Chereads / Mission: No More Love / Chapter 3 - luka

Chapter 3 - luka

Setelah semua yang terjadi di aula surga kala itu, di sinilah Mikanata berakhir. Di pinggir jalan mengikuti gadis yang akan menjadi kliennya.

Gadis itu bernama Dara. Lengkapnya Sandara Patricia. Gadis itu disebut sebagai gadis yang menderita sejak kelahirannya karena memang begitulah adanya, dia menderita bahkan saat masih kecil.

Ditinggal pergi orang tua, mendapat perlakuan buruk di panti asuhan, kesulitan beradaptasi dan susah berteman, dan yang paling parah adalah saat semua orang tidak mempedulikan semua kesulitan yang gadis itu hadapai sendirian.

Mereka semua abai. Sehingga Dara juga tumbuh sebagai sosok yang tidak peduli dengan sekitar. Dia menjadi kreas dan tertutup.

Suatu hari dia jatuh cinta. Dia membuka hatinya yang sudah lama tertutup untuk sosok itu.

Sayangnnya hari ini dia mendapati laki-laki itu mengkhianatinya.

Mikanata melihat semuanya hari ini. Saat adegan kejar-kejaran antara Dara dan kekasihnya, Mattew. Mereka seperti berdrama di pinggir jalan. Kemudian semua selesai saat Matt pergi bersama selingkuhannya.

Dara tampak kecewa. Juga ada kemarahan yang tersorot dari matanya.

Mikanata yang sedang berpura-pura menatap hal lain pun menoleh saat Dara mengumpat.

"Bajingan sialan!"

Mikanata menatap Dara yang sepertinya mulai memiliki keinginan kuat dalam dirinya.

"Llihat saja nanti," desisan Dara itu menjelaskan segalanya. Bahwa Dara menginginkan sebuah pembalasan dendam.

Namun bukankah Mikanata tidak diperbolehkan mengabulkan keinginan buruk? Lantas kenapa mereka mengirim Mikanata kepada sosok yang berkeinginan balas dendam?

Malaikat itu kembali mengikuti Dara yang berjalan menuju kafe tempatnya bekerja.

Tenang saja, Mikanata tidak akan ketahuan karena tubuhnya sekarang hewan kecil berkaki empat. Jika pun Dara melihatnya, gadis itu paling akan menganggapnya sebagai kucing liar. Jadi tidak mungkin Mikanata dicurigai.

Sampai di depan kafe, bos Dara sekaligus selingkuhan Matt itu sedang melambaikan tangan, mengiringi kepergian Matt.

Mikanata melihat jelas tangan Dara yang semakin mengepal kuat. Entah sedang menahan diri atau sedang merencanakan sebuah tinjuan mentah ke wajahn bosnya itu.

"Kau sedang apa? Ayo, kita harus membuka kafe sekarang," ucap Sinbi dengan enteng.

Perempuan itu benar-benar tidak merasa bersalah meski telah membuat hubungan orang lain hancur begitu saja. Bukan hanya hancur, tetapi juga berakhir saat itu juga.

Sekarang Mikanata paham kenapa gadis manusia itu begitu mendendam. Bukan hanya karena Matt yang selingkuh, tetapi juga karena selingkuhan Matt yang tidak tahu diri itu.

Dara menarik napas dalam sebelum mengikuti Sinbi masuk ke dalam kafe.

Mikanata merebahkan tubuh kucingnya di depan kafe, di sebelah pot tanaman yang membuatnya terhindar dari sinar matahari pagi.

Lewat tembok kaca transparan, Mikanata menonton Dara yang mulai menata kafe, seperti tidak terganggu dengan masalah pribadinya dengan sang bos yang juga sibuk menyiapkan kafe.

Kemudian Dara mendekati pintu kafe, membalik gantungan 'close' menjadi 'open'.

Dara sempat melirik Mikanata yang tampak seperti kucing malas yang bergelosoran di emperan kafe. Dara mengabaikan malaikat berwujud kucing itu dan kembali fokus pada pekerjaannya.

***

Saat hari mulai beranjak petang, Mikanata kembali pada wujudnya. Tentu saja dia tidak menunjukkan sayapnya yang akan sangat mencolok jika ditunjukkan di sekitar manusia. Dia menyembunyikan sayap indahnya itu.

Dia memasuki kafe, memesan segelas amerikano dan duduk di dekat jendela.

Mattew datang lagi ke kafe itu. dia turun dari mobilnya. Sinbi segera keluar menyambut kedatangan laki-laki itu. Sementara Dara memperhatikan mereka berdua dari balik meja kasir.

"Pisau?" Mikanata menyipitkan mata saat melihat benda itu dalam genggaman Dara.

Ini tidak bisa dibiarkan. Mikanata harus memastikan Dara tidak mendendam, dengan begitu dia tidak perlu merugikan orang lain. Namun Dara sudah terlanjur berjalan keluar menghampiri kedua insan yang sedang bermesraan itu.

Dara menyembunyikan pisau kecil itu di belakang punggung. Dia memanggil, "Matt."

Laki-laki itu mengambil selangkah menjauh dari Sinbi dengan panik. Dia menatap Dara dengan takut dan perasaaan tidak enak. "Da-Dara, ada apa? Aku hanya sedang ... kau tahu, aku sedang ... bermain—"

"Bermain dengan selingkuhanmu itu?"

Sinbi menatap Dara. "Bukankah kalian sudah putus? Kalau begitu aku bukan lagi selingkuhan. Aku resmi kekasih Matt sekarang."

Mendengar hal itu Dara merasa darahnya mendidih. "Kau yang membuatku putus dengan Matt."

"Aku memang selalu berharap kau putus secepatnya. Tuhan mengabulkan harapanku juga pada akhirnya." Sinbi tersenyum penuh kemenangan saat mengatakan kalimat itu.

"Apa yang kau katakan, Sinbi?" Mattew tampak gelisah dan tidak nyaman. Dia beralih pada Dara, "Dara, dengarkan aku. Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku tidak—"

"Diam kau, Matt!"

Dara sudah tidak tertaarik mendengarkan ocehan Matt. Apapun yang laki-laki itu katakan tidak terdengar seperti bisa dipercaya.

"Beraninya kau membentak Matt?" Sinbi tampak tersulut emosi.

Dengan cepat Matt memegangi gadis itu agar tidak melayangkan tangannya ke arah Dara. Dia tidak tahu bahwa jika Sinbi berani menamparnya, maka Dara sudah menyiapkan pisau untuk memberi balasan yang lebih buruk.

Dara tersenyum miring. "Kenapa tidak jadi memukulku? Kau takut?"

Tangan Sinbi yang sudah siap memberi pukulan itu kini ada dalam genggaman Matt. Laki-laki itu menggunakan banyak tenaga untuk menghentikan Sinbi yang mulai menggila.

Namun siapa yang akan menghentikan kegilaan Dara?

Dara mengambil satu langkah maju.

"Kemari kau! Kau pikir aku takut? Aku bisa memukulmu sekarang juga. Kemari kau!"

Sinbi semakin ganas begitu ingin melayangkan bogem mentah pada karyawannya itu. Matt pun harus menggunakan tenaga lebih banyak lagi untuk menarik Sinbi mundur.

Dara mengeratkan genggamannya pada pegangan pisau, bersiap melayangkan serangan pada perempuan yang sudah membuatnya kehilangan orang yang paling dia sayangi itu.

"Maju kau sini!" Sinbi masih saja memprovokasi meski tubuhnya dikunci oleh Matt dari belakang.

Dara dengan senang hati maju, seperi yang Sinbi perintahkan.

Namun saat hendak mengayunkan pisau, benda tajam itu justru tidak bisa digerakkan. Ada seseorang yang memegang pisaunya dengan erat dan Dara tidak bisa menariknya.

Dara membalik badan, ingin melihat siapa yang sudah menahan pisaunya itu.

Adalah seorang laki-laki tinggi yang membuat Dara harus mendongak agar bisa menatap wajahnya. Laki-laki itu melempar senyum manis.

Sementara Dara terkejut bukan main saat menyadari laki-laki itu memegangi mata pisau dengan tangan telanjangnya.

"Apa yang kau lakukan?!"

"Menghentikanmu dari perbuatan bodoh."

Dara tidak percaya jika ada laki-laki asing yang rela melukai tangannya hanya demi menghentikan Dara dari kegilaannya.

Laki-laki itu mendekatkan mulut ke telinga Dara. Lalu berbisik merdu, "Jangan melukai orang lain. Aku bisa ikut terluka."

Tengkuk Dara meremang mendengar suara itu. Suara yang terasa begitu manis hanya dengan mendengarnya saja.

Laki-laki itu menarik kepalanya menjauh dari telinga Dara. Dia menunduk menatap gadis yang sedang terpaku olehnya itu. Namun hanya sebentar. Sebelum gadis itu kembali memasang wajah tanpa ekspresi seperti biasa.

"Kau yang melukai dirimu sendiri, bodoh."

Pisau itu ada di antara mereka berdua. Sehingga Sinbi dan Matt tidak bisa melihat darah yang mulai mengalir dari luka menganga di telapak tangan laki-laki asing itu.