Cup!
Sebuah kecupan mendarat di kening Abel yang masih tertidur lelap. "Nyenyak banget sih tidurnya? Pasti lagi mimpiin aku ya?"
Abel membuka matanya perlahan dan menggosok-gosok matanya agar dapat menangkap wajah Danish dengan lebih jelas. "Hai, good morning!" sapanya dengan senyuman.
"Kamu tidur lagi dulu saja, aku mau mandi dulu. Nanti kalau aku sudah selesai mandi aku bangunin kamu," suruh Danish.
Abel melihat sekilas jam beker di sampingnya dan kembali melirik ke arah sang suami. "Kenapa kita gak mandi bareng aja?"
"Yakin?" goda Danish, "Mata kamu saja masih sepet gitu," imbuhnya.
Abel bangun dan mendudukkan dirinya di samping Danish. "Yakin, sayang. Aku sudah bangun kok," jawabnya.
Danish tersenyum melihat ekspresi Abel dengan rambut yang masih kusut. Tanpa aba-aba, Danish pun menggendong Abel masuk ke dalam kamar mandi dan menceburkannya ke dalam bath tub.
"MAS DANISH!!!! DINGIN!!!" Teriakan Abel menggema seisi rumah.
....
Setelah selesai mandi, Abel dan Danish langsung memakan sarapan yang sudah disediakan oleh asisten rumah tangga mereka.
"Hari ini kamu pulang jam berapa?" tanya Danish memulai perbincangan di meja makan.
Abel terdiam sejenak seolah berpikir. "Eum... hari ini itu aku ada operasi besar, pasien pertama aku di Indonesia akhirnya bisa di operasi penggantian katup jantung hari ini," ujarnya dengan semangat.
Danish menyipitkan kedua matanya. "Pasti operasinya sama si Anto itu lagi, iya kan?" curiga Danish.
"Iya, namanya juga kan operasi besar sayang. Aku bakalan berdiri di ruangan operasi cukup lama, jadi aku perlu bantuan biar bisa duduk atau istirahat," jelas Abel.
"Awas ya kalau sampai si Anto macam-macam sama istri aku!" ancam Danish yang tampaknya cemburu.
Abel menggeleng-geleng kepalanya dengan senyuman. Tangannya mengambil garpu dan menusuk sepotong roti yang sudah ia potong dan mengarahkannya ke mulut Danish. "A...."
Danish yang masih cemberut itu pun membuka mulutnya sesuai dengan ucapan Abel.
"Kamu tenang saja, aku gak mungkin berpaling ke laki-laki lain," janji Abel. "Lagi pula, kita berdua itu selalu jadi bahan perbincangan di lorong rumah sakit. Banyak wanita di rumah sakit cemburu karena aku ternyata jodoh kamu," goda Abel mengagulkan suaminya.
Kali ini Danish tersenyum mendengar cerita Abel dan mencium bibir istrinya cukup lama.
"Ya ampun Tuan, Nyonya... bikin Bibi kangen saja sama suami di kampung." Ucapan Dewi menyadarkan Abel dan juga Danish.
Dengan cepat Abel pun mendorong tubuh suaminya dengan pelan dan tersenyum malu.
....
Pagi ini Anto mendapatkan sebuah pesan masuk dari Abel. Laki-laki itu mendapatkan tugas dari Abel untuk mengumpulkan data pasien bernama Rizki untuk melakukan operasi.
Kini tangannya sudah dipenuhi berkas-berkas yang berasal dari laboratorium dan juga beberapa di antaranya berasal dari lemari berkas di ruangan Abel.
"Dokter Abel sudah datang?" Nadya yang baru saja datang berjalan menghampiri Anto dan bertanya demikian.
Anto menggeleng. "Belum, dia baru suruh saya untuk urus berkas pasien," jawab Anto seadanya.
"Kalian mau operasi bareng lagi hari ini?" tanya Nadya tepat sasaran.
Anto menganggukan kepalanya. "Iya, operasi penggantian katup jantung dari pendonor."
"Can I scrubbing with you for sugery?" tanya Nadya kembali meminta izin.
"Sure," angguk Anto dengan datar.
Nadya tersenyum lebar dan loncat kegirangan. Wanita itu juga berkali-kali menepuk lengan Anto. "Thank you so much!!" serunya.
Setelah itu, Nadya berjalan menuju ruangannya dengan senyum yang berseri-seri. Sebenarnya, ia sudah mencoba untuk ikut operasi pada Abel, namun sahabatnya itu menolaknya. Untung saja Anto menerimanya di ruangan operasi.
Tidak lama, Abel pun sampai ke rumah sakit dan meminta Anto untuk bertemu dengannya di ruang rawat inap Rizki.
"Hai Rizki, Hai Dokter Anto, dan ... Hai Dokter Nadya." Abel terkejut begitu melihat Nadya berada di dalam ruangan Rizki.
"Itu dia, Dokter Abel! Bagaimana Dok operasi saya hari ini?" tanya Rizki memecahkan keheningan yang terjadi selama beberapa saat di dalam ruangan tersebut.
"Kita akan mulai operasi sekitar jam 11 siang ini, karena aku harus ambil katup jantung kamu di rumah sakit Bekasi. Semoga jantung kamu mau menunggu, ya?" kelakar Abel.
"Jantung aku selalu siap menunggu," canda balik Rizki.
Setelah melakukan konsultasi dengan pasien, ketiga dokter bedah hebat itu keluar dari kamar pasien.
"Nad, aku kan bilang kamu gak bisa masuk kasus ini, kamu gak lupa kan?" tanya Abel begitu melangkahkan kakinya keluar.
Nadya menoleh ke arah Anto dengan polosnya. "Kata Anto aku boleh ada di ruangan itu, kok," ucapnya.
Kini sorot mata tajam Abel menatap Anto. "Kenapa gak bilang dulu sama aku?"
"Saya gak tahu apa-apa," jawab Anto dengan cepat seolah tidak ingin disalahkan.
Kali ini Abel menghembuskan napasnya dengan berat. Sekarang ini ia tidak mungkin mengeluarkan Nadya begitu saja dari kasus Rizki. "Oke kalau begitu, aku mau kalian yang ambil katup jantung Rizki dan kembali tepat waktu ke rumah sakit ini."
Tidak ada penolakan dari keduanya. Karena Abel yang memimpin operasi kali ini, mereka pun hanya bisa menuruti perintah bosnya.
Sebenarnya, Abel tidak ada masalah jika Nadya harus berada di dalam ruangan operasi bersamanya. Hanya saja entah mengapa ia sangat malas bertemu dengan Nadya akhir-akhir ini. Mungkin karena bosan.
....
"Sebenarnya kamu ada masalah apa sama Abel? Sepertinya dia tidak ingin kamu ada di ruangan operasinya hari ini," tanya Anto. Kini keduanya tengah berada di dalam ambulans perjalanan pulang.
"Gak usah terlalu baku ngomongnya," jawab Nadya. "Aku juga gak tau dia kenapa, aneh banget kan dia tiba-tiba males satu ruangan operasi sama aku?" tanya Nadya balik.
Anto mengangguk-anggukkan kepalanya setuju. "Mungkin dia lagi ada masalah di rumah, atau mungkin dia cuman bosan saja satu ruangan operasi sama kamu," jelas Anto membantu memberikan alasan.
"Mungkin," jawab Nadya datar.
"Kamu punya pasangan?" tanya Anto tiba-tiba.
Nadya mengernyit. Cukup aneh memang tiba-tiba Anto berbicara seperti itu padanya. Apalagi selama ini laki-laki itu tidak pernah terlihat berbincang dengan wanita cukup lama di rumah sakit. "Eng-enggak. Kenapa emangnya?" tanya Nadya yang tiba-tiba saja menjadi grogi.
"Mau makan malam sama aku?"
Nadya menoleh ke arah Anto. Pertanyaan selanjutnya itu semakin membuat Nadya merasa aneh pada Anto. "Kamu gak lagi mabuk kan?" tanya Nadya memastikan.
"Mabuk?" tanya balik Anto. "Aku gak mungkin mabuk di jam kerja seperti saat ini," sambung Anto berusaha meyakinkan Nadya.
"Oke, kita bisa makan malam nanti di restoran seberang rumah sakit," jawab Nadya pada akhirnya.
Anto mengangguk dengan senyuman tipis. "Maaf, aku gak handal soal ini, jadi kalau agak sedikit kaku-"
"Gak apa-apa, aku gak masalah," potong Nadya dengan cepat.
Beberapa saat kemudian Nadya termenung. "Apa yang kamu lakukan, Nad? Anto? Serius? Kamu aja baru satu bulan kenal sama cowok itu," gerutu Nadya di dalam hati.