Dara tidak tahu apa yang dibicarakan oleh Nata. Laki-laki itu bilang dia akan menghilangkan Sinbi dari dunia. Dia berkata begitu seakan dia punya kemampuan sihir saja.
Gadis itu hanya menggelengkan kepala, lalu berlalu meninggalkan bioskop itu.
Nata mengikutinya di belakang. Langkahnya tidak berisik, tapi Dara bisa merasakan kehadirannya yang hanya beberapa langkah di belakangnya.
Saat berjalan di trotoar sekalipun, Dara tidak memelankan kakinya. Sebab dia tahu Nata masih berada di dekatnya, di belakangnya, mengekori Dara tanpa protes dan tanpa kata.
"Apa kakimu tidak lelah?"
Dara menoleh ke belakang pertanyaan itu. Nata berada tepat di sana, hingga wajah Dara menabrak dada bidang laki-laki itu.
Mengusap dahi, gadis itu mengaduh pelan.
Dia mengambil selangkah mundur dan mendongak menatap laki-laki yang sedang tersenyum miring, menahan untuk tidak menertawakannya.
"Kau tidak punya apapun untuk dibicarakan lagi, kan?" Dara menodong Nata dengan pertanyaannya.
Nata mengangguk samar. Berbalik dengan jawabannya yang terdengar jelas, "Sepertinya begitu."
"Kalau begitu pergilah," usir Dara.
"Tidak mau."
Bola mata gadis itu berotasi. Sudah malas meladeni laki-laki itu.
"Aku yang pergi kalau begitu," putus Dara pada akhirnya.
Nata dengan segera menghentikan gadis itu. Dia menatap dengan tidak terima.
"Kenapa kau berusaha kabur dariku? Apa aku membuatmu tidak nyaman?" tanyanya mencari tahu apa yang sebenarnya ada dalam pikiran gadis itu.
Gadis itu menatap Nata lurus. Butuh beberapa detik sampai dia bisa bisa menjawab jujur, "Kau membuatku menyadari sesuatu, dan aku butuh waktu untuk merenungkan hal ini."
Nata berkedip. "Hal apa itu?"
Dara menghela napas dalam. Sedikit kesulitan untuk mengatakan hal ini secara langsung. Namun melihat Nata yang dengan sorot lugu menanyainya, dia pun akhirnya menjelaskan juga,
"Kau menyadarkanku bahwa aku tidak bisa mencintai orang lain, dan hanya Matt yang bisa membuatku jatuh cinta."
Nata terdiam mendengar jawaban Dara. Setengah terkejut dan setengah heran. Dahinya berkerut merasa aneh dengan gadis di depannya itu.
"Kau baru menyadari hal itu? Kau sudah hidup bertahun-tahun tapi baru menyadari hatimu ternyata berpenyakit?" Nata menatap Dara dengan tatapan tidak menyangka. "Wah."
Giliran dahi Dara yang berkerut tidak suka. "Kenapa harus pakai istilah berpenyakit, sih? Memang tidak ada istilah yang lebih baik apa?"
"Hm," Nata mengangguk. "Tidak ada."
Nata menarik Dara saat ada beberapa anak berlarian di sana, saling mengejar. Hampir saja Dara tertabrak oleh mereka. Untung saja Nata cekatan dan segera membawa gadis itu sedikit lebih ke pinggir.
"Terimakasih," ujar Data spontan.
"Bukan apa-apa."
Tangan Nata yang masih memegang lengan Dara berpindah ke bahu gadis itu, merangkulnya. Lalu membawa gadis itu berjalan.
"Lepaskan tanganmu. Berat," protes gadis itu.
Tiba-tiba saja, bahu gadis itu terasa ringan. Seakan tangan Nata hanyalah bulu yang tergeletak di bahunya.
"Masih berat?"
Dara tersentak. Dia kemudian berdeham. "Tidak juga."
Mereka berjalan seperti sahabat akrab, terlebih cara Nata yang sama sekali tidak canggung merangkul gadis yang belum lama dia kenal itu.
Dara sendiri heran kenapa Nata bisa sesantai ini dengan dirinya.
Nata rupanya mengarahkan mereka ke sebuah taman. Di bangku terdekat, laki-laki itu menyeret gadis dalam rangkulannya untuk duduk di sana.
Baru setelah itu Nata melepaskan tangannya dari bahu Dara.
"Katakan padaku, apa harapan terbesarmu?" tanya Nata tiba-tiba. Benar-benar sangat tiba-tiba.
Jawab gadis itu, "Kenapa kau mau tahu?"
"Jawab saja," desak Nata. Sudah tidak sabar dengan jawaban gadis itu.
Tanya Dara setengah menantang, "Kau mau mengabulkannya memang?"
"Apa harapanmu berupa balas dendam?" Kali ini Nata menebak. Dalam hati dia cukup was-was karena takut hal itu memang benar adanya.
Mata gadis itu berkedut mendengar tebakan Nata. Namun dia segera berujar penuh elakan, "Tidak usah sok tahu."
"Makanya katakan padaku apa yang kau mau?"
Dara melengos.
Mulutnya begitu alot untuk menjawab. Apalagi karena Nata sudah menebak dengan tepat apa yang diinginkannya itu. Dara menjadi lebih kesulitan untuk menjawab.
Setelah beberapa saat, barulah Dara membuka suara, "Kau benar. Aku ingin membalas perbuatan dua bedebah itu. Aku ingin membalas pengkhianatan yang mereka lakukan."
Desahan kecewa lolos dari mulut Nata. Dia sudah mengantisipasi hal-hal seperti ini, tapi tetap saja rasanya menyebalkan jika terjadi.
Sekarang entah bagaimana caranya bisa menyelesaikan hukuman dan segera pulang ke surga.
"Tidak bisakah kau memaafkan mereka saja?" cetus Nata.
"Kau gila?!"
Nata terperanjat oleh suara Dara yang lebih mirip teriakan.
Nata berkedip, lalu membalas, "Buat apa menyimpan dendam? Kasihan hatimu yang sudah penyakitan itu."
"Aku hanya kesulitan mencintai orang lain, kenapa kau menyebutnya penyakitan, sih?"
Jelas saja Dara tidak terima. Sejak tadi hatinya dikatai penyakitan oleh laki-laki itu. Rasanya menyebalkan.
Gadis itu mengalihkan tatapan ke mana saja, asal tidak bertemu dengan tatapan Nata. Dia berdecak karena kekesalan terasa begitu kuat dalam dirinya.
"Kau bukan kesulitan mencintai orang lain, Dara." Nata mengunci tatapan gadis itu. "Kau jauh lebih rusak dari itu. Matt adalah satu-satunya orang yang bisa kau cintai saat ini. Tapi setelah pengkhianatan yang dia lakukan, bukankah kau akan lebih sulit mencintai lagi? Bahkan kau mungkin tidak tidak akan jatuh cinta lagi karena trauma."
"Apa salahnya tidak jatuh cinta? Kau pikir hidup ini hanya tentang cinta saja apa?!" sentak Dara penuh protes.
Tidak. Tentu saja tidak. Nata tahu betul hidup bukan melulu soal cinta. Namun dia juga sudah cukup sering menjumpai manusia yang hidup tanpa perasaan satu itu. Dan itu tidak menjadikan hidup lebih baik.
"Hidupmu akan hampa," ujar Nata, seperti orang tua yang menasihati anak-anak muda. Memberi petuah dengan menjadikan hidupnya sebagai pelajaran.
Tatapan Dara nyalang, tidak menunjukkan kegentaran sedikit pun. Sementara suaranya pelan, cukup lirih namun masih terdengar penuh penekanan, "Hidupku sudah hampa sejak awal. Aku sudah terbiasa."
Jantung Nata mencelus menyadari betapa nelangsanya hidup gadis yang ada di depannya itu.
Kesendirian sudah menemani dirinya bahkan sejak dia masih begitu kecil. Kehampaan, kekosongan, semua itu justru sudah seperti teman bagi Dara. Gadis itu sudah terbiasa. Sangat terbiasa.
Nata menarik napas dalam.
Dia berujar dengan hati-hati, "Kau bisa terkena masalah jika merealisasikan dendammu."
Nata melihatnya, serbuk ungu yang berkilau sempurna keluar dari puncak kepala Dara, memahkotai gadis sebatang kara itu. Serbuk ungu itu adalah sebuah aura yang akan tampak saat seseorang mengharapkan sesuatu dengan tulus.
Jantung Nata tiba-tiba berdebar gugup. Berharap gadis itu tidak sedang menginginkan sesuatu yang buruk.
"Persetan. Aku hanya ingin memberi balasan pada mereka berdua."
Sayangnya hal itulah yang lolos dari mulut Dara. Sebuah harapan penuh dendam yang muncul dari lubuk hatinya terdalam. Sebuah harapan buruk yang tidak bisa Nata kabulkan.
Sial.
Pupus sudah harapan Nata untuk segera kembali ke surga.