Hari pertama...
Bagi Abel, tidak ada yang berbeda pada hari ini. Ia tetap bekerja dan melakukan aktivitas seperti biasanya. Syarat yang diberikan oleh Danu bukanlah hal yang berat bagi dirinya.
"Panggilan kepada Dokter Abel ditunggu di ruangan operasi 3 sekarang." Suara mikrofon rumah sakit terdengar oleh Abel yang tengah menjahit luka pasien.
"Dokter Siska!" panggil Abel pada salah satu dokter magang. "Tolong lanjutkan menjahitnya, saya mau ke ruangan operasi sekarang," ujar Abel.
Langkah Abel sedikit tergesa saat menuju ruang operasi. Panggilan tersebut biasanya menandakan ada hal darurat yang harus segera ia lakukan di ruangan operasi.
Dengan langkah yang cukup tergesa, Abel berjalan menuju ruang operasi 3. Selama di perjalanan, Abel terus berdoa di dalam hati kecilnya semoga operasi yang akan dia lakukan hanyalah operasi darurat biasa yang tidak memakan waktu lama.
"Ada apa?" tanya Abel begitu membuka ruangan pintu operasi dengan angka 3 yang tertempel di depan pintu tersebut.
"Jantungnya berhenti berdetak 3 menit yang lalu dan terjadi pendarahan hebat di jantungnya." Suara Adinda terdengar begitu cepat di telinga Abel.
Sesegera mungkin akhirnya Abel menggunakan baju operasi dan juga mencuci tangannya dengan bersih.
"Suster, tolong ambilkan pisau bedah nomor 10," cetus Abel dengan sangat lantang.
"Tuhan, semoga pendarahan pasien ini bisa segera dihentikan," bisik Abel di dalam hatinya.
....
Seorang gadis dengan warna rambut biru gelap berjalan menyusuri lorong kantor Sinatria Foundation. Barang-barang branded yang digunakan dari ujung rambut hingga ujung kaki membuat perempuan itu menjadi pusat perhatian para pekerja kantor. Ditambah lagi 3 penjaga yang mengikutinya dari belakang dengan pakaian hitam-hitam.
"Kak Jihan!!" Sebuah seruan panggilan dari mulut kecil Lusi keluar begitu melihat rombongan tersebut berjalan mendekati posisinya.
Pelukan hangat diberikan oleh Lusi kepada Jihan. "Kamu ada di sini juga? Lagi apa? Memang enggak ada jam kuliah?" Pertanyaan demi pertanyaan keluar dari mulut Jihan pada gadis yang mengenakan almamater berwarna kuning itu.
"Aku udah selesai kuliah, Kak. Siang ini aku mau menentukan siapa calon kakak ipar yang cocok sama aku," ungkap Lusi.
"Oh, ya?" tanya Jihan tidak menyangka. "Kalau seperti itu, kamu harus pilih aku sebagai kakak ipar kamu. Karena kalau aku jadi kakak ipar kamu, kita bisa liburan dan belanja sepuasnya," kelakar Jihan.
"Kalau semua aset kekayaan Kakak dirubah jadi nama aku sih bisa kita bicarakan," canda balik Lusi sambil merangkul pinggang Jihan. Keduanya pun masuk ke dalam sebuah ruangan yang biasa digunakan untuk keluarga beristirahat.
Di dalam ruangan tersebut, Lusi dan Jihan menghabiskan waktu mereka untuk mengobrol dan saling bertukar cerita.
Di depan ruangan, terdapat tiga penjaga Jihan yang berdiri untuk melindungi mereka dari sesuatu yang tidak terduga.
....
Danish berkali-kali membaca laporan keuangan yang baru saja diberikan oleh departemen keuangan padanya pagi ini. Ia terus membacanya karena berharap terjadi kesalahan pada laporan keuangan tersebut.
Hasil akhir dari laporan keuangan tersebut tidak sesuai sebagaimana mestinya. Terdapat uang sebanyak 100 juta hilang dari laporan. Sebenarnya itu merupakan uang yang kecil bagi Danish, tetapi ia belum pernah kehilangan uang tanpa arti seperti ini sebelumnya.
Bukan apa-apa, Danish takut jika laporan keuangan di bulan-bulan selanjutnya terus berkurang dan kekurangan tersebut terus bertambah setiap bulannya.
Danish mengangkat telepon yang ada di ruangannya dan menekan tombol angka lima. Tombol tersebut bisa menghubungkan dirinya dengan departemen keuangan yang ada di lantai lima.
"Saya minta laporan keuangan yang lebih rinci lagi, kirim melalui e-mail saya sekarang." Tanpa menunggu jawaban, Danish langsung mematikan telepon tersebut dan kembali memegang kertas yang berisi laporan keuangan.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu terdengar dari luar ruangan. Dari pantulan kaca kecil yang ada di pintu, Danish dapat melihat bahwa orang yang mengetuk pintu merupakan sekretarisnya.
"Masuk!" suruh Danish dengan suara yang cukup keras.
Pintu terbuka dan seorang wanita masuk ke dalam. "Maaf, Pak. Klien sudah menunggu di ruangan rapat sekarang," ucap sekretaris Danish.
Danish terdiam beberapa saat. Ia lupa jika hari ini ada rapat dengan klien besar yang akan bekerja sama dalam pembangunan rumah disabilitas gratis di pulau Sumatera.
"Aduh, saya lupa kalau hari ini ada rapat. Kalau begitu nanti saya turun ke bawah sekitar 5 menit lagi," ucap Danish sambil mencari ponselnya di atas meja kerja yang berantakan.
Danish membuka ponselnya dan mencari nama Mabellia di sana. Setelah itu ia mengirimkan sebuah pesan pada Abel.
'Halo sayang, maaf sepertinya kita gak bisa makan siang di luar hari ini, kamu bisa ke kantor aku?'
Kira-kira begitulah isi pesan yang dikirimkan oleh Danish pada Abel.
....
Hari ini terasa begitu cukup cepat. Rasanya baru saja tadi Abel memasuki ruangan operasi. Kini waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Hanya tinggal beberapa menit lagi waktu makan siang sudah tiba.
Abel yang baru saja meregangkan tubuhnya mengambil ponsel dari dalam saku. Terdapat sebuah pesan dari Danish yang belum ia baca.
"Aduh, aku kan udah reservasi dan pesan makanan kesukaan dia," ucap Abel setelah membaca pesan tersebut.
Abel menatap ke depan untuk berpikir sebentar. Sesaat kemudian ia pun mengetik sebuah pesan pada seseorang di layar ponselnya.
"Sekarang tinggal ganti baju dan pergi ke kantor calon Pak Suami," gumam Abel.
Perlu waktu sekitar setengah jam untuk Abel sampai ke kantor Yayasan Sinatria. Belum lagi kondisi ibu kota yang selalu macet setiap hari terutama di siang hari.
Hal itu benar-benar membuat Abel harus banyak-banyak bersabar selama perjalanan.
Akhirnya, setelah hampir 1 jam di perjalanan, Abel sampai di tempat parkir lokasi yang ia tuju.
Danish berjalan keluar dari ruangan rapat. Setelah melakukan rapat selama 2 jam, akhirnya ia bisa menghirup udara kebebasan dari luar ruangan.
Begitu pintu terbuka, Danish melihat Lusi dan Jihan yang berdiri tepat di depan ruangan.
"Kalian berdua lagi apa di sini?" tanya Danish dengan bodohnya. Ia tidak terbiasa ditunggu oleh kerabat pada saat tengah melakukan rapat.
"Tadinya kita mau nunggu di kantor Kakak, tapi Kak Jihan udah gak sabar buat ketemu sama Kakak," jawab Lusi dengan ocehan cerianya.
Jihan tersenyum menatap Danish dan menghampiri pria itu untuk berpelukan. "Kamu ganteng banget sekarang, aku kangeennnnn bangetttt sama kamu," ucapnya.
Danish melepas pelukan tersebut dengan sedikit dipaksa. "Aku juga kangen sama kamu," jawabnya dengan datar.
Setelah itu, Danish berjalan menuju kantornya dengan dibuntuti oleh Jihan dan juga Lusi di belakangnya. Tidak hanya itu saja, para pengawal Jihan pun ikut membuntuti Danish dari belakang.
"Kita makan siang sekarang yuk, kamu kan udah kerja seharian ini," ajak Jihan. Tangannya mengeluarkan satu tepukan dan seorang pelayan yang membawa kantong makanan di kedua tangannya jalan menghampiri.
Danish tersenyum melihat peristiwa itu. Ia membayangkan jika Jihan menjadi istrinya nanti, pasti segala sesuatunya akan dilakukan oleh para pengawal dan juga asisten rumah tangga.
"Kak, ayo makan," ajak Lusi membuyarkan lamunan halusinasi Danish.
Danish menoleh ke arah Lusi. "Tunggu Abel sebentar, dia lagi di jalan baru keluar dari ruangan operasi."
"Memangnya kamu gak lapar? Nanti kamu sakit kalau tunda makan, Nish," ucap Jihan merayu Danish.
"Aku gak kenapa-kenapa, biasa aja Jihan, gak usah berlebihan," jujur Danish tidak suka.
Tidak lama seorang wanita masuk dengan pakaian kemeja dan juga celana hitam panjang. "Hai, selamat siang. Maaf ya aku telat," ucapnya.
Melihat wanita pujaannya datang, Danish pun berdiri dan memeluk Abel. "Gimana tadi operasinya? Lancar?" tanya Danish basa-basi.
Abel mengangguk. "Seperti biasa, kamu gimana rapatnya?" tanya balik Abel.
"Lancar dong," sahut Danish.
"Oh iya, Bel. Ini Jihan, perempuan yang aku ceritakan waktu itu," ucap Danish kemudian. "Jihan, ini Abel. Pacar aku," sambungnya.
Jihan dan Abel saling berjabat tangan dengan senyuman yang terpancar satu sama lain. Setelah itu, Danish mempersilakan Abel untuk duduk di sampingnya.
"Kamu cukup lama juga ya datangnya. Ini udah hampir lewat jam makan siang," ucap Jihan menatap Abel.
Abel tersenyum mendengar ucapan itu. Ia sudah menyangka bahwa akan ada yang berbicara seperti itu padanya. "Tadi aku harus menyelamatkan nyawa seorang pasien terlebih dahulu, tapi tenang aja. Aku sempat beli makan kok buat Danish, dan ini makanan kesukaannya," ujar Abel sambil mengeluarkan makanan yang ia bawa.
"Aku juga bawa makanan buat Danish, ini daging terenak yang pernah aku makan," cetus Jihan tidak mau kalah.
"Loh, hari ini Kak Danish makan siang 2 porsi dong? Kasian nanti jadi gemukan," celetuk Lusi yang sedari tadi menyimak.
"Kita bagi dua makanannya sama buat kamu, Lus," ujar Danish mengambil keputusan.
Abel mengangguk. "Iya, benar apa kata Kakak kamu, lagi pula enggak baik kalau harus makan daging merah terlalu banyak. Itu berbahaya untuk kesehatan jantung kita." Abel menambahkan ucapan Danish sebelumnya.
Kini tangan Abel dan juga Jihan sama-sama sibuk melayani Danish dengan makanan yang mereka bawa. Lusi yang melihat hal itu merasakan aura kompetitif dari dalam diri keduanya. Sementara Danish, ia tidak peduli dengan Jihan. Hatinya benar-benar tulus untuk Abel.
"Kamu kan dokter ya, kenapa gak cari pacar dokter juga?" celetuk Jihan saat mereka tengah menyantap makanan siang.
Sorotan mata tajam dikeluarkan oleh Danish pada Jihan. Sementara Abel, ia hanya tersenyum santai mendengar pertanyaan tersebut.
"Cinta itu gak pernah bisa kita atur. Punya suami dokter sih emang keren, tapi punya suami yang tulus dan sayang sama kita itu jauh lebih berharga dari apa pun pekerjaannya," jelas Abel.
"Kamu sendiri kenapa gak cari suami di Australia?" tanya balik Abel kemudian.
Jihan menatap ke arah Danish dengan sorot mata yang menenangkan. "Aku udah lama suka sama Danish, walaupun dia cuman anggap hubungan kita hanya sebagai sahabat."
Mendengar penuturan tersebut, Danish menjadi serba salah di tempatnya. Kenapa dua gadis itu malah berbicara soal cinta? Apa tidak ada pembicaraan lain yang lebih menarik hati mereka?