Chereads / Mission: No More Love / Chapter 10 - 10. ratusan

Chapter 10 - 10. ratusan

"Haruskah aku membantunya saja?"

Mikari melotot mendengar ide itu. Dia menggeplak kepala Nata pelan.

"Kau kehilangan akal? Bisa-bisa kau tidak diperbolehkan kembali ke surga lagi," sentak malaikat senior itu.

Entah apa yang ada dalam kepala Mikanata sampai bocah itu berani berpikir untuk membantu manusia melancarkan balas dendam. Harusnya setelah mendapat hukuman, dia menjadi lebih berhati-hati dalam urusan seperti ini. Nyatanya dia masih sama saja, tidak menunjukkan perubahan.

Sorot protes tampak jelas dalam mata Nata. Dia tidak terima, "Lantas aku harus apa? Lihatlah gadis itu baik-baik. Yang dia inginkan hanyalah balas dendam."

"Kau yakin itu harapan tulus dari lubuk hatinya?" tanya Mikari meragukan.

Nata tampak yakin saat menjawab, "Asap ungu memahkotai kepala gadis itu tiap kali bicara masalah balas dendam."

Malaikat yang sedang dalam masa hukuman itu menampilkan keyakinan dalam matanya. Dia tidak goyah meski seniornya mempertanyakan dirinya.

"Kau tidak sedang berbohong?"

"Lihat saja sendiri kalau tidak percaya," suruh Nata dengan kesal.

Helaan napas lolos dari mulut Mikari. "Bagaimana dengan rencanamu sebelumnya?"

"Ah, itu. Mudah saja sebenarnya. Aku hanya perlu menghilangkan Sinbi dari muka bumi, maka tidak ada lagi penghalang di antara Matt dan Dara. Saat Dara mengharapkan hubungan baru dengan Matt, di situlah aku bisa mulai membantunya mengabulkan harapan tulusnya itu."

Rencana itu terdengar meyakinkan, dan memang akan sangat meyakinkan apabila perasaan manusia-manusia itu sesuai dengan tebakan Nata. Lantas bagaimana jika tidak?

"Bagaimana kau yakin Dara akan mengharapkan Matt kembali jika Sinbi menghilang?" tanya Mikari, memastikan juniornya itu memiliki rencana yang tepat sebelum melancarkan aksi.

Nata menjawab ringan, "Karena Matt adalah satu-satunya lelaki yang Dara cintai."

Laki-laki itu selalu saja memiliki jawaban untuk setiap pertanyaan yang ditujukan padanya. Mikari pun hanya bisa menghela napas karena ucapan Nata tidak bisa dia sangkal meski belum tentu sepenuhnya benar.

"Lalu bagaimana caramu menghilangkan Sinbi?" tanya malaikat perempuan itu pada akhirnya.

Nata tidak membutuhkan waktu berpikir untuk menjawab. Semua yang ada dalam kepalanya meluncur begitu saja, "Bunuh saja. Mudah."

"Awww!" Nata memekik berlebihan saat seniornya itu memukul kepalanya. Pukulannya tidak begitu keras, tapi cukup untuk membuat Nata sadar bahwa dia sedang diperingatkan.

"Kenapa memukulku?" tanyanya sambil memegangi bekas pukulan. Dia bertanya dengan nada sedikit naik, tidak terima.

"Sudah dibilang jangan merugikan manusia lain saat mengabulkan permohonan manusia. Kau tidak paham juga?" hardik Mikari. Dia tidak ingat berapa kali sudah mengingatkan hal itu pada si junior. Masih saja dia dengan entengnya menyebutkan bunuh-bunuhan tanpa merasa terbebani.

Tetapi bukan Nata namanya jika tidak bisa menjawab ucapan orang. Masih dengan tanpa rasa bersalah, dia berujar lurus, "Aku hanya perlu membuat Sinbi mengharapkan kematian kalau begitu."

"Jangan coba-coba melakukannya!" peringat Mikari. Dia mengacungkan telunjuk agar laki-laki di depannya tidak macam-macam.

"Ayolah, kenapa kau mempersulit keadaan, sih? Tugasmu membantuku, kan?" rengek Nata yang sudah mulai malas berdebat dengan seniornya itu.

Seniornya menyalak, "Tugasku mengawasimu, bodoh."

Nata berdecak. "Kalau begitu beri aku saran. Apa yang harus aku lakukan?"

Mikari menarik napas dalam, dia tidak punya solusi pasti untuk hal semacam ini. Karena hal seperti ini hanya bisa terselesaikan oleh manusia itu sendiri. Malaikat hanya mengawasi, tidak punya kendali atas hal-hal seperti ini.

Dia pun hanya bisa memberi jawaban pasrah,"Tunggu saja sampai gadis itu memiliki harapan tulus lain yang tidak berpotensi merugikan orang lain."

Jawaban Mikari tidak sesuai dengan harapannya. Dahi Nata berkerut tidak suka.

Dengan sedikit menaikkan nada dia berujar kesal, "Kau tahu? Dara bukan gadis yang punya cara pikir positif. Dia sudah terbiasa dengan kerasnya kehidupan. Mustahil rasanya jika dia mengharapkan sesuatu yang tidak merugikan orang lain."

Berbeda dengan pesimisme yang melekat dalam diri Nata, Mikari justru menjawab santai dengan optimisme yang entah datang dari mana, "Dia hanya manusia. Pada akhirnya dia menginginkan ketenangan untuk dirinya sendiri. Tunggu saja sampai saat itu terjadi."

Nata menghela napas. Pada akhirnya dia diam saja, tidak berniat membalas Mikari lagi. Toh, tidak ada gunanya juga. Seniornya itu tampak sudah pasrah dengan keadaan. Tidak tertarik untuk melakukan usaha lebih pada kasus seperti ini.

Mikari begitu tunduk pada takdirnya sebagai malaikat, melakukan tugas yang dia dapatkan sejak awal yaitu mengabulkan permintaan tulus para manusia.

Dia tidak pernah mencampuri pemikiran manusia untuk mengubah permohonannya, dia juga tidak akan mengabulkan permohonan buruk sekalipun.

Sungguh sangat berbanding terbalik dengan Nata yang melakukan segalanya dengan caranya sendiri. Tipikal pembuat onar.

"Apa aku tidak bisa mampir ke surga sebentar? Di sini aku tidak punya teman," mohon Nata dengan gaya yang tidak seperti sedang memohon. Seperti sedang meminta permen dari teman.

Mikari geleng-geleng kepala.

Bisa-bisanya malaikat satu itu masih memikirkan teman-temannya pada saat sedang dihukum? Apa dia tidak bisa fokus pada hukumannya lebih dulu? Apa sesusah itu?

Nata masih melanjutkan rengekannya, "Boleh, ya?"

Mikari berdecak. "Mana bisa. Ketua sudah melarang kau kembali ke surga untuk sementara. Kau dilarang masuk ke sana."

Nata mendesah kecewa. "Kenapa ketat sekali peraturannya?"

"Kau pikir ini peraturan manusia yang bisa dilanggar begitu saja?" pungkas Mikari mengakhiri rengekan menyebalkan juniornya itu.

Nata jatuh dalam diam. Namun jauh dalam kepalanya, dia sedang sibuk memikirkan rencana untuk mempermudah hidupnya di dunia.

Dia pun mencoba bernegosiasi, "Bisa kau beri aku tempat tinggal? Aku bosan tidur di emperan toko sambil menyamar sebagai kucing."

Butuh beberapa detik sampai seniornya itu menjawab, "Akan aku bicarakan dengan senior lain."

Nata tersenyum senang. Dia sudah muak ditatap manusia dengan menyedihkan. Meski begitu, tidak satupun manusia yang mau membawanya dan memberinya tempat tinggal. Mereka hanya mengasihaninya dalam hati, itu saja. Tidak lebih.

"Oh, satu lagi. Ini, bisakah kau mengubahnya?" tanya Nata sambil mengulurkan sebuah KTP yang dipalsukan.

Kartu tanpa penduduk itu diberikan surga kepada tiap malaikat yang berkepentingan di bumi. Semuanya demi mempermudah tugas yang mereka emban. Dan tentu saja agar identitas asli mereka sebagai malaikat tidak terbongkar begitu saja.

Nata menunjuk tanggal lahir yang tertera di sana. "Bisakah kau ubah usiaku lebih muda. Wajahku masih cocok disebut dua puluh tahun."

Mikari mendesah tidak percaya. Banyak sekali yang laki-laki ini keluhkan padahal ini masih masa awal hukumannya.

Mikari berujar, "Dua puluh lima tahun tidaklah setua kau pikir. Tidak usah coba-coba mengubahnya." Tidak lupa dia juga memperingatkan.

"Ayolah. Aku ingin merasakan menjadi muda lagi."

Malaikat senior itu memutar bola mata. "Dua puluh lima tahun juga masih muda, Nata. Tidka bisakah kau lebih bersyukur lagi?"

"Tapi Dara jauh lebih muda dariku," Nata masih saja protes. Dia bahkan membandingkan usia palsunya dengan usia manusia.

Mikari pun berujar kejam, "Kenapa juga kau membandingkan usiamu dengan gadis itu? Usia aslimu bahkan sudah ratusan."