Chereads / Dokter Hati dan CEO Tampan / Chapter 1 - 6. Genetika

Dokter Hati dan CEO Tampan

🇮🇩Suci_Fitriani_0839
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 14.9k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - 6. Genetika

Sudah beberapa hari terakhir ini, Danish tidak berbicara dengan anggota keluarganya. Ia benar-benar kesal karena keluarganya bertingkah seolah mereka tidak menyetujui hubungannya dengan Abel.

Yang lebih membuatnya kesal lagi, Abel tidak dapat ia hubungi sejak kejadian di restoran malam itu. Padahal, Danish tidak peduli mengenai genetik buruk yang dibawa oleh Abel atau pun sejarah mengenai keluarganya.

Mungkin memang benar jika Abel bisa saja menurunkan gen Alzheimer pada keturunan mereka nanti, tapi ia sendiri juga tidak tahu akan memberikan penyakit genetik apa pada keturunannya. Danish berpikir bisa saja penyakit yang ia turunkan pada anaknya nanti lebih parah dari penyakit yang Abel turunkan.

"Kak... aku boleh masuk ya?" Suara ketukan pintu disusul dengan suara Lusi yang meminta izin untuk masuk mengejutkan Danish. Pria itu tengah mengurus surat rumah yang baru saja ia beli kemarin.

Belum saja Danish mempersilakan Lusi masuk ke dalam kamar, gadis itu sudah membuka pintu dan berlari ke arahnya. "Kak, antar aku ke kampus yuk?" ajaknya.

Danish menoleh beberapa saat ke arah Lusi. "Lo kan punya mobil, lo juga punya sopir. Ngapain minta antar gue?" tanya Danish tidak terima.

Lusi melipat kedua tangannya di dada dan mengerucutkan bibirnya ke depan. Tanpa sengaja, Lusi melihat sebuah kertas bertuliskan "Akta Jual Beli Rumah" di hadapan Danish.

"KAKAK BELI RUMAH?!!" teriak Lusi tidak percaya dan mengambil kertas tersebut secara paksa.

"Gak usah teriak Lusi, jangan sampai Mama sama Papa tau. Kakak beli rumah ini buat Abel, dan Kakak beli rumah ini pakai uang tabungan Kakak sendiri," jelas Danish secara singkat.

Lusi kembali mengembalikan kertas yang dipegangnya kepada Danish dan berjalan memutar menuju pintu.

"DON'T TELL ANYTHING!!" teriak Danish pada adiknya.

Mendengar teriakan tersebut, Lusi menghentikan langkahnya dan kembali berbalik menghadap sang kakak. "Kalau Kakak emang sayang sama Kak Abel, aku bakal dukung Kakak asalkan Kak Abel gak bikin Kakak sakit hati," ucapnya.

***

Abel tampil dengan tatanan rambut yang sedikit berbeda hari ini. Ia sengaja mengikat rambutnya dan menyisakan beberapa helai rambut di depannya.

"Dokter Abel," panggil Adinda yang berjalan ke arahnya dengan diikuti oleh seorang pria yang asing di mata Abel.

"Selamat pagi Dokter Adinda," sapa balik Abel dengan senyuman. Tanpa Abel sadari, saat dirinya tersenyum, pria yang ada di belakang Adinda ikut tersenyum kepadanya.

"Dokter Abel, ini ada Dokter Firman. Dia dokter magang baru di sini dan hari ini akan jadi asisten Dokter Abel," jelas Adinda. Begitu namanya diperkenalkan kepada Abel, Firman mengulurkan tangannya dan dengan cepat Abel pun menjabat tangan Firman.

Abel memberikan setumpuk berkas pasien kepada Firman dan meminta pria itu untuk mengikutinya. "Karena pasien kita hari ini anak kecil, tolong dipelajari dengan baik dan jangan terlalu serius saat berbicara dengan pasien," pinta Abel.

"Wow, 23 kali ke rumah sakit dan semua dokter mendiagnosis dia karena asma. Kenapa orang tuanya tetap bawa dia ke rumah sakit ini?" tanya Firman bingung setelah membaca sekilas berkas di tangannya.

Abel mengangkat kedua bahunya bersamaan. "Itu yang akan kita cari tahu sekarang" jawabnya singkat.

Firman dan juga Abel mempercepat langkahnya menuju kamar pasien nomor 2199.

Begitu masuk ke ruangan tersebut, Abel melihat hasil pindaian tubuh pasien di monitor yang tidak jauh di sisi pasien. Begitu melihat hasil pemindaian tersebut, Abel segera berlari menuju pasien dan memeriksanya.

"Hai Charlie, Dokter Abel mau coba periksa kamu dan dengar suara nafas kamu ya," izin Abel pada pasien itu.

Mengetahui bahwa putranya akan diperiksa, Alisa yang merupakan ibu dari Charlie memundurkan sedikit tubuhnya.

Abel memasang stetoskop dan mulai memeriksa Charlie dengan menutup mata. Kali ini ia mendengarkan suara nafas pasien dengan cukup lama sehingga membuat setiap orang yang ada di dalam ruangan menjadi tegang.

"Dokter Abel..." panggil Firman hati-hati.

Abel membuka matanya dan menoleh ke arah Firman. "Jangan ganggu saya Dokter Firman, saya tengah mencoba untuk berkonsentrasi," larang Abel dengan tersenyum tipis.

Beberapa saat kemudian, Abel meminta Charlie untuk duduk dan kembali memeriksa nafas Charlie dengan menyimpan stetoskopnya di punggung Charlie.

Setelah selesai, Abel kembali mengambil data pasien dan membaca riwayat penyakit yang pernah di deritanya.

"Dokter Firman, tolong pesankan saya ruangan operasi sekarang," pinta Abel.

Firman mengernyit. "Kenapa harus di operasi? Bukankah penyakit asma itu sudah biasa bagi anak-anak?" tanya Firman.

"Kejang yang dialami oleh Charlie itu karena serangan jantung, dia bukan menderita asma pada paru-parunya, melainkan asma jantung. Lihat hasil rongten ini," ucap Abel sambil menunjuk monitor. "Jantung pasien terlihat membengkak. Cepat kamu pesan ruangan operasi, sekarang!" suruhnya kembali.

***

Danish turun dari mobilnya dengan mengantongi sebuah bandana kain berwarna coklat di sakunya. Ia berencana untuk memberikan kejutan pada Abel saat ini juga.

Dengan penuh wibawa, ia berjalan memasuki rumah sakit dan berjalan menuju meja registrasi. "Bisa bertemu dengan Dokter Abel?" tanya Danish dengan sopan.

"Maaf, Pak. Dokter Abel saat ini tengah berada di ruangan operasi. Apa Bapak sudah mempunyai janji dengan beliau?" tanya suster tersebut.

Danish menggeleng pelan. Ia memijat pelipisya dan mencoba untuk berpikir.

"Danish Sinatria ya? Pacar Abel?" tanya Nadya yang kebetulan melewati tempat tersebut.

Danish kembali tersenyum. Ternyata ada orang yang mengenalnya di ruamh sakit tersebut selain Mabellia.

"Abel tadi lagi di ruangan operasi, ayo aku antar ke ruang pengamatan. Oh iya, sebelumnya aku Nadya, teman Abel di sini," ucap Nadya yang mulai berjalan dengan dibuntuti oleh Danish.

Sesampainya di ruang pengamatan, Danish melihat Abel yang tengah menjahit jantung seorang anak laki-laki di atas meja operasi.

Melihat hal itu, Danish hanya terdiam di tempatnya dan memerhatikan dengan saksama. Abel sendiri tidak sadar jika ada Danish yang memerhatikannya dari ruang pengamatan.

Tidak lama kemudian, Abel merasa tenggorokannya sangat kering. "Dokter Firman, bisa tolong buka masker saya dan ambilkan saya minum?" pinta Abel mengangkat tangannya dari tubuh pasien.

Firman mengangguk dan segera mengambilkan minum terlebih dahulu untuk Abel. Saat memegangi minuman tersebut dan meminumkannya ke Abel, Firman tidak sengaja menumpahkannya ke baju Abel.

"Ya ampun, maaf, Dok. Saya minta maaf," ucap Firman panik. Ia pun segera mengambil lap bersih dan mengelap dagu Abel yang sedikit basah.

Melihat kejadian tersebut, Danish membelalakkan matanya terkejut. Tanpa ia sadari, tangannya membentuk kepalan secara perlahan.

Karena merasa tidak nyaman dengan pemandangan tersebut, Danish berjalan keluar dari ruang pengamatan menuju ruangan pribadi Abel dan memilih untuk menunggu Abel di sana.

Sekitar 3 jam kemudian, Abel akhirnya selesai mengoperasi Charles. Ia berencana untuk mengistirahatkan tubuhnya sejenak sebelum melakukan operasi dadakan yang lainnya.

"Danish?" panggil Abel begitu masuk ke dalam ruangannya. Ia benar-benar terkejut begitu melihat Danish yang tengah duduk sambil memainkan laptop di meja kerjanya.

"Hai," sapa balik Danish dengan senyuman."Aku punya hadiah buat kamu, bisa ikut aku sekarang?" pinta Danish kemudian.

Abel menggelengkan kepalanya dengan mata yang berkaca-kaca. Sementara itu Danish tersenyum picik. "Apa karena Dokter laki-laki yang ada di ruangan operasi kamu tadi?" tanya Danish kembali.

"Bukan itu, Nish." Kali ini Abel mengeluarkan suaranya. "Kamu gak ingat sama kejadian malam itu?" tanya Abel tidak percaya.

Danish berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju Abel. Pria itu mengangkat kedua tangannya dan meletakkannya di pipi Abel. "Aku serius sayang dan cinta sama kamu, Abel. Aku gak peduli sama segala kekurangan kamu," ujar Danish sungguh-sungguh.

"Bagi aku, kekurangan kamu adalah kekuatan bagi diri kamu sendiri."

Abel tetap menggeleng-gelengkan kepalanya dengan air mata yang terus berurai. "Aku gak mau punya anak yang menderita Alzheimer, Nish..."

"I don't care!" ucap Danish dengan tegas. "Aku gak peduli sama genetika kamu, aku aja gak peduli sama gen aku. Untuk apa aku peduli sama gen calon istri aku?" tanya Danish yang membuat Abel tersenyum.

Tanpa ragu, Abel memegang kedua tangan Danish dan memindahkannya pada pinggul Abel. Lalu dengan cepat ia memeluk Danish dengan erat. "Aku mau menikah sama kamu," bisik Abel tanpa ragu lagi.