Chereads / Penderitaan Cinta Jessy / Chapter 15 - 15. BAB 14 : Kebahagiaan Angga

Chapter 15 - 15. BAB 14 : Kebahagiaan Angga

"Ibu dapat uang sebanyak ini dari mana Ibu?" tanya Angga menatap Ibunya meminta penjelasan lebih jauh.

"Tidak penting Ibu dapat uang ini darimana. Yang penting Ibu dapatkan uang ini cukup untuk bayar uang kuliahmu selama satu semester dan uang jajanmu selama 6 bulan kedepan kan, Nak? Kamu tenang saja, Ibu dapatkan uang ini halal kok, Nak." sahut Ibu Angga tersenyum bahagia menyerahkan uang yang berwadahkan amplop coklat itu, namun entah kenapa Angga tak kunjung mengambilnya juga. Apalagi yang dipikirkan oleh Angga?

"Tetapi Angga ingin Ibu jujur, Ibu dapat uang ini darimana Ibu? Tolong beritahu Angga,  jangan buat Angga merasa semakin bersalah Ibu." ucap Angga dengan perasaan campur aduk. Bagaimana tidak? Kenapa Ibunya tidak mau jujur padanya? Ia hanya ingin kejujuran  Ibunya, hanya itu.

"Baiklah, Ibu akan beritahu kamu. Tapi janji ya Nak, kamu jangan sampai kecewa dengan keputusan kami. Karena menurut kami, ini adalah keputuan terbaik yang bisa kami lakukan untukmu." sahut Ibu Angga menghembuskan nafasnya dengan sedikit kasar, ia tidak siap mengatakannya. Ia takut jika itu akan mengecewakan hati Angga. Tapi setidaknya ia dan suaminya sudah berusaha yang terbaik untuk Angga kan? Apakah pantas Angga merasa kecewa lagi?

"Iya Ibu, Angga janji Angga tidak akan kecewa. Angga sudah cukup bahagia dengan kejutan ini, terima kasih Ibu karena sudah mengusahakan yang terbaik untuk Angga." ucap Angga merasa terharu karena apa yang diberikan Ibunya ini sangatlah berharga untuk masa depannya. Ia tak menyangka bahwa ia bisa kuliah lagi di masa-masa sulitnya begini. Ternyata Tuhan masih sayang padanya, ternyata Tuhan masih adil terhadap hidupnya.

"Sama-sama Nak. Jadi Ibu dapatkan uang ini dari pegadaian Nak." ucap Ibu Angga mengatakan yang sejujurnya pada putranya. Ia tidak ingin menutup-nutupi apapun dari putranya, biarlah Angga tahu yang sebenarnya. Itu juga bisa membuat Angga lebih giat belajarnya sehingga tidak berpacaran dulu. Ia tidak ingin putranya memiliki kekasih disaat masih menempuh perkuliahannya, karena tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Bisa saja Angga jadi tidak fokus jika memiliki kekasih.

"Pegadaian?" beo Angga dengan wajah mematung. Yang ada di pikirannya sekarang hanya satu yaitu apa yang Ibunya gadaikan sehingga bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Seketika rasa bersalah itu kembali muncul menghinggapi hatinya. Ia merasa menjadi anak pembawa sial bagi keluarganya, karena telah menyusahkan Ayah dan Ibunya sehingga Ibunya harus datang ke pegadaian karenanya. Apa yang harus Angga lakukan sekarang? Angga merasa sangat sedih, namun ia sudah berjanji bahwa ia tidak akan kecewa dengan keputusan Ayah dan Ibunya.

"Iya pegadaian, Nak. Ibu gadaikan perhiasan peninggalan nenekmu, emas itu akan lebih berguna jika di gadaikan untuk biaya kuliahmu, daripada tidak digunakan sama sekali hanya disimpan di lemari. Ibu juga tidak memakainya Nak. Almarhum nenekmu juga tidak akan marah jika emas pemberiannya di gadaikan sementara. Nanti Ibu dan Ayah juga akan berusaha untuk menebusnya kembali." ucap Ibu Angga tersenyum tipis menatap putranya yang sepertinya merasa bersalah. Sebenarnya ini bukan salah Angga, Angga tidak meminta, tapi dirinyalah dan suaminya yang bersikeras supaya Angga lanjut kuliahnya. Jadi ia berusaha sekeras mungkin untuk bisa membayarkan kuliah Angga, walaupun dengan awal meminjam. Tapi itu tdak buruk juga kan?

"Apa?" kejut Angga tidak menduganya sekaligus tidak percaya. Bagaimana bisa Ibu dan Ayahnya memutuskan keputusan gila ini? Menggadaikan emas dari almarhum neneknya? Bukankah itu adalah benda yang paling berharga di keluarganya? Ia sudah tidak paham lagi dengan jalan pikiran Ayah dan Ibunya yang ia pikir sangat konyol. Rupanya dunia sudah tidak waras, apakah besok matahari akan terbit di barat?

"Iya Nak. Tidak apa-apa Nak. Ini semua Ayah dan Ibu lakukan demi kebaikanmu. Ibu ikhlas jika harus menggadaikan emas peninggalan nenekmu. Asalkan kamu harus berjanji pada Ibu bahwa kamu bisa menjaga dirimu baik-baik. Kamu kuliah yang rajin dan tekun, jangan pacaran dulu hingga mendapatkan gelar sarjana ya? Bisakah kamu berjanji itu pada Ibu? Jangan kecewakan Ibu, Nak." ucap Ibu Angga meminta putranya untuk berjanji agar tidak memiliki pacar dulu. Ia hanya berniat baik, ingin putranya lancar berkuliah tanpa gangguan.

"Iya Ibu, Angga janji akan kuliah dengan sungguh-sungguh dan tidak akan memiliki pacar hingga Angga lulus nanti. Angga akan fokus kuliah saja, tanpa memikirkan hal lain lagi yang bisa membuat kuliah Angga terganggu. Terima kasih Ibu sudah mengorbankan emas nenek untuk digadaikan untuk keperluan kuliah Angga." ucap Angga dengan sorot mata berkaca-kaca memancarkan kesedihan yang mendalam. Dalam hatinya ia merasa hancur, dan berulang kali ia menyebutkan kata maaf pada almarhum neneknya. Semoga saja almarhum neneknya mengampuninya.

"Iya Nak, terima kasih karena sudah mau berjanji dan menuruti keinginan Ibu. Ingat Nak, kamu kuliah dengan segala keterbatasan dan bahkan dengan penuh kekurangan terutama dari segi ekonomi. Ibu hanya ingin kamu fokus dan bersungguh-sungguh. Ingat kamu harus sampai sarjana. Seperti yang dikatakan Ayah, masalah biaya biar menjadi tanggung jawab kami ya. Kamu tidak usah pikirkan sesuatu yang seharusnya tak kamu pikirkan." ucap Ibu Angga lagi menasehati putranya. Ia hanya ingin putranya fokus menghadapi perkuliahannya tanpa memikirkan biaya apapun lagi. Karena ia dan suaminya yang akan berusaha melunasi semua biaya kuliah dan uang jajan Angga.

"Iya Ibu, Angga mengerti bagaimana maksud Ibu. Terima kasih banyak Ibu sudah memberikan Angga nasehat yang sangat bermakna. Terima kasih karena sudah menjadi Ibu terhebat di dunia untuk Angga, begitupun juga Ayah, Ayah juga adalah Ayah terhebat yang Angga kenal. Dan Angga bersyukur karena menjadi anak kalian. Angga pikir ini adalah anugerah terbesar di hidup Angga karena memiliki kalian dan menjadi bagian dari kalian. Panjang umur dan sehat-sehat terus ya Ayah dan Ibu, Angga sayang Ayah dan Ibu." ucap Angga meneteskan setitik air matanya. Ia meraa bahagia, benar-benar bahagia. Ia tak pernah merasa seberharga ini sebelumnya. Hanya orang tuanya lah yang memperlakukannya dengan sangat istimewa.

"Ayah dan Ibu juga sangat bahkan lebih sayang sama Angga. Kamu putra kami satu-satunya Nak. Bagaimana Ayah dan Ibu tidak sayang? Bagaimana Ibu tega melihat putra Ibu bersedih? Bagaimana ibu tega melihat putra Ibu melarat? Lebih baik Ibu dan Ayah yang berpuasa tidak makan daripada kamu yang harus berkorban tidak makan. Walaupun kita dari keluarga yang tidak punya tapi Ayah dan Ibu akan selalu menjadi orang tua yang bertanggung jawab untukmu Nak. Jadi berhentilah khawatir Nak." ucap Ibu Angga lagi menyambung perkataannya yang tadi, yang belum selesai. Sebenarnya banyak yang ingin ia bicarakan pada Angga, namun jika dibicarakan bisa sampai besok tidak akan habis topiknya. Ia tahu Angga harus berangkat segera agar tidak terlambat kan?