"Mau bicara apa?"
"Diam dulu," suruh Nata pelan.
Dia mengabaikan gadis yang sudah mulai gemas itu karena sejak tadi tidak dijelaskan akan ke mana dan mau bicara apa.
"Kenapa mengajakku kemari jika ingin membicarakan sesuatu, sih?" Dara memprotes.
Gadis itu tidak paham kenapa Nata justru membawanya ke bioskop. Harusnya mereka ke tempat yang lebih tenang untuk mengobrol.
"Filmnya sudah mau mulai," kata Nata sambil menarik gadis itu agar duduk di sebelahnya.
"Nata!"
"Diam." Tangan Nata mendarat di puncak kepala Dara. Seperti akan membacakan mantra untuk membungkam mulut gadis itu.
Dara tertegun saat mata Nata menatap lurus dirinya.
Laki-laki itu berujar lembut, "Tonton dulu filmnya, baru kita bicara. Oke?"
Dara membuka mulut untuk menjawab, tapi lehernya seperti tercekat. Sulit sekali untuk meloloskan kata.
Pada akhirnya gadis itu menjawab gagap, "O-oke."
Nata tersenyum puas. "Bagus."
Laki-laki itu melepaskan tangannya dari kepala Dara. Kemudian dia meluruskan duduknya, menghadap ke depan menunggu film yang akan dimulai sebentar lagi.
Di sebelahnya, Dara mengembuskan napas lega. Sejak tadi dia seperti lupa cara bernapas saking intensnya tatapan laki-laki itu.
Bahkan efek tatapannya masih terasa. Dia kesulitan fokus pada filmnya. Berkali-kali dia melirik Nata selama pemutaran film tersebut.
"Kau suka jalan ceritanya?"
Film sudah selesai. Mereka berdua sedang berjalan keluar.
Dara sedikit gugup karena dia tidak mengikuti jalan ceritanya tadi. Malah sibuk menata hatinya yang berantakan setelah ditatap seperti tadi.
Untunglah dia pernah menonton ini sebelumnya. Sehingga kurang lebih dia paham apa yang menjadi poin utama film itu.
Dara berdeham sebelum menjawab, "Sedikit membosankan, tapi aku memahami kenapa tokoh perempuannya memilih memaafkan pacar berengseknya itu."
Alis Nata terangkat, disusul senyum penuh arti di wajahnya.
Dia bertanya, "Kenapa memangnya?"
Sebelum menjawab, gadis itu menggaruk pelipisnya lebih dulu. Dia tidak merasa harus menjawab pertanyaan ini, tapi melihat Nata yang menunggu jawaban darinya, Dara pun terpaksa menjawab.
"Satu-satunya orang yang bisa membuatnya merasakan cinta, satu-satunya orang yang bisa membuatnya merasa seperti manusia normal lainnya tidak lain adalah pacarnya itu," jelas gadis itu panjang lebar.
Kepala Nata bergerak, membentuk anggukan kecil yang seolah menjelaskan bahwa dia paham apa yang diocehkan oleh Dara.
"Apa kau akan melakukan hal yang sama jika berada di posisinya?"
"Mungkin saja," jawabnya cepat. Nyaris tanpa berpikir. Gadis itu bahkan mengendikkan bahu, menunjukkan ketidak pedulian terhadap kemungkinan yang dia utarakan sendiri.
Sebuah senyum sempurna menghias wajah mungil Nata. Senyum kelewat lebar yang menggambarkan kemenangan dan antusias.
Laki-laki itu tampak bersemangat saat bertanya, "Apa kau juga akan memaafkan mantan pacarmu itu?"
Jatuh terdiam, Dara mengerutkan dahi dengan terheran.
Dengan sedikit tidak suka dia bertanya, "Kenapa kau tiba-tiba membahas dia?"
Bahu Nata mengendik singkat. Dia berujar ceria, "Situasi kalian sama seperti film yang kita tonton barusan. Jadi, apa kau akan memaafkannya?"
"Apanya yang sama?" Dara semakin tidak terima.
Gadis itu tidak habis pikir kenapa Nata menyamakan hidupnya dengan jalan cerita sebuah film. Apa-apaan coba?
Terlebih Nata baru mengenalnya sejak sehari yang lalu. Apa yang membuatnya begitu percaya diri menilai hidup Dara seenak hati?
Di sebelahnya, laki-laki itu memelankan langkah, menyesuaikan kaki-kaki Dara yang memiliki langkah lebih pendek darinya.
"Pacarmu seorang berengsek dan hanya dia yang bisa membuka hatimu yang tadinya sangat beku. Mirip dengan film tadi, kan?"
Mata Nata berkedip-kedip lugu, entah dia tidak menyadari atau justru sengaja mengabaikan gadis di sampingnya yang tersinggung setengah mati.
Secara tiba-tiba Nata mengubah suasana. Wajahnya yang sok lugu menjadi santai seperti biasanya. Lalu dengan suara manisnya dia berujar pelan, namun masih bisa ditangkap jelas oleh telinga Dara.
"Aku hanya ingin memberitahumu bahwa Matt sepertinya masih mencintaimu sebanyak sebelumnya. Laki-laki itu tidak mengurangi perasaannya terhadapmu."
Keduanya tidak berhenti berjalan. Dengan pelan, berkeliling tanpa arah. Bahkan tidak saling protes saat salah satu dari mereka berbelok tidak jelas ke mana. Mereka tetap bersisian, berjalan beriringan.
Namun kali ini Dara menghentikan kakinya. Sedikit mendadak, tapi Nata bisa menyesuaikan untuk segera berhenti mengikuti gadis itu.
"Darimana kau tahu?" tanya Dara sinis. Dia sedikit mengangkat wajahnya untuk bisa menatap laki-laki yang mulai berlagak sok tahu itu.
"Sekali lihat juga tampak jelas," jawab Nata, dan itu memang terdengar sok tahu.
"Apanya?" Kesinisan Dara belum hilang juga. Malah semakin menjadi. Begitu jelas di wajahnya.
Nata menghela napas. Berujar sabar, "Matt masih mencintaimu, Dara."
Dara tahu hal itu. Dia menyadarinya. Hanya saja .....
"Dia juga mencintai gadis medusa itu!" jerit Dara merasa tidak adil oleh keadaan.
Kenapa mencintai orang yang berbeda di waktu bersamaan harus memungkinkan terjadi, sih?
Kepala Nata meneleng, kebingungan sesaat, "Medusa? Oh, bosmu di kafe itu?"
Dara membenarkan. Siapa lagi memang kalau bukan gadis selingkuhan itu?
Nata manggut-manggut setuju. Memang tidak ada yang salah dari ucapan Dara.
"Kau benar. Mantanmu itu mencintai dua gadis sekaligus. Maruk sekali," gerutunya di kalimat terakhir.
Keserakahan sudah menjadi salah satu sifat alami manusia. Nata tidak terkejut jika ada seorang laki-laki yang menginginkan dua gadis sekaligus dalam hidupnya. Karena memang begitulah manusia, sudah puas hanya dengan satu hal saja.
Selama mengabulkan berbagai macam permohonan dan harapan, dan juga permintaan, yang tulus dari dalam hati, sering kali Nata menjumpai hal-hal yang tidak mengenakkan. Nata belajar, bahwa ketulusan bukan hanya bisa dirasakan terhadap hal-hal baik saja. Hal buruk juga banyak diharapkan dengan ketulusan paling murni sekalipun.
"Kalau Sinbi menghilang dari dunia ini, apa kau akan memaafkan Matt?" tanya Nata yang sedang menyiapkan sesuatu tersembunyi tanpa Dara sadari.
Tanpa berpikir Dara menjawab singkat, "Bisa jadi."
Senyum Nata terbit mendengar jawaban yang penuh percaya diri itu. Nata semakin yakin jika rencana yang dia buat pasti akan berjalan dengan lancar. Terlebih saat Dara dengan sendiri menjelaskan alasannya di balik jawabannya itu.
"Setidaknya jika tidak ada Sinbi, aku akan menjadi satu-satunya gadis yang ada di hati Matt," ujar Dara masuk akal.
Bayangkan saja jika Matt tidak mengenal Sinbi, pasti hubungan mereka akan baik-baik saja.
Mendadak Dara menyesal telah meminta Matt sesekali menjemputnya sepulang kerja. Sebab dari sanalah Matt bisa mengenal Sinbi. Jika Dara tidak pernah diantar atau dijemput ke kafe, Matt dan Sinbi bahkan tidak mungkin tahu satu sama lain.
Dengan senyum manis Nata berkata, "Kalau begitu aku akan melakukannya untukmu."
"Melakukan apa?" tanya gadis itu bingung. Entah apa yang sedang ditawarkan oleh Nata.
Kali ini sebuah cengiran tengil yang terbit di wajah laki-laki itu. Tampak seperti bocah polos yang siap melakukan kenakalan kepada teman-temannya.
Tetapi bukan itu yang akan Nata lakukan.
Dia pun menjelaskan, "Menghilangkan Sinbi dari dunia ini."