Suara detak jantung dari monitor rumah sakit terus membuat Abel terjaga. Bertugas di IGD merupakan tugas yang berat menurut Abel. Ia tidak akan pernah bisa menduga pasien yang akan datang setiap menitnya.
Sudah hampir 1 jam Abel berjaga sendirian di IGD. Sudah hampir 1 jam juga ia menunggu kabar dari para dokter magang yang sudah ia hubungi sedari tadi.
"Abel, aku mau keluar cari makan malam. Kamu mau aku belikan sesuatu?" tanya Nadya yang melihat sayup lesu dari mata Abel.
Abel menggelengkan kepalanya. "Dari pada kamu belikan aku makan atau minum, lebih baik kamu temani aku jaga di sini. Hampir semua pasien punya keadaan darurat dan aku kewalahan karena gak ada dokter magang," keluh Abel pada sahabatnya itu.
Nadya mengedarkan pandangannya untuk melihat kondisi IGD pada saat itu. Ternyata benar apa kata Abel, tidak ada satu pun dokter magang di sana. "Mungkin mereka tidur karena bekerja seharian penuh, atau mungkin mereka semua ambil cuti," jawab Nadya yang mulai sok tahu.
Abel kembali mengambil papan yang ada di atas meja. "Dulu aku kerja satu minggu di rumah sakit tanpa pulang tapi gak pernah absen kayak mereka," ujarnya sebelum pergi. Tampaknya wanita itu ingin beradu nasib dengan para dokter magang.
Nadya mengangkat kedua bahunya pura-pura tidak peduli. Alih-alih membantu sahabatnya, Nadya memilih untuk pergi meninggalkan rumah sakit dan membeli makan. Bagi Nadya, asupan pencernaan merupakan hal nomor satu.
....
Firman terus bolak-balik melihat situasi dari luar sedari tadi. Kini para dokter magang tengah berada di sebuah ruangan usang yang sudah tidak dipakai lagi. Mereka tengah belajar memasukkan jarum infus sebelum mencobanya kepada pasien.
"Di luar masih aman kan?" tanya Eka, salah satu dokter magang yang memegang jarum infus.
Dengan sangat yakin, Firman mengangkat jempolnya. "Lanjut aja, kayaknya dokter jaga lagi pada sibuk sama urusan mereka masing-masing," jawabnya penuh percaya diri.
"Bagus!" seru Eka. "Ponsel kalian mati semua kan? Biar kita nanti ada alasan kalau kena marah," sambung Eka mengingatkan.
....
"Danish! Kamu beli rumah seharga 3 miliar buat pacar kamu itu?" Danu yang baru saja sampai rumah langsung menanyakan hal tersebut pada Danish yang tengah menonton televisi.
Danish berdecak kesal mendengar suara ayahnya. Ia baru saja mendapatkan sedikit ketenangan, namun karena omelan tersebut kini hidupnya kembali tidak tenang.
"Itu uang aku, Pa. Jadi apa masalahnya sama kehidupan Papa?" tanya Danish.
Danu menghela nafasnya dan membuka jas yang ia kenakan lalu duduk di samping Danish. "Kamu gak takut kalau dia itu penipu? Kita gak tahu keluarga dia, bisa aja selama ini dia bohong kan?" tanya Danu khawatir.
"Papa percaya gak sama aku?" tanya Danish kembali.
Danu mengangguk. "Ya percayalah, kamu kan anak Papa," jawabnya dengan bangga.
Danish tersenyum menang. Ia berhasil menjebak sang ayah melalui pertanyaannya. "Kalau Papa percaya sama aku, itu artinya Papa juga harus percaya sama setiap keputusan aku." Ucapan Danish yang cukup tegas membuat Danu terdiam sebentar.
"Papa mau kan kasih restu aku sama dia?" Danu yang terus terdiam membuat Danish sangat yakin bahwa hubungannya dengan Abel mulai mendapatkan restu dari sang ayah.
Danu mengangguk kecil. "Papa akan coba untuk percaya, nanti kita datang ke rumahnya untuk tentukan tanggal pertunangan," ucap Danu yang membuat Danish tersenyum dengan senang.
....
Kondisi seluru pasien kini sudah cukup stabil untuk ditinggal. Abel yang sudah bosan dan kesal menunggu para dokter magang pun memutuskan untuk mencarinya. Ia berharap bahwa mereka tengah tertidur di ruangan istirahat atau pun bersembunyi di beberapa ruangan lainnya.
Jangan salah, saat menjadi dokter magang di rumah sakit luar negeri, Abel pernah bersembunyi dari dokter jaga seperti dirinya. Ia takut jika harus mendiagnosis pasien yang datang di IGD.
Ruangan demi ruangan Abel buka untuk mencari mereka. Hingga akhirnya ia sampai di sebuah ruangan yang belum pernah ia masuki semenjak ia bekerja di sini.
BRAK!!
Abel membuka pintu dengan cukup kencang. Seluruh dokter magang yang ada di dalam ruangan sontak terkejut melihat Abel.
"Siapa yang mau jelaskan ini semua?" tanya Abel tanpa basa-basi.
Mendengar pertanyaan tersebut, para dokter magang menegang. Semuanya mulai bungkam dan tidak berkutik sedikit pun.
Karena tidak ada yang menjawab, Abel berjalan mendekati mereka. Ia ingin melihat dengan jelas apa yang mereka lakukan.
Abel dapat melihat puluhan alat infus di atas meja. Dan ia juga melihat beberapa infus yang terpasang di tangan dokter magang. Selain itu, dia juga melihat sampel darah yang mereka ambil sendiri.
"Pergi ke ruangan IGD sekarang dan rawat seluruh pasien saya. Jangan sampai ada dokter lain yang tahu soal ini semua kecuali Dokter Nadya. Karena saya pasti cerita hal ini sama Nadya," ucap Abel setelah menyimpulkan apa yang terjadi.
Seluruh dokter magang hanya terdiam dan menganggukkan kepala. Setelah itu, mereka semua berlari ketakutan meninggalkan ruangan. Seolah ruangan tersebut berhantu sejak kedatangan Abel.
Kini, hanya ada Abel dan Firman di dalam ruangan tersebut. "Maaf karena kamu harus lihat ini," ucap Firman dengan mata yang menenangkan.
Entah kenapa, bagi Abel mata Firman selalu saja bisa menenangkan hatinya. Sorot mata itu membuat Abel sulit untuk tidak menatapnya.
"Gak apa-apa, aku juga pernah segila kalian dan setakut kalian," kekeh Abel. Alih-alih memarahi Firman, Abel malah mengatakan hal tersebut.
"Serius?" tanya Firman pura-pura tidak percaya. "Aku gak nyangka kalau di rumah sakit luar juga kayak begitu."
"Takut itu wajar," kata Abel. "Tapi jangan bodoh karena takut. Apalagi kamu itu tampan dan punya skill cukup bagus menurut aku. Jangan takut salah untuk menangani pasien," ujar Abel menasihati.
Sambil menasihati, Abel mulai merapikan alat-alat medis yang masih berserakan di ruangan tersebut. Ia tidak mau jika ada dokter lain yang tahu mengenai keburukan para dokter magang malam itu.
"Kenapa Dokter Abel baik banget sama kita?" tanya Firman tiba-tiba.
Abel menggeleng. "Aku gak sebaik yang kamu kira dan aku gak seburuk yang kamu duga. Aku masih baru di rumah sakit ini dan aku butuh banyak teman biar aku nyaman kerja di sini." Abel mulai memberikan alasan.
Lambat laun, Firman mulai membantu Abel merapikan alat medis. Dan tanpa sengaja, tangan mereka berdua saling bersentuhan saat mengambil alat infus yang terakhir.
Abel dan Firman saling bertatapan. Lagi-lagi tatapan Firman pada Abel membuat gadis itu sulit berpaling. Untuk membuyarkan pandangannya, Abel memilih untuk memejamkan matanya beberapa saat.
Sialnya, Firman menyalah artikan hal tersebut. Tubuh Firman kini condong ke depan dan wajahnya semakin mendekati wajah Abel. Perlahan, Firman ikut memejamkan matanya, sama seperti Abel.