. Padahal dia sudah memakai bahasa manusia dengan baik dan benar. Kenapa masih saja sulit untuk mengobrol lancar dengannya? Nata gemas sekali.
Nata pun menjelaskan lagi mau tak mau, "Yang kau renungkan itu. Apa yang kau simpulkan dari perenunganmu itu?"
Untuk sesaat Dara memakan waktu dengan bergumam tdak jelas. Entah dia sedang berpikir atau hanya sedang mengulur waktu saja.
Setelah beberapa saat, barulah dia menjawab, "Kau benar, aku kesulitan mencintai orang lain. Ke depannya akan lebih sulit lagi mengingat aku baru saja ... kau tahu ... tertimpa kejadian sial ... dikhianati."
"Jadi?" Nata mengangkat alis dengan penasaran.
"Aku mengakui hatiku berpenyakit seperti katamu," jawab Dara pada akhirnya.
Sayangnya jawaban itu tidak membuat Nata merasa puas. Lelaki malaikat itu bertanya heran, "Itu saja?"
"Lalu apa lagi memang?" Dara balas bertanya karena menurutnya apa yang sudah dia katakan sudahlah cukup dan tidak perlu diberi tambahan lagi.
"Apa kau tidak membuat rencana apapun?" tanya Nata untuk memperjelas arah bicaranya.
Dara masih saja kebingungan, "Rencana apa?"
"Kau sudah mengetahui masalahmu, bukankah sewajarnya kau membuat sebuah rencana untuk mengatasinya?" Nata bertanya, sekali lagi menyususun kalimat dengan sejelas mungkin agar Dara mudah mencerna maksudnya.
"Oh, itu." Dara mendongak sedikit, menatap ke atas dengan pandangan menerawang. "Sepertinya aku sudah membicarakan ini denganmu?"
"Kapan?" Nata tidak mengingatnya.
Dara menoleh pada Nata. Menatap laki-laki itu sambil menjawab, "Aku aku balas dendam pada mereka yang membuatku menjadi begini."
"Kau masih berusaha untuk balas dendam?" tanya Nata dengan nada sedikit naik karena terkejut.
"Ya," jawab Dara santai.
Nata tidak percaya gadis masih saja kukuh dengan dendam yang dia punya. "Bukankah sudah kuberi tahu untuk tidak balas dendam?"
"Kenapa kau mengaturku?" tanya Dara dengan dahi berkerut. Ekspresinya antara tidak suka, heran, dan kesal secara bersamaan.
Sementara dalam hati Nata berteriak, 'Aku bisa diusir dari surga jika membiarkanmu balas dendam!'
Dara jelas saja tidak bisa mendengar kata hati Nata, tapi gadis itu bisa dengan jelas melhat ekspresi lelaki itu yang tidak tampak baik.
Dara pun bertanya, "Kenapa kau menatapku begitu?"
Nata menghela napas. Mau bagaimanapun juga, dia tidak bisa memberritahu gadis itu tentang surga dan juga hubungan gadis itu dengan nasibnya ke depan.
Maka yang bisa Nata usahakan hanyalah membuat negosiasi dengan gadis itu, "Aku akan membantumu mendapatkan Matt kembali. Jadi bisakah kau berhenti dengan rencana dendammu itu?"
"Kenapa kau berpikir aku ingin kembali dengan Matt?" tanya Dara saat merasa Nata terlalu percaya diri.
Sekali lagi Nata menghela napas. Dia menjawab lelah, "Karena kau tidak bisa mencintai orang lain selain Mattew."
Seketika Dara tertampar oleh jawaban yang memang benar adanya itu.