Dalam mata Nata yang melebar karena terkejut, terdapat titik-titik perak yang bersinar di sana.
Nata yakin seratus persen dia tidak pernah mengatakan apa-apa tentang identitas aslinya kepada Dara. Bahkan dia tidak pernah membeberkan identitasnya kepada manusia lain selama bertahun-tahun menjalankan tugas sebagai malaikat.
Bagaimana bisa Dara tahu bahwa dia adalah malaikat?
"Malaikat? Yang benar saja?" Matt dengan wajah kesalnya bertanya. "Katakan padaku siapa dia, Ra?"
"Sudah kubilang dia malaikat," ucap Dara tanpa nadaa. Wajahnya juga tanpa ekspresi, begitu datar menatap Matt dan Sinbi yang bersisian dalam jarat yang sangat dekat. Bahkan bisa disebut menempel.
Sinbi menyahut, "Kau bercanda? Kau sedang mempermainkan kami, ya?"
"Bukannya kau yang mempermainkanku?" Dara bertanya menusuk.
Tentu saja Sinbi merasa tersindir. Dia memang sudah membuat Dara kehilangan kekasihnya. Bukan itu saja, dia juga membut Dara kembali kehilangan kepercayaan terhadap orang lain.
Sinbi segera menutup mulut dan tidak berbicara lagi. Giliran Matt yang kembali merusuhi Dara dengan segudang stok pertanyaan.
"Apa kau menyukai laki-laki itu? Karena itu kau meninggalkanku?"
Dara tidak langsung menjawab. Dia mengambil waktu untuk berdiam beberpa saat. Wajahnya masih datar, sehingga Matt tidak bisa menebak apa yang sedang gadis itu pikirkan.
Sementara Nata masih membeku di tempatnya. Laki-laki itu masih belum paham kenapa Dara menyebutnya sebagai seorang malaikat. Selain itu dia juga penasaran jawaban dara atas peprtanyaan Matt barusan.
Apakah Dara menyukainya?
Gadis itu membuka mulutnya, "Tidak."
"Tidak?" gumam Nata mempertanyakan jawaban Dara.
Apa pesonanya sebagai malaikat sudah luntur sejak diusir dari surga? Bagaimana bisa Dara dengan yakin berkata tidak menyukainya?
"Tapi kalian harus berterima kepadanya," lanjut Dara.
Kedua orang di hadapan gadis itu kompak mengernyit bingung. Sinbi yang lebih dulu bertaya, "Buat apa?"
Dara tersenyum kosong. "Mungkin kalian sudah berakhir di rumah sakit jika dia tidak menghentikanku menghajar kalian."
Sungguh, andai saja Nata tidak tiba-tiba muncul di belakang Dara dan memegangi pisau kecil itu dengan erat, sudah pasti Dara akan mengayunkan benda tajam itu membabi buta pada kedua manusia di hadapannya. Terutama bosnya yang tidak berbeda dengan medusa.
"Apa maksudmu?" tanya Matt yang berpikir Dara hanya sedang melantur. Tidak mungkin gadis seperti Dara berani menghajar orang, kan?
Namun Matt kembali mengingat kebersamaan mereka. dia sadar bahwa Dara memang berani memberikan segalanya pada sosok yang dia sayang, tapi gadis itu juga tidak segan-segan melawan jika ada yang mengusiknya.
Dara menatap keduanya lekat-lekat. "Dia malaikat penyelamat kalian."
Di bangku sana, mulut Nata terbuka. "Ah, jadi ini maksudnya?"
Jadi ini kenapa Dara menyebut Nata sebagai malaikat tadi.
Sosok malaikat itu tertawa singkat, menertawakan kepanikannya tadi yang ternyata tidak berguna sama sekali. Identitasnya masih terjaga utuh.
Dia pun bangkit dan berjalan mendekati mereka bertiga.
"Dara—"
"Dara," Nata menyela dengan suara manisnya. Berbanding terbalik dengan suara Matt yang dipenuhi kekesalan.
Mereka bertiga kompak menoleh pada Nata yang berdiri terpisah dari mereka oleh meja kasir. Nata tersenyum saja meski menjadi pusat perhatian ketiga pasang mata yang menatapnya dengan cara tidak bersahabat itu.
Matt yang pertama bereaksi, "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku ini pelanggan. Apa kau selalu memperlakukan pelanggan seperti ini?" tanya Nata dengan santai.
Sementara yang menyahutinya sama sekali tidak santai. Sinbi berlagak mengatur, "Kalau kau pelanggan, duduklah seperti pelanggan pada umumnya."
Nata tidak menyerah setelah diusir oleh pemilik Kafe. Dia masih saja mempertahankan senyumnya dan mengoceh di sana, "Tapi aku hanya ingin menyapa."
"Memangnya kau mengenal kami? Buat apa menyapa segala?"
Dara yang sedari tadi diam di belakang tiba-tiba maju dan mendekti Nata.
Gadis itu berujar, "Aku mengenalnya."
Senyum Nata melebar melihat gadis itu membelanya. Terlebih lagi saat melihat Matt yang terbakar cemburu. Benar-benar menyenangkan untuk dilihat.
"Ada apa, Nat? Tanganmu baik-baik saja, kan?"
"Tangan?" Nata menunjukkan tangannya yang masih dalam balutan perban.
"Apa terasa sakit sekali?"
Nata menggeleng. Senyumnya menunjukkan kebanggaan. Andaikan dia bisa bebas memberitahu identitasnya, sekarang Nata pasti sedang memamerkan lukanya yang tidak terasa apa-apa. tidak sakit sedikit pun.
"Jangan membohongiku. Kalau sakit katakan saja," ujar Dara tidak mempercayai Nata. Gadis itu meringis tertahan membayangkan luka itu ada pada tangannya sendiri. Pasti sakit sekali, pikirnya.
"Siapa yang berbohong? Aku baik-baik saja." Malaikat itu mengangkat kedua alisnya. "Apa kau berharap aku kesakitan?"
"Bukan begitu," Dara berseru. "Aku hanya khawatir."
Nata menebak dengan mudah, "Kau merasa bersalah?"
Belum sempat Dara menjawab, tangannya ditarik, membawa tubuhnya untuk berbalik, menghadap sosok yang menariknya. Matt.
Dara yang tidak meyangka akan ditarik pun tidak siap sehingga sedikit terhuyung. Dengan segera dia menyeimbangkan kedua kakinya.
Gadis itu menatap Matt tidak suka. "Ada apa, sih?"
"Apa dia pacarmu yang baru?" Jari telunjuk Matt mengarah pada Nata saat menanyakan hal tersebut. "Apa dia yang membuatmu memilih meninggalkanku?"
Dara mendengus, tidak habis pikir dengan laki-laki yang ada di depannya itu.
Setelah semua yang dia lakukan di belakang Dara, mengkhiantinya, bagaimana bisa dia menyalahkan orang lain atas kepergian Dara? Tidakkah Tuhan memberinya akal untuk berpikir?
Dengan pedas Dara berujar, "Jika kau punya otak, harusnya kau sadar bahwa selingkuhanmu itu yang membuatmu kehilangan diriku."
"Harusnya kau memaafkanku. Aku bisa memperbaiki semuanya. Kita bisa memulai lembar baru dari hubungan kita," ucap Mattew dengan tidka tahu diri.
Tatapan datar Dara menembus langsung mata laki-laki itu. "Buat apa aku memaafkanmu?"
Matt menelan ludah merasa sedikit gentar. Namun dia memaksa diri untuk tetap menunjukkan keberanian.
Dengan guup dia berujar, "Setiap orang layak mendapatkan kesempatan kedua, bukan?"
Dara mendengus. Menahan diri untuk tidak menertawakan kekonyolan sang mantan kekasih. "Kau bisa mendapatkan kesempatan kedua dari Sinbi. Jadi berhenti mengharapkan sesuatu dariku."
"Kenapa kau—"
"Matt!" Sinbi menghentikan Mattew yang terus saja memohon kepada mantan kekasihnya itu. Sinbi sudah berusaha mendapatkan Matt seutuhnya, jelas saja dia tidak akan membiarkan Matt kembali kepada Dara begitu saja.
"Berhentilah memohon kepadanya. Kau tidak punya harga diri apa?"
Mendengar itu Dara mendengus. Tidak percaya bahwa gadis seperti Sinbi berani membicarakan harga diri.
Sementara Nata hanya tersenyum miring. Aneh rasanya mendengar seorang selingkuhan mempertanyakan harga diri orang lain di saat dirinya sendiri berkelakuan seperti itu.
Nata tidak memperhatikan perdebatan Matt dan Sinbi yang berlanjut semakin intens. Dia beralih pada Dara yang diam saja menatap kekacauan itu.
"Kau mau pergi denganku?"
Dara mendongak, menatap mata Nata yang juga sedang menatapnya. "Aku harus bekerja."
"Ada yang ingin aku bicarakan padahal."
Laki-laki itu menumpukan kedua sikunya di meja, sehingga Dara bisa dengan jelas melihat luka yang terbungkus perban itu. Mata Dara begitu saja terpancang pada perban putih itu. Dia kesulitan mengalihkan pandangannya.
Dia juga takut jika luka itu masih memberikan rasa sakit pada Nata, dan bagaimana jika ternyata laki-laki itu punya keluhan tentang tangannya itu?
Dara menghela napas. Dia pun menyetujui ajakan Nata. "Kau bisa menemuiku sesudah aku bekerja."
"Baiklah. Aku akan menunggumu," ujar Nata. Dia tidak repot-repot menyembunyikan senyum senangnya.