Chereads / Mission: No More Love / Chapter 4 - khawatir

Chapter 4 - khawatir

"Sebenarnya apa yang kau pikirkan saat melakukan itu?" tanya Dara galak kepada sosok di sampingnya itu.

Mikanata tidak menyangka akan diperlakukan seperti ini oleh seorang manusia. Dara seperti seorang ibu yang sedang mengomeli anaknya. Membuat Mikanata tanpa sadar mengikuti Dara dengan patuh.

Dara masih lanjut mengomel tanpa menghentikan langkahnya, "Kalau kau memang ingin menghentikanku, kau bisa memegang tanganku saja. Kenapa kau malah memegang mata pisau dengan tangan telanjang? Kau pikir tanganmu itu punya kekebalan khusus apa?"

Bukan hanya tangan, seluruh tubuh Mikanata memiliki kekebalan yang berbeda dengan manusia. Bahkan luka di tangannya itu tidak terasa sakit. Luka itu akan menutup dengan sendirinya dalam waktu cepat. Namun Nata sengaja membuat luka itu tetap ada agar Dara tidak merasa terkejut.

Walau bagaimanapun juga dia harus menutupi jati dirinya sebagai malaikat. Atau malaikat ketua akan kembali menggelar sidang disiplin untuk memberinya hukuman lain.

Dara menoleh pada sosok yang berjalan di sampingnya. "Tidak punya mulut? Kenapa diam saja?"

Nata tidak tersinggung dengan pertanyaan kasar gadis itu. Dia menjawab santai, "Aku hanya tidak ingin kau melakukan sesuatu yang membuatmu menyesal pada akhirnya."

"Sekarang pun aku sudah menyesal karena tidak sempat menusuk mata Sinbi." Dara melirik tangan kiri Nata. Suaranya memelan, "Aku juga menyesal membuatmu terluka."

"Ini?" tanya malaikat itu sambil mengangkat tangan kirinya yang terbalut perban. "Tidak perlu merasa menyesal. Luka ini bisa sembuh dengan cepat, kok."

"Apanya yang cepat? Kau ingat tadi berapa jahitan yang kau dapat? Sepuluh. Kau mendapat sepuluh jahitan. Kau pikir itu akan cepat sembuh?"

Dara merasa ngeri mengingat tadi saat luka di telapak tangan laki-laki itu masih terbuka dan belum mendapatkan perawatan apa-apa. Dara heran bagaimana laki-laki itu bisa bersikap biasa-biasa saja saat tangannya terluka?

Gadis itu hanya tidak tahu bahwa Mikanata adalah malaikat.

Setelah kejadian di kafe tadi, Dara segera membawa Mikanata ke klinik terdekat. Di sana dia mendapatkan perawatan luka ala manusia yang sebenarnya tidak dia butuhkan sama sekali.

"Siapa namamu tadi? Aku lupa."

Dia menjawab, "Mikanata."

"Mikatana?"

"Mi-ka-na-ta," malaikat itu mengeja namanya untuk Dara.

"Mi-ka-na-ta," gadis itu ikut mengeja, mencoba menyebut nama itu dengan benar, "Mika-nata. Mikanata?"

"Ya. Panggil Nata saja, biar lebih ringkas."

"Kenapa bukan Mika saja?"

"Mika itu ...," dia ragu bagaimana menjelaskannya, "Semacam nama keluarga. Semua keluargaku menggunakan Mika pada awalan nama mereka."

"Begitu, ya."

Hanya malaikat pemberi rezeki saja yang memakai Mika sebagai awalan nama mereka. Malaikat dengan tugas lain memiliki awalan nama yang berbeda-beda.

Dara memasuki sebuah restoran kecil di pinggir jalan. Masih dengan patuh Mikanata mengikutinya. Malaikat itu diam saja, membiarkan Dara menyebutkan pesanan pada pelayan yang melayani dengan wajah kurang bersahabat.

"Kau mau apa?"

Nata tersenyum. "Apa saja."

Dara pun beralih pada pelayan dan memesan hal yang sama untuk laki-laki yang duduk di hadapannya itu.

Setelah pelayan itu pergi, Dara langsung menyerbu Nata, "Apa kau sudah gila? Kenapa tadi kau nekat sekali?"

Pertanyaan itu bukan sarkasme ataupun bermaksud merendahkan. Dara bertanya karena penasaran dengan kondisi kewarasan laki-laki yang mengaku bernama Nata itu.

Bagi Dara, mustahil bagi orang waras untuk melakukan hal itu. Meluai tangan sendiri demi membantu orang lain yang tidak dikenal, tetap bisa tersenyum walau sedang terluka lumayan parah, dan bahkan tidak menunjukkan raut kesakitan sedikit pun.

"Apa kau bahkan seorang manusia?" tanya Dara tiba-tiba.

Nata yang adalah seorang malaikat pembuat onar hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu.

Dia balik bertanya, "Apa aku terlalu tampan untuk jadi manusia?"

Dara mendengus. Kekhawatirannya sepertinya tidak diperlukan. Walau dia terluka nyatanya dia masih bisa menjadi luar biasa percaya diri seperti itu.

Mereka tidak melanjutkan percakapan sampai pelayan menyajikan makanan mereka, sampai mereka selesai makan, dan sampai Dara membayar makan malam mereka itu. Mereka meninggalkan restoran masih dalam diam.

"Di mana rumahmu?"

"Rumahku?" Mikanata berkedip bingung. Tidak mungkin dia menjawab rumahnya ada di surga.

Untung saja Dara tidak memaksanya menjawab. "Tidak usah memberitahuku kalau tidak mau. Simpan saja nomor ponselku. Kau bisa menghubungiku kalau ada masalah dengan tanganmu."

Dara mengambil kertas dan pulpen dari tas kecilnya. Menuliskan nomornya dan memberikan itu pada Nata. "Ini."

Nata menerimanya.

"Ngomong-omong, namaku Dara."

"Aku tahu," jawab Nata.

"Bukannya aku belum memberitahumu?"

Nata terdiam sebentar. "Barusan kan kau memberitahu namamu."

Laki-laki itu tertawa kaku. Berharap gadis di depannya tidak curiga.

Dia mengetahui nama Dara karena sudah diberi informasi tentang gadis itu dari penanggung jawab hukumannya. Dia lupa tidak berpura-pura menanyakan nama Dara.

Mereka sampai pada halte bus. Tidak ada orang lain selain mereka di sana. Keduanya duduk bersebelahan dengan sedikit jarak di antara mereka.

"Apa kau tidak takut saat memegangi mata pisau tadi?"

"Tidak."

"Apa yang membuatmu tidak ragu?"

"Aku sudah memberitahumu alasanku sebelumnya." Nata mengulang kalimat yang sudah dia ucapkan pada Dara, "Jika kau melukai orang lain, aku bisa ikut terluka."

Raut bingung terlukis jelas di wajah gadis itu. "Apa maksudnya itu?"

Nata hanya memalingkan tersenyum lalu memalingkan pandangan ke depan, tidak berniat menjawab.

Selang beberapa saat sebuah mobil berhenti di depan halte tersebut, di depan mereka.

Sosok itu turun dari mobil dan segera menghampiri Dara. "Aku melihat bekas darah di tempatmu berdiri tadi di depan kafe. Kau tidak terluka, kan? Kau baik-baik saja, kan?"

Dia Mattew yang entah muncul darimana.

"Hentikan perhatian palsumu itu," Dara berujar pelan dan datar. Matanya yang seperti tidak memiliki emosi itu menampilkan kehampaan saat menatap Matt. "Pergilah. Tidak perlu memikirkanku."

"Tapi aku melihat darah di depan kafe. Kau juga langsung pergi saat itu juga. Kau sungguh baik-baik saja? Kau tidak terluka?" Matt memperhatikan Dara dari ujung kepala sampai kaki. Laki-laki itu juga meraih tangan Dara untuk memeriksa keadaannya.

Dara menyentak tangan Matt sehigga lepas dari tanagnnya. Dia bertanya sinis, "Memang kau mau apa kalau aku terluka?"

Matt jatuh terdiam.

Dia memandangi Dara dengan matanya yang tampak sendu. Tatapan Matt itu berhasil membuat Dara terhanyut.

Nata melihatnya dengan jelas, bahwa Dara juga masih memiliki cinta yang lebih besar dibanding kekecewaannya terhadap Matt.

Siapapun bisa mengerti tatapan Matt itu jujur. Kekhawatiran yang dipancarkan dari sana adalah murni adanya. Dara juga menyadari hal itu. Karena itulah gadis itu menjadi terkelu.

Terlebih saat Matt berujar dengan lirih, "Aku khawatir, Ra."

Sekarang Mikanata dilanda kebingungan.

Jika Dara masih mencintai Matt dan mau memaafkannya, maka keinginan gadis itu untuk balas dendam akan lenyap. Nata harus menunggu Dara memiliki keinginan tulus yang lain.

Namun bagaimana jika Dara kedepannya tidak menginginkan apapun lagi?

Bukankah itu berarti Nata tidak akan bisa menyelesaikan hukumannya? Jika begitu, maka Nata juga tidak bisa kembali ke surga.

Seketika kegelisahan membuncah dalam diri malaikat itu. Dia bergumam panik, "Apa yang harus aku lakukan?"