Hari kelima...
Pukul 5 pagi tadi sebuah panggilan darurat masuk ke ponsel Abel. Panggilan tersebut berasal dari tempat di mana ibunya menjalani perawatan Alzheimer.
Dengan pakaian seadanya dan rambut yang berantakan, Abel mengendarai mobilnya menuju rumah sakit yang menjadi tempat rujukan.
Setelah memarkirkan mobilnya, Abel berlari menuju ruangan ICU secepat mungkin.
"Ibu," lirihnya begitu melihat sang Ibu yang dipenuhi dengan berbagai macam alat medis di tubuhnya.
"Boleh saya minta catatan medis ibu saya?" pinta Abel dengan lemas.
Dokter yang menangani Abel menolak mentah-mentah. "Tidak bisa Bu, itu sudah prosedur rumah sakit."
"Saya dokter bedah jantung. Jadi saya pantas untuk melihat catatan medis ibu saya," tegas Abel.
"Berikan berkasnya," suruh seorang dokter lainnya yang lebih tinggi jabatannya.
Dengan tidak sabar, Abel menarik berkas tersebut dan membawanya. "Terjadi kebocoran di bilik jantungnya, kenapa kalian tidak melakukan operasi?" tanya Abel.
"Riwayat pasien tidak memungkinkan, Dok."
Abel menghela nafasnya perlahan. "Saya mau Ibu saya dipindahkan ke rumah sakit tempat di mana saya bertugas sekarang juga. Biar saya yang operasi Ibu saya," ucap Abel.
Dokter tersebut hanya menganggukkan kepalanya. Dari raut wajahnya ia tidak berani melawan ucapan Abel.
Abel berjalan menuju ranjang ibunya dan menggenggam tangan keriput itu dengan cukup erat. "Ibu harus sembuh. Abel mau Ibu kenal sama Abel sebelum Ibu pergi, Bel," ucapnya dengan mata yang berbinar.
"Bertahan ya, Bu. Abel janji bakal bikin Ibu sehat lagi. Abel bakal perbaiki jantung Ibu yang rusak," ucapnya kembali.
....
Troli kasur didorong dengan sangat cepat menuju IGD Rumah Sakit tempat Abel bertugas. Di pintu IGD, ada Nadya, Adinda, Siska, Firman, dan juga dokter lainnya yang menunggu kedatangan Abel bersama ibunya.
"Ada apa, Bel?" tanya Nadya bertanya.
Abel mencoba mengatur nafasnya yang masih tersengal. "Terjadi kebocoran di bilik jantungnya, dan jantungnya sempat berhenti beberapa kali di dalam perjalanan. Aku harus segera operasi Ibu aku," ucap Abel tergesa.
Saat Abel melangkahkan kakinya kembali, Nadya menarik tangannya dan menahannya dengan cukup erat. "Seorang dokter, tidak boleh mengoperasi keluarganya. Itu bisa bikin diri kita menjadi emosional di dalam ruangan operasi," ucap Nadya dengan wajah yang datar.
"Aku bukan tipe orang yang emosional. Aku yakin aku bisa lewati ini semua. This a beatiful day to safe my mother's life!" tegas balik Abel.
Seluruh dokter yang ada di sana hanya saling terdiam dan sesekali melirik satu sama lain. Abel merupakan dokter yang sangat hebat di rumah sakit ini, tidak ada yang berani mengambil alih pasien dari Abel terutama jika itu merupakan ibunya seperti saat ini.
"Oke, tapi aku ikut masuk ke dalam ruangan operasi sama kamu. Setuju?" tawar Nadya dengan wajah yang ketus. Karena tidak ada pilihan lain, akhirnya Abel pun setuju dengan usulan Nadya tersebut.
Setelah menggunakan baju operasi, Abel menyempatkan diri untuk membuka ponselnya dan mengirimkan sebuah pesan pada Danish.
"Kamu sudah siap?" tanya Nadya memastikan.
"Aku siap kapan pun kamu siap," balas Abel dengan senyuman.
....
Danish sama sekali tidak menyadari alarm yang menyala di ponselnya sedari tadi. Semalam ia baru saja bergembira dengan Abel di sebuah kafe yang terdapat tempat karaoke di dalamnya. Danish sama sekali tidak marah pada Abel karena tidak ikut makan malam. Toh, alasan yang diberikan oleh Abel sangat masuk akal bagi dirinya.
"Kak Danish!!! Bangun!!!" Lusi terus menggoyang-goyangkan tubuh Danish sedari tadi. Sesekali Lusi juga memukul wajah kakaknya itu menggunakan guling.
Perlahan Danish mulai membuka matanya dan melihat wajah Lusi tepat di hadapannya. Namun alih-alih memilih untuk bangun, Danish malah memalingkan wajahnya dan kembali tertidur.
"Ya Tuhan!! Kenapa harus punya kakak kayak begini sih?" keluh Lusi tidak habis pikir.
Karena merasa kehabisan akal, akhirnya Lusi pun memilih untuk menipu Danish. "Kak, ada Kak Abel di bawah. Katanya dia mau sarapan bareng sama Kakak pagi ini."
Mendengar nama Abel di sebut, Danish langsung bangun dan duduk di atas kasurnya. Tidak peduli jika ia akan merasa pusing nantinya.
"Bilang sama Abel aku mau siap-siap dulu," ucap Danish setengah tidur.
Lusi mengambil guling di atas kasur dan mengangkatnya cukup tinggi. Setelah itu ia melemparnya ke wajah sang kakak. "Bangun, Kak! Mana mungkin Kak Abel ke sini, dia ada di rumah sakit. Lagi kerja, gak malas kayak calon suaminya!" ejek Lusi.
Seolah tidak mendengar ucapan Lusi. Danish hanya berjalan menuju kamar mandi dengan langkah yang lunglai.
Setelah selesai mandi dan nyawanya terkumpul dengan sempurna, Danish mengambil ponselnya. Dilihatnya sebuah pesan masuk dari Abel.
Hai sayang, selamat pagi. Aku cuman mau bilang kalau Ibu kena serangan jantung hari ini. Aku terpaksa operasi Ibu, wish me luck. I love you, Danish <3
Danish tertegun selama beberapa saat setelah membaca kalimat tersebut. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jika berada di posisi Abel.
Tanpa sempat sarapan, Danish melajukan mobilnya seorang diri menuju rumah sakit. Ia benar-benar khawatir dengan kondisi Abel saat ini.
Di perjalanan, ponsel Danish berdering berkali-kali. Asisten, sekretaris, Danu, Daniar, Lusi bahkan Jihan terus-menerus menelepon Danish.
"Brengsekk!! Berisik banget sih orang-orang!" makinya di dalam mobil.
Tanpa memedulikan semua telepon yang masuk, Danish terus menancap gas mobilnya menuju rumah sakit.
....
"Saya mau bertemu dengan Dokter Abel sekarang," ucap Danish suster yang bertugas di meja informasi.
Tanpa mencoba mencari tahu keberadaan Abel, suster tersebut langsung menjawab pertanyaan Danish. "Maaf Pak, saat ini Dokter Abel masih dalam ruangan operasi. Jika Bapak mau, saya bisa antar Bapak ke ruangannya langsung."
Kalian jangan salah, para pekerja di rumah sakit ini sudah tahu bahwa Abel dan Danish mempunyai hubungan yang lebih dari sekedar teman. Mereka menganggap bahwa hubungan keduanya bagaikan Romeo dan Juliet di masa modern.
Danish menggeleng. "Gak apa-apa, saya bisa sendiri. Tapi saya minta tolong telepon ruangan operasi dan sampaikan pada Dokter Abel kalau semuanya akan baik-baik saja," kata Danish sebelum berjalan pergi.
Sebenarnya, Danish tidak pergi ke ruangan Abel. Mana mungkin ia bisa duduk tenang di ruangan ber-AC dan ber-sofa sementara kekasihnya tengah mengoperasi calon mertuanya yang mungkin saja tengah sekarat saat ini.
Danish masuk ke dalam ruang galeri untuk melihat kondisi Abel. Dilihatnya sang kekasih yang tengah mengoperasi tubuh calon mertuanya. "Kamu pasti kuat, Bel," ucapnya dalam hati.
Laki-laki dengan netra coklat khas orang asia itu terus berdiri di sana sepanjang operasi. Seolah memberikan kekuatan pada Abel di setiap tindakannya yang dilakukan di bawah sana.
Setelah hampir melakukan operasi selama 5 jam, Abel melirik ke arah Nadya dan menganggukkan kepalanya dengan senyuman. Senyum di bibirnya memang tertutupi oleh masker medis yang ia kenakan, namun matanya yang menyipit dapat memberitahu bahwa ia tengah tersenyum di balik maskernya.
"Selamat, Dokter Abel," ucap Nadya dengan tepuk tangan di dalam ruangan. Para suster dan dokter yang ada di sana pun ikut tepuk tangan untuk mengapresiasi kerja keras Abel hari ini.
Danish tersenyum lega dari atas. Ia berjalan menuju sebuah interkom agar bisa berbicara dengan Abel yang ada di bawah sana. "Selamat, Nyonya Sinatria," ucapnya dengan penuh penekanan tanda kegembiraan.
Abel yang baru menyadari kehadiran Danish di sana tersenyum dan segera membuka baju operasinya. Sementara itu, Danish yang melihat Abel tergesa seolah mengerti bahwa gadis itu ingin memeluk dirinya. Maka dari itu Danish keluar dari ruangan galeri dan berlari menuju ruangan Abel.
"Kamu berhasil!" seru Danish memeluk Abel.
Abel mengangguk-angguk kepalanya girang. "Iya! Aku berhasil," ulangnya memperjelas.
Danish tersenyum dan kembali memeluk Abel dengan erat. "Kita bisa ketemu sama Ibu kamu sekarang?" bisiknya tak sabar.
Abel melepas pelukannya dan menarik tangan Danish dengan lembut menuju ruangan ICU. Ruangan tempat di mana para dokter membawa pasien mereka setelah menjalankan operasi yang cukup berat dan beresiko.
Kini Abel dan Danish duduk mengapit ranjang Ibu Abel dan keduanya memegang kedua tangan wanita tua yang baru saja mendapatkan operasi itu.
"Berapa lama untuk Ibu kamu sadar dari obat biusnya?" tanya Danish dengan suara yang sangat pelan. Tidak berbisik tapi.
"Sekitar 2 sampai 3 jam ke depan," jawab Abel. Sebenarnya ia tidak yakin dengan apa yang dia ucapkan, namun ia harus bersikap optimis dengan apa yang sudah ia usahakan untuk ibunya.
Tut! Tut! Tut! Tut!
Tiba-tiba saja monitor berbunyi. Detak jantung pasien menurun begitu drastis dan kini berada di posisi 46.
"TOLONG AMBILKAN SAYA TROLI DARURAT DAN PANGGILKAN DOKTER NADYA!!" teriak Abel histeris.
Sebelum troli tersebut datang, Abel langsung melakukan CPR pada Ibunya. Sementara Danish, ia langsung berdiri dan menyingkir ke sudut ruangan agar tidak menghalangi dokter dan suster yang bekerja.
Sejujurnya Danish masih tidak mengetahui apa yang terjadi saat itu. Namun dilihat dari raut wajah Abel yang panik dan mata yang berkaca-kaca, ia bisa memastikan bahwa kondisi Ibu Abel saat ini sangatlah darurat.
"Ada apa?" tanya Nadya yang baru memasuki ruangan.
"Jantungnya berhenti sekitar 15 menit yang lalu. Kamu dari mana saja? Aku butuh bantuan kamu dari tadi," ucap Abel yang terus mengejutkan alat pacu jantung pada dada ibunya.
"Lima belas menit?" tanya Nadya tidak percaya. Nadya berjalan mendekati Abel dan menyingkirkan tubuh Abel dari Ibunya. "Sudah, Bel. Jangan siksa Ibu kamu, kita semua sama-sama tau. Jangan siksa Ibu kamu," ucap Nadya terus-menerus.
Abel menggeleng. "Gak, Nad. Ibu aku pasti selamat! Aku yang operasi dia tadi! Kalau dia gak selamat, itu artinya aku yang bunuh dia," ucap Abel dengan nada suara yang sedikit bergetar.
Nadya menggelengkan kepalanya dan melirik ke arah Danish. Berusaha meminta bantuan pada laki-laki itu.
Danish pun akhirnya berjalan mendekati Abel dan memegang kedua pundak gadis itu. "Abel, kamu sudah berusaha. Ibu kamu pasti bangga sama kamu. Sekarang kamu harus bahagia, karena Ibu sudah gak sakit lagi," ucap Danish berusaha menenangkan.
Abel menjatuhkan alat pacu jantung di tangannya dan menatap layar monitor yang berubah menjadi garis lurus. "IBU!!!!!" teriaknya dipenuhi dengan air mata.