Mikari, seorang malaikat dengan paras cantik dan sifat paling menyebalkan menurut Mikanata. Alasannya karena kebetulan malaikat cantik itu selalu bertugas sebagai pengawas Nata.
Sejak Nata masih awal mengerjakan tugaasnya sebagai malaikat, Mikari lah yang mengawasinya sebagai senior. Mikari akan mengatur-ngatur Nata sebagaimana senior pada umumnya.
Sekarang Mikari jugalah yang bertugas sebagai penanggung jawab hukuman Nata.
Malaikat berambut sepinggang itu akan mengawasi Nata sampai hukumannya selesai. Maka Nata harus bertahan mendengarkan beragam wejangan yang seperti tidak ada habisnya dari mulut Mikari.
"Sebenarnya apa yang kau lakukan?" Mikari tampak kesal. "Kau harusnya fokus membantu gadis itu mendapatkan keinginannya, kenapa kau malah bermain-main terus, hah?"
"Siapa yang bermain-main, sih?" Nata tidak sudi disebut tidak menyeriusi tugasnya, dalah hal ini hukumannya.
"Kau pikir aku tidak tahu? Kau sengaja membuat mantan kekasih gadis itu cemburu, kan? Apa tujuanmu melakukan itu? Bukannya kau sudah diberi tahu untuk tidak mencari masalah lagi?"
Nata menghela napas. Dia lelah dengan semua ocehan yang sama sekaali tidak berdasar itu. harusnya Mikari melakukan riset lebih dulu sebelum mengatainya yang tidak-tidak. Minimal dia bia menanyai Nata terlebih dulu, bukannya asal memarahi seperti ini.
"Mikari, kau sendiri tahu aku tidak boleh mengabulkan keinginan yang merugikan orang lain. Sementara kalian mengirimku pada Dara, seorang gadis yang punya berkeinginan membalas dendam kepada manatan kekasihnya dan selingkuhannya. Sekarang katakan padaku, apa aku harus langsung fokus mengabulkan keinginan gadis itu?"
Nata menatap Mikari, memperhatikan ekspresinya yang mulai tergoyahkan oleh argumen Nata.
Melihat Mikari diam saja, Nata pun semakin mendesak, "Tidak, kan? Mana mungkin aku membantu Dara merealisasikan dendamnya itu? Bisa-bisa aku diusir dari surga secara permanen."
Mereka beradu pandang. Nata dengan tatapan yang kukuh, dengan harapan Mikari mau berpindah pada kubu yang sama dengannya.
Mikari pun mengalah, "Lalu apa rencanamu?"
Senyum Nata mengembang sempurna. Pada akhirnya Mikari akan membiarkan Nata dengan rencananya sendiri. Membiarkan juniornya itu melakukan apapun selagi tidak menimbulkan keonaran lain seperti yang biasa dilakukannya.
Nata pun menjelaskan, "Kalau Matt masih mencintai Dara, kupikir mereka maasih bisa berdamai. Aku ingn menunjukkan pada Dara bahwa Matt masih memliki perasaan untuknya. Jadi semga saja harapan perempuan itu berubah dari dendam menjadi harapan untuk berbaikan dengan mantan kekasihnya."
"Bukankah harapan itu akan merugikan orang lain?" Mikari merasa rencana Nata tidak dibuat dengan ketelitian. Dia memasang wajah ragu, meragukan sosok di depannya itu.
Nata balik bertanya, "Siapa yang akan dirugikan memang?"
"Sinbi."
Sekejap Nata terdiam.
Jawaban Mikari membuatnya otaknya bekerja keras untuk berpikir. Kenapa Sinbi akan dirugikan atas rencananya? Jika pun memang gadis itu berpotensi merugi, kenapa juga dia harus peduli dengan gadis itu?
"Hei, ayolah. Sinbi adalah antagonis dalam hidup Dara. Apa aku tidak boleh membuatnya kehilangan laki-laki yang sejak awal memang bukan miliknya?" Nata dengan begitu meyakinkan berusaha mempersuasi malaikat senior itu.
"Baiklah," lagi-lagi Mikari mengalah, "Kupikir itu tidak akan dihitung sebagai efek merugikan."
Malaikat pembuat onar itu tersenyum puas. Dia sudah memegang rencana dan penanggung jawabnya tidak masalah dengan rencana tersebut. Sekarang dia hanya perlu menyusun rencananya dengan lebih detail dan segera melaksanakannya saja.
Dia tidak sabar menyelesaikan hukuman ini dan segera kembali melakukan tugasnya seperti biasa. Juga dia bisa kembali naik ke surga. Sehingga tidak perlu kelayapan tidak jelas lagi di bumi.
***
Dara mengambil ponsel yang bergetaar singkat di saku jeans-nya. Ada sebuah chat masuk dari nomor tak dikenal. Dara membukanya, dengan mudah Dara menebak siapa pemilik nomor tersebut hanya dengan membaca isi chat-nya.
0852********: Sudah selesai bekerja? Aku menungu di halte
Mengingat tadi dia menjanjikan diri utnuk menemui Nata, maka siapa lagi kalau bukan Nata yang mengirim pesan itu.
Dara baru saja keluar dari kafe. Dia mengabaikan bosnya yang kewalahan karena pekerja paruh waktunya belum sampai. Biasanya Dara akan bekerja sedikit lebih lama sampai pekerja paruh waktu datang, setelah itu baru dia pulang. Sekarang tidak lagi.
Langkah Dara yang biasanya santai kini sedikit tergesa, dia tidak ingin membuat Nata menunggu lebih lama. Tepat pada saat itu juga sebuah chat dari Nata masuk.
0852********: Tidak perlu terburu-buru, aku tidak akan kabur
Seketika langkah Dara memelan. Dia seperti terhipnotis oleh kalimat laki-laki itu. Menurut saja saat Nata menyuruh untuk tidak terburu-buru.
Memakan waktu lebih lama, pada akhirnya Dara sampai juga di tempat sosok laki-laki itu menunggunya.
"Bagaimana lukamu?" pertanyaan itu yang pertama kali lolos dari mulut Dara begitu menghampiri Nata.
Nata tersenyum. Dia menepuk-nepuk sampingnya agar Dara duduk di sana. Begitu Dara sudha mengambil duduk di sampinya, baru Nata menjawab.
"Tidak usah khawatir. Pasti akan sembuh kalau sudah saatnya," ujar laki-laki itu dengan santai.
Dara pikir Nata mengajaknya bertemu karena ada masalah dengan luka itu. Sehingga dia merasa lega saat Nata berujar demikian.
Gadis itu mencoba memastikan, "Kau yakin?"
Nata mengangguk. Rambutnya bergerak sedikit mengikuti gerak kepalanya itu. Serbuk perak pun melayang di atas kepalanya selama sepersekian detik. Kemudian melebur.
Dara yang sejak tadi tidak melepas matanya dari sosk malakat itu pun menangkap kejadian aneh itu dengan mata kepalanya sendiri.
Sesuatu yang berkilau baru saja memayungi kepala Nata.
Dia terdiam. Mungkin saja itu asap, atau bisa juga hanya salah lihat.
Gadis itu pun menggelengkan kepala,mencoba mengusir pemikiran itu dari pikirannya.
Sebuah bus berhenti di depan halte tersebut. Orang-orang mulai memasuki bus itu segara bergiliran.
Nata berdiri, dia menengok Dara yang diam saja dalam duduknya. "Ayo."
"Hah?"
"Ayo pergi."
"Kemana?" tanya gadis itu dengan wajah yang kebingungan.
Nata berdecak. Dia meraih tangan Dara dan menariknya berdiri.
"Sudah kubilang kan aku ingin bicara denganmu?" ujarnya sambil menggandeng Dara masuk bus.
Mereka berdesakan dengan penumpang lain. Terpaksa mereka berdiri karena tidak ada tempat duduk tersisa. Mereka berada cukup dekat dengan Dara berada di depan Nata.
Dara menoleh ke belakang dengan terkejut saat tiba-tiba Nata melepaskan gandengan tangan mereka.
Dengan senyum Nata balas menatap Dara. Lelaki itu kembali meraih tangan gadis di depannya, mengarahkan tangan mungil itu untuk berpegangan pada kursi penumpang di sebelah mereka, supaya tidak hilang keseimbangan di tengah perjalanan.
Karena adanya penumpang yang tidak bisa diam, Dara pun terdorong mundur, menabrak Nata yang berdiri kokoh di tempatnya.
Nata memegangi kedua bahu gadis itu, membantunya berdiri. Sekali lagi dia mengarahkan tangan gadis itu untuk berpegangan.
Nata menurunkan kepala, berbisik di telinga gadis itu, "Pegangan yang erat, Dara."
Gadis itu memejamkan mata saat tengkuknya terasa meremang.
Dia tidak tahu namanya bisa terdengar begitu indah saat lolos dari mulut laki-laki di belakangnya.
Dia mengepalkan tangan dan menelan ludah dengan gugup. Dia tahu ini gila, tapi tidak bisa menahan diri untuk menginginkan namanya disebut oleh Nata sekali lagi.
Kemudian seperti bisa membaca pikiran Dara, laki-laki itu mendekatkan kepalanya ke telinga Dara sekali lagi. Berbisik dengan suara rendah yang jauh lebih manis dari gabungan seluruh gula di semesta ini, "Dara ...."
Dan yang bisa Dara lakukan hanya mematung. Sementara seluruh darah dalam tubuhnya berdesir dengan gila.