Hari ketujuh...
Dalam hidup kita harus siap sedia menerima kehilangan. Kapan pun itu. Mengenai kehilangan, dokter pun tidak tahu kapan hal itu akan terjadi. Mereka hanya bisa memprediksinya saja, kadang itu pun melesat jauh dari dugaan.
Bagaimana pun juga, kita harus siap menerima takdir yang diberikan oleh tuhan. Sulit memang, tapi mau bagaimana lagi?
Kehilangan sosok ibu dalam kehidupan bagaikan tersesat tanpa tahu tujuan. Itulah yang Abel rasakan saat ini. Semalaman ia mengurung dirinya di dalam kamar yang gelap gulita. Bukan hanya lampu kamarnya saja yang ia matikan, tapi juga seluruh listrik di rumahnya.
Hancur. Itulah yang Abel rasakan saat ini. Tidak ada lagi lem perekat yang bisa menyambung kehidupannya. Danish? Mungkin laki-laki ini mempunyai sedikit harapan untuk Abel, tapi itu pun jika mereka berdua berjodoh.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu terus terdengar sedari tadi. Abel benar-benar malas dan lemas untuk beranjak dari atas kasurnya. Jangankan untuk berjalan membuka pintu, untuk mengambil air minum yang ia simpan di atas meja samping kasur saja ia benar-benar enggan.
"Abel, jangan sampai aku dobrak juga pintu kamar kamu!" ancam Nadya. Ya, orang yang sedari tadi mengetuk pintu kamar Abel merupakan Nadya. Ia berhasil memasuki rumah Abel dengan memecahkan kaca jendela dan masuk melalui sana.
Sudah seperti pencuri bukan? Tapi bagaimana lagi? Nadya benar-benar panik dengan kondisi Abel. Malahan, ia sempat berpikir bahwa Abel bunuh diri di dalam kamarnya.
"Abel, aku tahu kamu hancur. Tapi kamu gak bisa dan gak boleh kayak gini selamanya. Buka pintu, Abel. Kamu gak sendirian, ada aku dan Danish di hidup kamu." Suara Nadya terus terdengar oleh Abel. Rayuan dan juga bujukan terus wanita itu keluarkan dari mulutnya. Tapi anehnya, ia sama sekali tidak tertarik dengan semua ucapan itu.
Nadya menghembuskan nafasnya perlahan. Tangan kanannya merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselnya dari dalam sana. Dicarinya nama Danish di aplikasi mengirim pesan untuk mengabari kondisi Abel saat ini.
"Aku gak ada pilihan lain, Abel," gumamnya.
Danish berada di ruangan rapat yang dihadiri oleh para dewan-dewan yayasan. Ini rapat yang cukup penting bagi kelangsungan yayasan, tapi pikiran Danish tidak berada di dalam ruangan itu. Pikirannya terus tertuju pada Abel.
"Bagaimana, Pak. Apa Bapak setuju?" tanya departemen keuangan pada Danish.
Mendengar namanya dipanggil, Danish menoleh pelan. "Saya belum bisa jawab sekarang. Salin semua laporan dan presentasi kamu hari ini. Nanti biar saya pahami terlebih dahulu," izin Danish.
Laki-laki ini memang selalu pintar dan cerdas dalam mengambil keputusan. Ia tahu bahwa dirinya tengah tidak fokus saat ini, maka ia memilih untuk menjawab semua pertanyaan rapat di pertemuan selanjutnya.
Selesai rapat, kebiasaan Daish pasti mengecek ponselnya. Terdapat 2 pesan masuk di dalam sebuah aplikasi pengirim pesan.
'Danish, aku khawatir sama kondisi Abel, kamu bisa ke sini gak?'
'Aku sudah berusaha bujuk Abel agar mau keluar dari kamar, tapi dia gak keluar juga. Aku tahu kalau dia juga gak mau bicara sama kamu dari kemarin, tapi gak ada salahnya kan kalau kita coba?'
Setelah membaca kedua pesan tersebut, tanpa pikir panjang Danish langsung keluar dari ruangan rapat dan menuju parkiran.
Baru saja melangkahkan satu kakinya keluar, Danish sudah melihat Daniar, Danu dan juga Jihan di luar sana.
"Kamu mau ke mana, Nish? Ini hari terakhir seleksi mantu Mama," ucap Daniar, "Dan sepertinya Mama sudah tahu siapa pemenangnya," sambung Daniar kembali dengan mata yang melirik ke arah Jihan.
Danish tersenyum remeh. "Ma, Pa. Aku gak ada waktu untuk ini. Abel, orang yang aku sayang baru saja kehilangan Mamanya dan apa kita harus bahas ini sekarang? Sebagai kekasihnya dan calon suaminya, seharusnya aku ada di samping dia dan pegang tangan dia!" tajam Danish.
Daniar mendelik. "Selama 7 hari ini saja, dia tidak selalu melayani kamu! Jadi untuk apa kamu melayani dia?!" tajam balik Daniar.
Danish mengepal kedua tangannya gemas. "Ma, pernikahan itu bukan soal seorang istri yang selalu melayani suaminya 24 jam! Pernikahan itu mengenai kasih sayang, ketulusan, rasa saling percaya dan mengerti! Dan itu yang aku lakukan sama Abel selama ini!"
"Oke, aku hargai kerja keras Jihan selama ini, tapi bukan itu yang aku mau, Ma. Istri aku gak selalu harus datang ke kantor buat bawa makan siang atau ajak aku makan malam. Aku mau istri aku punya kariernya sendiri, kayak Abel," jelas Danish panjang lebar.
Kali ini tidak ada jawaban apa pun yang keluar dari mulut Daiar. Wanita tua itu terdiam seolah meresapi setiap kata yang diucapkan oleh anaknya barusan.
Danish menatap wajah Dniar dan Danu silih berganti. Setelah itu, ia pergi menuju parkiran.
"Anak kita benar, Ma," ucap Danu.
Danish melihat kaca rumah Abel yang pecah dan pintu yang tertutup rapat. Karena panik, ia pun menggedor rumah tersebut dengan cukup keras.
Nadya yang mendengar suara tersebut segera berlari menuju pintu dan membuka kuncinya. "Maaf, Nish. Aku lupa buka kuncinya tadi," ucap Nadya.
"Kalian berdua gak kenapa-kenapa? Telapak tangan kamu kenapa merah-merah?" tanya Danish khawatir.
Nadya menggeleng dengan helaan nafas yang cukup berat. "Gak apa-apa. Tadi Abel gak buka pintunya, jadi aku manjat lewat jendela."
Danish mengangguk. "Ya sudah, mana Abel?" tanyanya.
Nadya pun menunjukkan arah kamar Abel pada Danish.
"Abel... kamu ada di dalam kan?" tanya Danish. "Hari ini semua sudah berakhir, Bel. Aku pilih kamu. Kita akan bersama selamanya. Kamu gak perlu lewati ini semua seorang diri. Keluar, Bel... kita pelukan untuk merayakan kemenangan kita." Berbeda dengan Nadya, Danish lebih memilih membahas topik lain agar Abel mau membuka pintunya.
"Kamu gak percaya?" Suara Danish mulai terdengar kembali. "Aku juga kurang percaya, tapi aku akan yakinkan Mama dan Papa kalau kamu orang yang tepat untuk aku dan anak kita adalah keturunan yang tepat untuk memegang yayasan dan juga menjadi seorang dokter bedah hebat seperti Ibunya."
"Abel..." panggil Danish, kali ini suaranya terdengar sedikit pasrah.
Nadya menepuk salah satu pundak Danish seolah berusaha memberikan laki-laki itu kekuatan.
"Bel, kamu tahu gak apa yang membuat aku yakin sama kamu? Aku yakin sama kamu karena kamu punya rasa kemanusiaan yang tinggi seperti ini. Please, marry me, Mabellia. Let's married."
Abel yang berada di dalam kamar terus menangis sedari tadi. Apalagi setelah mendengar kata-kata Danish yang menyentuh dan mengetuk pintu hatinya.
Akhirnya Abel memutuskan untuk berlari menuju pintu dan membukanya dengan cukup kencang. Tanpa basa-basi, Abel memberikan pelukan yang sangat kuat pada Danish. "Let's married next week," ucapnya dengan air mata yang kembali berlinang.