Chereads / Dokter Hati dan CEO Tampan / Chapter 3 - 8. Oris

Chapter 3 - 8. Oris

Abel dan Firman saling bertatapan. Lagi-lagi tatapan Firman pada Abel membuat gadis itu sulit berpaling. Untuk membuyarkan pandangannya, Abel memilih untuk memejamkan matanya beberapa saat.

Sialnya, Firman menyalah artikan hal tersebut. Tubuh Firman kini condong ke depan dan wajahnya semakin mendekati wajah Abel. Perlahan, Firman ikut memejamkan matanya, sama seperti Abel.

Abel merasakan nafas Firman yang semakin dekat dengan dirinya. Perlahan Abel membuka mata. Ia berusaha untuk berpikir positif bahwa Firman saat ini tidak benar-benar dekat dengan wajahnya.

Begitu membuka mata, Abel terkejut melihat Firman yang hanya berjarak 1 cm dari dirinya. Dengan cepat Abel mendorong laki-laki itu ke belakang.

Karena terkejut, Firman ikut membuka mata dan menatap Abel dengan tatapan yang membingungkan. Bagi Abel, tatapan tersebut bukanlah tatapan menenangkan Firman lagi.

"Kamu mau apa?" tanya Abel sedikit takut.

Firman yang terjatuh kembali bangun dan berdiri tepat di hadapan Abel. "Bukankah kita?" tanya Firman ambigu. "Kamu udah biasa sama pergaulan barat kan?" tanya laki-laki itu kembali.

Abel mendelik dan tersenyum miring. "Kamu pikir aku semurah itu?" tanya Abel tidak terima.

Firman enggan menjawab. Ia merasa salah dalam menilai diri Abel. Gelagat Firman kini menjadi semakin membingungkan. Dapat dilihat bahwa ternyata Firman merupakan tipe laki-laki yang senang mencari kesempatan dalam sebuah kesempitan.

"Jangan pernah cerita sama siapa pun soal kejadian ini!" ancam Abel sebelum berlari pergi meninggalkan ruangan itu.

Abel terus berlari dan menghiraukan apa yang ada di sekitarnya. Bahkan ia tidak sadar telah berlari melewati Nadya yang membawa banyak kantong makanan di tangannya.

"ABEL!!" panggil Nadya cukup keras. Melihat sahabatnya yang terus berlari hingga menghiraukan panggilannya, Nadya pun memilih untuk mengikuti.

Sebuah ruangan kosong di ujung lorong dengan pintu yang tengah terbuka menjadi fokus Abel saat ini. Untung saja lorong itu sepi sehingga tidak akan ada orang yang dapat mendahuluinya.

Abel masuk ke dalam ruangan dan segera menutupnya. Dengan cepat Nadya menahan pintu tersebut sambil mengangkat kantong makanan di tangannya. "Kamu punya cerita aku punya makanan," ucap Nadya memberi tawaran.

Setelah setuju, mereka berdua pun masuk ke dalam untuk mengobrol dan makan malam tentunya. Abel mulai membuka suara dan menceritakan apa yang baru saja terjadi pada dirinya di ruangan usang bersama dengan Firman.

"Gila ya dokter magang itu!" kesal Nadya. Ia tidak rela jika sahabatnya menjadi korban pelecehan di tempat kerjanya sendiri.

"Aku udah biasa sama pergaulan bebas di Inggris. Tapi kalau kembali ke tanah air, aku orang yang tau aturan dan gak mungkin aku menerapkan pergaulan di Inggris saat aku di sini kan?" tanya Abel yang mulai resah dengan isi pikirannya.

Nadya yang sibuk melahap makanan hanya mengangguk-anggukan kepala mendengar ucapan itu.

"Apa kita kasih dia pelajaran aja? Kayak contohnya dia harus rawat pasien yang dipenuhi luka bakar atau pasien yang dipenuhi kutil?" ajak Nadya beberapa saat kemudian. Sedikit telat memang, tapi itu ide yang cukup bagus bagi Abel.

Jika kalian bertanya mengapa Abel dan Nadya tidak melaporkan kejadian tersebut pada atasan mereka, Abel dan Nadya tentu saja tidak ingin menghancurkan karier Firman sebagai dokter. Lagi pula potensi Firman cukup bagus di bidang kedokteran.

"Kenapa gak kita hukum dia untuk gak masuk ke ruangan operasi juga?" usul Abel menambahkan.

Lagi-lagi Nadya hanya mengangguk. "Terserah kamu aja yang penting kamu senang," ucapnya dengan mulut penuh.

....

Waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi. Tidak seperti hari biasanya, pagi ini Daniar sudah tampil cantik dan elegan.

Tidak ingin kalah, hari ini Lusi juga mengenakan baju bermerek yang sangat mahal untuk mengawali hari.

"Tumben Mama sama Lusi cantik banget hari ini?" goda Danish.

Daniar yang sibuk mengunggah foto dirinya di sosial media menoleh sedikit. "Iya dong, hari ini kan Mama sama Lusi mau jemput Jihan di bandara," tuturnya yang kini mulai bersolek.

"Oh, Jihan balik ke Indonesia?" tanya Danish terkejut.

Jihan merupakan sahabat Danish sedari kecil. Gadis berkulit sawo matang itu memutuskan tinggal di Australia sejak 3 tahun yang lalu. Dan entah kenapa hari ini Jihan memutuskan untuk kembali ke Indonesia.

"Iya, Kak. Rencananya Mama mau jodohkan Kak Jihan sama Kaak Danish." Mulut Lusi memang tidak pernah pandai menjaga rahasia. Buktinya saja, ia membocorkan hal penting ini pada kakaknya sendiri.

"Mulut kamu itu benar-benar gak bisa kamu kontrol ya Lusi!" gemas Daniar mengepalkan kedua tangannya. Ia tidak bisa mencubit atau memukul Lusi secara langsung karena gadis itu duduk cukup jauh di hadapannya.

Mendengar rahasia yang disebutkan oleh Lusi, Danish menoleh ke arah Danu. "Pa? Papa udah janji loh sama aku," ujar Danish tidak terima.

Danu merasa posisi dirinya terhimpit saat ini. Akhirnya ia memutuskan untuk tetap diam dan fokus pada sarapan yang ada di atas mejanya.

"Papa, jawab!" ucap Daniar dan Danish dengan kompak.

Uhuk! Uhuk!

Karena terkejut, Danu pun tersedak. "Iya, Papa udah kasih restu kamu sama Abel. Papa percaya sama kamu," jawab Danu untuk pertanyaan putranya.

Dengan kesal, Daniar mengetuk kepala Danu menggunakan centong sayur yang ada di meja. "Papa ini ya! Terus Jihan bagaimana? Dia anak yang baik loh, Pa. Kita juga kenal dekat sama keluarganya," goda Daniar agar suaminya berubah pikiran.

Danu mengangguk membenarkan. "Iya aku tahu dia anak yang baik, Ma. Aku juga yakin kalau dia bisa cocok sama Danish," setuju Danu.

"Terus Papa mau suruh Kak Danish poligami?" tanya Lusi dengan polosnya.

Kini giliran Danish yang memukul Lusi menggunakan centong. "Kurang ajar kamu! Emangnya kamu mau kalau di poligami sama suami kamu nanti?"

"Ya enggaklah, Kak!" tolak Lusi mengerucutkan bibirnya ke depan.

"Ih, Papa," rengek Daniar. "Terus ini mau gimana? Mama gak mau punya menantu perempuan 2 di hidup Mama!" kesal Daniar.

Danish bergidik ngeri. "Aku juga gak mau kalau harus senam malam 2x karena istri aku ada dua," ujarnya.

Danu diam untuk berpikir. Selama beberapa menit keadaan di ruang makan ikut hening juga. Setidaknya kondisi tersebut membuat Danish sedikit tenang.

Setelah terdiam cukup lama dengan posisi tangan menopang dagu, akhirnya Danu berdeham.

"Papa udah dapat ide? Calon istri aku tetap Abel kan, Pa?" tanya Danish penuh dengan antusias.

"Jihan kan Pa?" tanya Daniar yang tidak kalah antusias.

"Kita bikin taruhan." Hanya tiga kata yang keluar dari mulut Danu. Namun, kalimat singkat itu berhasil membuat seluruh anggota keluarganya menganga.

"Pa! Aku cari istri untuk jadi belahan jiwa aku. Kenapa harus taruhan sih, Pa?" keluh Danish.

"Diam kamu! Papa belum selesai bicara!" tegur Danu cukup galak. "Satu minggu ke depan kita akan cari tahu siapa yang pantas untuk istri kamu. Siapa di antara Abel dan Jihan yang perhatian sama kamu dan siapa di antara mereka yang mengerti akan diri kamu. Pemenangnya akan jadi istri kamu," jelas Danu dengan tegas.

"Tidak ada pembantahan!" Baru saja Danish akan mengatakan sesuatu, mulutnya kini sudah di bungkam kembali dengan kalimat tersebut.

....

"Nad, aku ada satu pasien yang harus di cek setiap 10 menit sekali. Tolong minta dokter magang untuk jaga dia ya, aku ada janji penting sama Danish sekarang," ucap Abel terburu-buru.

Setelah mendapat anggukan dari Nadya, Abel membuka kuciran rambutnya dan berjalan ke ruang ganti untuk mengganti pakaiannya. Tidak lupa, Abel juga mengenakan sedikit pewarna bibir berwarna merah jambu.

Setelah itu, Abel kembali berjalan keluar dengan tampilan sederhananya yang tidak bisa membuat laki-laki berkedip saat melihatnya.

"Selamat siang, Dokter Abel!" sapa Firman begitu melihat Abel yang melewatinya.

Karena malas, Abel memilih untuk tetap memandang lurus ke depan dan menghiraukan panggilan Firman.

Nadya yang melihat kejadian tersebut terkekeh kecil dan berjalan mendekati Firman. "Aku menyebut Abel wanita cerdas dan elegan," bisik Nadya memanasi Firman.

....

Ting!!

Suara bel kafe berdentang. Tanda seseorang masuk ke dalam. Danish menoleh ke arah pintu. Di lihatnya Abel yang cantik jelita berjalan menuju mejanya.

Begitu datang, Abel mencium pipi kanan Danish. "Selamat siang, Bapak CEO. Maaf ya kalau Ibu Dokter lama," ucapnya.

Tidak tinggal diam, Danish membalas ciuman sang pacar. "Selamat siang, Ibu Dokter yang paling cerdas dan cantik di dunia," goda balik Danish.

Abel tersenyum dan duduk di kursi hadapan laki-laki itu. "Aku ada pasien darurat. Jadi kita gak bisa lama-lama. Apa yang mau kamu bicarakan?" tanya Abel secara langsung.

"Papa restui hubungan kita," ujar Danish semangat

Mata Abel berbinar mendengar itu. "Serius? Bagus dong, kita dapat restu dari Papa kamu sekarang, tinggal restu dari Mama," jawab Abel antusias.

"Tapi ada syaratnya," sambung Danish dengan lesu.

Tangan Abel maju ke depan dan mengambil kedua tangan Danish. "Syarat apa? Kita pasti bisa laksanakan syarat itu sama-sama."

"Papa mau kamu sama Jihan menunjukkan kepedulian dan rasa cinta kamu sama aku selama satu minggu ke depan. Aku tau kamu sibuk banget Bel, jadi kalau kamu mau tolak syarat ini gak apa-apa kok. Mungkin kita emang bukan jodoh," keluh Danish.

Abel menggeleng. "Apa pun akan aku lakukan untuk akhir yang bahagia. Pegang janji aku, Nish."