Sebuah mobil Lamborghini Aventador SVJ Roadster Grigio Telesto berwarna hitam terparkir di halaman rumah sakit. Di dalamnya, terdapat sepasang kekasih yang bercumbu mesra sebelum harus berpisah untuk bekerja hari ini.
"Sudah ya sayang, aku harus masuk ke dalam," ucap Abel menahan tubuh Danish yang akan kembali menciumnya.
Danish memundurkan tubuhnya dan tersenyum tipis. "Ya sudah, hati-hati ya, kalau ada apa-apa langsung telepon aku. Terus nanti jangan langsung pulang, tunggu aku jemput kamu," bawel Danish.
"Iya, kamu tenang saja. Aku sudah besar bisa jaga diri sendiri," gemas Abel.
Setelah mencium tangan suaminya, Abel pun turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah sakit.
"Selamat pagi, Dokter Abel," sapa seorang suster.
Abel menganggukkan kepalannya dengan senyuman pada suster tersebut. Baru saja beberapa langkah ia berjalan, seorang perawat kembali menyapanya. "Selamat pagi, Bu Dokter.
"Pagi." Kali ini Abel menjawab sapaan tersebut.
"Hai Dokter Abel, selamat pagi dan selamat bekerja kembali," sapa para dokter magang bersusulan.
Abel mengernyit. Semenjak ia menginjakkan kakinya kembali di rumah sakit ini, sudah ada 10 pekerja yang menyapanya dengan sapaan yang sama. Tidak biasanya mereka semua seperti itu pada Abel.
Firman yang tengah berdiri menunggu lift terbuka dan melihat Abel pun ikut-ikutan menyapa, "Hai Dokter Abel."
Di saat yang bersamaan, Nadya datang menarik tangan Abel. "Gak usah jadi penjilat!" tegas Nadya pada Firman.
"Penjilat apa maksud kamu?" tanya Abel begitu Nadya menariknya pergi dari sana.
Nadya melepas tangannya dari lengan Abel. "Mereka semua itu takut kalau suami kamu beli rumah sakit ini, jadi semuanya berusaha untuk bersikap baik sama kamu," jelas Nadya.
Abel tertawa puas mendengar cerita Nadya. Baru saja 2 minggu dirinya berlibur, sudah ada gosip baru saja di rumah sakit ini.
"Siapa yang bilang kalau Mas Danish mau beli rumah sakit ini?" tanya Abel yang belum bisa berhenti tertawa.
"Kalau bukan dari dokter magang, dari mana lagi gosip di rumah ini berasal?"
"Kamu," jawab Abel dengan wajah datarnya.
Nadya mendecak. "Kali ini bukan aku, seriusan deh." Jari tangan kanan Nadya membentuk huruf V seolah mengatakan bahwa dirinya benar-benar serius mengatakan hal tersebut.
"Iya-iya," jawab Abel berusaha mempercayainya.
Saat Abel akan kembali berjalan menuju ruangannya, Nadya kembali menahan tangan sahabatnya itu.
"Apa lagi Nadya?" tanya Abel berusaha untuk sabar. Di hari pertamanya kembali bertugas ini, Abel hanya ingin memeriksa pasien dan melakukan tugas yang lainnya dengan tenang dan tanpa gangguan sedikit pun.
"Ruangan kamu masih dipakai sama Dokter Anto, dokter pengganti kamu. Jadi kamu pakai ruangan aku dulu saja untuk sementara waktu ini," ucap Nadya.
Kali ini Abel merasa bahwa informasi yang disampaikan oleh Nadya sangat penting untuk diketahui oleh dirinya. "Bukannya waktu cuti aku sudah habis ya? Terus apa kata Dokter Kepala Bedah soal ini semua? Itu kan ruangan Kepala Bedah Jantung, tempat aku Nad," oceh Abel tidak terima.
Nadya mengelus-elus rambut Abel yang diurai. "Cup... cup... cup... yang sabar ya Nyonya Sinatria," kelakarnya.
Abel mendelik. "Terserah kamu," kesalnya dan langsung berjalan menuju ruangan Nadya.
....
Seorang pasien berusia sekitar 7 tahunan memasuki ruangan IGD dengan kondisi baju yang berlumuran darah akibat muntahannya. Saat itu Siska merupakan satu-satunya dokter magang yang bertugas di ruangan IGD. "Tolong panggilkan Dokter Abel, Dokter Anto dan juga Dokter Adinda!" Teriakan Siska terdengar di seluruh penjuru ruangan.
Selama ketiga dokter tersebut belum datang ke ruangan IGD, Siska sebisa mungkin memeriksa dan juga membersihkan anak tersebut.
Di lorong IGD, Abel dan juga Adinda tidak sengaja bertemu sehingga memutuskan untuk ke ruangan IGD secara bersamaan.
"Selamat datang kembali Dokter Abel. Gimana liburannya kemarin?" tanya Adinda basa-basi.
"Seru sih, tapi kayaknya kurang ya soalnya 2 minggu terasa seperti 2 hari," kelakar Abel. "Oh iya, Dokter Anto itu yang mana ya?" tanya Abel kemudian.
Begitu Abel menyebutkan nama Anto, terdengar suara dehaman seorang pria di belakang mereka berdua.
"Kayaknya itu Dokter Anto," bisik Abel pada Adinda yang membuat wanita di sampingnya itu tersenyum.
"Pasien apa yang kita punya?" tanya Abel. Kini para dokter senior itu sudah menghampiri pasien yang bersama dengan Siska.
"Tiara, 7 tahun, masuk ke ruangan IGD dengan muntah darah dan ini untuk hasil rontgen dari pasien," jelas Siska.
Abel mengambil hasil rontgen yang ada di tangan Siska dan mulai melihatnya dengan saksama.
"Ada massa di sekitar hati dan lambungnya," ucap Adinda menunjuk bagian lambung.
Abel menggangguk membenarkan. "Kemungkinan massanya ini sudah menjalar ke arah paru-paru," lanjut Abel menambahkan hipotesis Adinda.
"Bawa dia ke ruangan operasi," suruh Abel pada Siska. "Dokter Anto, saya mau dokter ikut operasi bersama saya. Ya hitung-hitung melihat skill Dokter di ruangan operasi," sambung Abel kemudian.
Anto pun mengangguk. "Dengan senang hati," angkuhnya.
Adinda dan Abel berjalan lebih dulu ke ruangan operasi. Sebenarnya tujuan operasi mereka kali ini belum tentu untuk mengangkat massa yang mereka kira merupakan kanker. Tapi operasi ini dilakukan untuk melihat sebesar apa dan separah apa kanker yang dialami oleh Tiara. Apabila mereka mengira bahwa kanker tersebut bisa diangkat tanpa mengganggu organ lain, maka mereka akan mengangkat kanker tersebut.
Sesampainya di ruangan operasi, mereka semua sepakat bahwa Anto akan memimpin operasi mereka pada hari itu.
"Pisau bedah nomor 10," pinta Anto dengan tegas pada seorang suster.
Setelah mendapatkan pisau bedah yang ia minta, Anto langsung membuat sayatan di sekitar perut pasien dan mulai membukanya. "Tolong sedot darahnya di sebelah sini," suruh Anto pada Abel.
Abel yang sadar akan posisinya di ruangan operasi pada hari itu mengikuti semua keinginan Anto.
Tidak lupa, dia juga memerhatikan kinerja Anto selama operasi berlangsung. Segala keputusan yang diambil oleh Anto juga menjadi bahan perhatiannya hari ini.
....
"Saya akan menerima Dokter Anto untuk bekerja di departemen saya asalkan saya bisa mendapatkan ruangan saya kembali." Selesai melakukan operasi, Abel diminta untuk menemui Dokter Kepala Bedah rumah sakit untuk membahas posisinya sebagai Dokter Kepala Bedah Jantung.
Setelah berpikir cukup panjang, Abel pun berusaha keras mempertahankan posisinya agar tidak direbut oleh Anto. Sementara itu, ia membiarkan Anto untuk tetap bekerja di bawah kepemimpinannya.
Perlu Abel sadari, segala tindakan Anto hari ini di ruangan operasi memang cukup memukau. Pantas saja Sandi-Kepala Dokter Bedah rumah sakit ini menunjuk Anto sebagai dokter penggantinya selama cuti kemarin.
"Oke, saya terima tawaran kamu," jawab Sandi. Dokter mana yang menolak tawaran seperti itu? Abel yang bijak, berprestasi dan satu-satunya dokter lulusan Oxford dengan lulusan terbaik di rumah sakit ini. Sementara itu, Anto yang cekatan pun perlu dipertahankan untuk membantu Abel dalam menangani segala kasus yang ada.