Hari ketiga...
Setiap orang pasti pernah berkata, "Aku memiliki hari yang buruk." Dan rasanya hari itu terjadi hampir setiap hari. Bertengkar dengan rekan kerja, dibohongi pasangan, atau pun hanya sekadar flu berat selama seharian. Kalimat itulah yang biasa kita katakan ketika mendapatkan hal buruk, walaupun hal buruk yang lebih besar akan datang dikemudian hari.
Detak jantung Abel berdetak dengan cepat. Hari ini keluarga Sinatria mengundangnya untuk makan malam, tetapi di hari ini juga ia akan mengoperasi pasien selama 18 jam lamanya. Ia tidak mungkin bisa datang ke acara makan malam pada hari ini.
Kondisi pasien yang cukup mengkhawatirkan membuat operasi yang akan dilaksanakan tidak dapat menunda operasinya.
"Bel, kalau kamu gak bisa operasi pasien ini, kita bisa rujuk pasien ke rumah sakit yang lain," usul Nadya.
Abel melirik ke arah Nadya dan tersenyum menyungging. "Nyawa pasien lebih penting dari pada kisah cinta aku."
Melihat sahabatnya yang masih bisa tersenyum, Nadya pun ikut tersenyum kecil. "Semoga aja kamu memang tetap berjodoh sama Danish, Bel," batinnya berkata.
Dokumen yang berisi data pasien kini sudah ada di tangan Abel. Hanya beberapa menit lagi wanita itu akan mengadakan kunjungan pasien.
Sekadar informasi saja, kunjungan pasien yaitu sebuah kunjungan yang dilakukan oleh para dokter untuk pasien mereka. Dan biasanya para dokter akan ditemani oleh dokter magang.
"Kamu ambil dokter magang mana untuk kasus ini?" tanya Nadya begitu Abel akan pergi. Ia sama sekali tidak melihat ada dokter magang yang bersama dengan Abel.
"Kamu," celetuk Abel tanpa beban.
Nadya melongo dan menunjuk dirinya sendiri. "Aku?" tanyanya bingung.
Abel melemaskan badannya. "Ayolah, Nad. Gak mungkin kan kalau aku ajak dokter magang untuk kasus sebesar ini? Aku pasti butuh kamu di ruang operasi," bujuk Abel dengan mata berbinar dan penuh permohonan.
"Fine!" putus Nadya pada akhirnya.
....
Daniar berjalan menyusuri basement menuju pintu masuk sebuah mall besar. Hari ini dia akan berbelanja bersama dengan Jihan yang sudah menunggunya di dalam.
Usia Daniar memang sudah hampir menginjak angka enam puluhan, tetapi caranya berjalan masih terlihat seperti seorang wanita berusia sekitar 40-an.
"Tante Daniar!!" panggil Jihan yang kini hanya berjarak 3 meter saja dari Daniar.
Daniar mempercepat langkahnya dan memberikan pelukan hangat pada Jihan. "Maaf ya nunggu lama."
"It's okay, Tante. Aku tadi beli syal untuk Tante." Jihan mengeluarkan sebuah syal berwarna hijau dari dalam tas kertas yang dipegangnya.
"Ya ampun lucu banget, serasi ini sama baju Tante," ucap Daniar begitu Jihan mengenakan syal itu pada dirinya.
Jihan tersenyum senang mendengar ucapan tersebut. Ia pun menggandeng wanita tua yang sudah lama ia kenal dan berjalan beriringan menyusuri pusat perbelanjaan.
Setelah merasa cukup untuk berkeliling dan membeli beberapa keperluan, keduanya memutuskan untuk makan siang di salah satu restoran ternama yang ada di pusat perbelanjaan tersebut.
"Kamu mau makan apa sayang?" Daniar yang sibuk membuka-buka halaman menu di tangannya bertanya pada Jihan.
"Apa aja deh, Tante. Kalau bisa masakan Indonesia aja. Aku udah kangen banget soalnya sama masakan Indonesia," jujur Jihan.
Daniar manggut-manggut dan menoleh ke arah pramusaji. "Soto buntut pakai nasi 2 dan sate madura 1 porsi ya, Mbak. Untuk minumnya saya mau es jeruk 1."
"Saya mau soda aja untuk minumnya," susul Jihan kemudian.
Setelah menuliskan semua pesanan, pramusaji itu pun pamit ke dapur restoran untuk menyiapkan pesanan mereka berdua.
"Kamu masih unggul kan dibandingkan si dokter jantung itu?" Tiba-tiba saja pertanyaan tersebut keluar dari mulut Daniar.
Jihan mengangguk dengan yakin. "Tante tenang aja, hari pertama kemarin dia datang telat untuk makan siang. Dan kemarin, dia gak sempat untuk makan malam."
Daniar tersenyum senang mendengar penuturan tersebut. "Bagus kalau begitu! Semoga aja hari ini dia gak bisa makan malam juga. Biar gak ada yang ganggu makan malam spesial hari ini," timpal Danela dengan senyuman.
....
Abel mengentakkan salah satu kakinya. Terus berdiri selama hampir 10 jam membuat kedua kakinya pegal dan kerongkongannya sedikit kering.
Sedari tadi pandangan Abel tidak luput dari tubuh pasien yang terbuka sedikit pun. Sementara Nadya, ia terus-menerus melirik jam dinding di ruangan sedari tadi.
Jarum panjang di jam dinding kini sudah jelas menunjuk ke angka 7 dan jarum pendeknya menunjuk ke angka 2. 19.00 WIB
"Dokter Abel, kira-kira kita butuh waktu berapa lama lagi untuk mengangkat seluruh tumor pasien?" Nadya bertanya pada Abel secara profesional. Ia tidak ingin sahabatnya itu terlambat untuk makan malam pukul 8 nanti.
"Kita butuh waktu sekitar 5 hingga 8 jam lagi jika tidak ada perubahan atau komplikasi operasi. Apa Dokter Nadya haus? Atau mau ke toilet mungkin?" tanya Abel dengan mata yang tetap fokus melihat tubuh pasien.
"Dokter Abel..." panggil Nadya dengan sedikit penekanan.
Abel melirik ke arah Nadya sebentar dan menggelengkan kepalanya dengan cepat seolah ingin mengatakan 'tidak' pada Nadya.
"Kita lanjut operasi," ucap Nadya pada semuanya.
....
"Mana pacar dokter kamu itu?" Kini semua orang sudah berkumpul di ruang makan rumah Danish, kecuali Abel.
Raut wajah Danish sedari tadi sudah benar-benar khawatir. Rasa cemas mulai menyelimuti laki-laki itu. "Abel bilang tadi dia ada operasi, Ma."
"Bukannya itu tadi pagi?" tanya Danu seolah ikut-ikutan mengintrogasi anaknya.
Kali ini Danish tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Karena sejujurnya Abel tidak memberitahu berapa lama dia akan melakukan operasi pada pasiennya hari ini.
"Kita tunggu aja sampai jam 8, kalau ada Kak Abel pasti seru," usul Lusi dengan senyuman. Setelah beberapa kali bertemu dengan Abel, Lusi merasa bahwa dirinya nyaman dengan wanita itu. Jadi apa pun keputusan yang akan diambil Danu nantinya, itu tidak akan berpengaruh apa pun pada Lusi dalam mendapatkan kakak iparnya nanti.
Waktu demi waktu pun terus berlalu. Menit silih berganti dan detik terus berdetak. Tidak ada kabar apa pun dari Abel pada Danish. Bahkan ponsel Abel pun masih tetap sulit dihubungi.
"Aku mau ke rumah sakit," ucap Danish pada pukul 8 malam lewat 13 menit.
Daniar mengernyit. "Buat apa? Mau jemput pacar kamu itu? Dia gak peduli sama makan malam ini, dia menduakan keluarganya. Sudah jelas dia gak cocok sama kamu. Lebih baik kita makan malam dari pada terus-menerus tunggu dia," ucapnya dengan ketus.
"Iya, benar apa kata Mama. Lebih baik kita makan," ajak Danu setuju.
Pukul 2 pagi akhirnya Nadya dan juga Abel keluar dari ruangan operasi. "Kamu benar-benar gila loh, Bel!" seru Nadya.
"Kenapa Nad? Karena aku gak ikut makan malam sama keluarga Sinatria?" tanya Abel tetap sasaran.
"Iyalah! Kalau aku jadi kamu, aku gak akan pernah sia-siakan kesempatan besar itu. Aku akan berjuang untuk mendapatkan cinta dari orang tua Danish dan aku akan buka rumah sakit yang lebih besar dari ini," kelakar Nadya.
Abel tersenyum. "Aku juga berjuang," balasnya dengan enteng.
"Berjuang?" tanya Nadya tidak percaya. "Kamu lebih memilih operasi pasien dari jam 8 pagi sampai jam 2 pagi daripada makan malam sama keluarga Danish, Bel. Berjuang gimana?"
"Nad, kalau dia emang ditakdirkan untuk bersama dengan aku, dia pasti mengerti dengan apa yang aku lakukan saat ini. Lagi pula inilah diri aku, ilmu bedah sudah melekat dalam diri aku. Kita itu layaknya sel darah merah dan sel darah putih yang gak bisa dipisahkan. Kalau dia memang cinta sama aku, dia juga akan mencintai semua hal tentang aku."
Penjelasan tersebut membuat Nadya tersenyum kagum. Baru kali ini ia mendengar ada wanita yang berpikir realistis dan logis mengenai cinta.