Chereads / Penderitaan Cinta Jessy / Chapter 14 - 14. BAB 13 : Amplop Coklat

Chapter 14 - 14. BAB 13 : Amplop Coklat

"Iya Ayah, Angga akan lakukan yang terbaik yang Angga bisa." jawab Angga dengan setengah yakin mengatakan itu. Bagaimana ia bisa yakin? Uang kuliah semester ini saja ia belum bayar. Angga tidak yakin bisa lanjut ke semester berikutnya. Angga takut jika ia benar-benar harus putus sekolah, namun setengah raganya telah mengikhlaskan itu. Ia merasa serba salah sekarang. Semuanya begitu sulit di pikirannya. Ia pikir hidupnya seperti sedang berada di ujung tanduk. Baginya kuliah adalah hidup dan matinya.

"Terima kasih Nak. Ya sudah sekarang kita sarapan ya? Sebentar lagi kan kamu akan berangkat ke Gianyar kan?" tanya Ayah Angga pada putranya dengan senyum manisnya. Apakah sekhawatir itu putranya hingga memasang raut wajah semasam itu? Tidak kah putranya tahu bahwa semuanya akan baik-baik saja? Tentunya ia akan mengusahakan yang terbaik untuk putra semata wayangnya, walaupun mereka dari kalangan tidak mampu, tapi ia sebagai kepala keluarga akan berusaha semaksimal mungkin untuk membahagiakan putranya.

"Iya Ayah." ucap Angga singkat dengan seribu rasa berkecamuk di dadanya. Ia bingung denga sikap santai Ayahnya, semacam tak ada beban sama sekali. Apakah Ayahnya berpura-pura lupa? Atau Ayahnya sengaja lupa tentang biaya kuliah yang ia sebut-sebut itu kemarin? Ia takut untuk mengingatkannya, namun jika tidak diingatkan, bagaimana jika Ayahnya benar-benar lupa?

Setelah keluarnya jawaban dari mulut Angga, seketika keluarga kecil itu mengambil posisi duduk masing-masing di meja makan. Semuanya makan dalam keheningan, tidak ada yang berbicara sama sekali, kecuali suara sendok yang berdenting melawan kerasnya sebuah piring.

***

Selesai acara sarapan bersama keluarganya, Angga mengemas pakaiannya untuk bersiap-siap berangkat ke Gianyar lagi. Angga sudah tidak berharap banyak lagi, ia pasrah dengan kuliahnya. Mungkin ini memang jalannya ia harus berhenti kuliah, sungguh ia benar-benar pasrah sekarang. Bagaimana tidak pasrah? Ayahnya sama sekali tidak memberikan uang sepeser pun, padahal ia akan berangkat sebentar lagi. Mungkin Ayahnya juga sudah menyerah untuk menyekolahkannya, karena mungkin saja Ayahnya tidak mendapatkan pinjaman kan? Buktinya Ayahnya tidak ada berbicara apapun.

Setelah selesai bersiap-siap dan semua barang sudah masuk ke dalam tasnya, ia menghampiri Ayah dan Ibunya yang sedang bersantai di teras rumahnya. Angga sudah siap dengan baju kemeja dan celana jeans yang melekat di tubuhnya dan menggendong tas di punggungnya, ia sudah benar-benar siap berangkat. Percayalah! Angga sangat tampan, padahal ia menggunakan pakaian polos, tidak mewah tidak mahal. Pakaian yang digunakan Angga sederhana, sangat sederhana. Bahkan terlalu murah untuk seukuran anak kuliahan.

"Ayah... Ibu... Angga berangkat ke kota orang dulu ya. Doain Angga supaya bisa cepat selesaikan urusan Angga, setelah itu Angga akan langsung pulang. Kan tidak ada gunanya Angga di Gianyar lagi, Angga sudah akan berhenti kuliah kan?" tanya Angga menatap Ayahnya dengan wajah mirisnya. Ia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya di depan Ayahnya. Ia ingin jujur saja sekarang, jujur bahwa kenyataannya ia bersedih. Bersedih jika ia memang harus berhenti kuliah. Ia sudah ikhlas, sangat ikhlas, namun kesedihan itu tetap ada di lubuk hati terdalamnya.

"Kenapa kamu berpikir begitu Nak? Ayah sudah katakan, jika kamu tidak akan berhenti kuliah. Ayah akan usahakan biaya kuliahmu, Ayah akan meminjam dengan kenalan Ayah, tak apa berhutang dahulu, yang penting Ayah bisa cicil hutangnya, yang penting kamu punya gelar sarjana." ucap Ayah Angga masih berusaha tersenyum. Entah kenapa ia merasa bahwa hatinya terasa sakit karena putranya tidak mempercayainya. Apakah sebegitu ragunya Angga terhadapnya? Kenapa? Hanya pertanyaan itu yang terputar terus di kepalanya seperti kaset rusak.

"Bagaimana caranya yah? Angga sudah mau berangkat sekarang, tapi buktinya uangnya tidak ada kan yah sekarang? Angga sudah paling terakhir bayarnya yah, teman-teman Angga sudah semuanya pada bayar, hanya Angga yang belum. Jika Angga belum bayar sampai besok, Angga tidak bisa ikut ujian yah. Kalau Angga tidak ikut ujian itu artinya Angga tidak bisa lulus mata kuliah. Angga bingung yah, Angga ingin marah sama diri Angga sendiri." ucap Angga tidak tahan lagi dan akhirnya mengeluarkan semua unek-uneknya pada Ayah dan Ibunya. Sungguh ia sangat sedih, dan semunya begitu berat ia rasakan untuk ia sekedar jalani saja. Mengapa Tuhan tidak adil terhadap hidupnya? Kenapa teman-temannya selalu bahagia tanpa kesusahan ekonomi, sedangkan dirinya selalu merasa kesusahan?

"Tenang dulu Nak. Jangan emosi ya, Ayah sudah berusaha. Kamu tunggu dulu sebentar disini, biar Ibumu ambilkan sesuatu." ucap Ayah Angga tersenyum penuh arti. Ia yakin setelah ini putranya bisa tersenyum lagi, ia sangat yakin itu. Semoga saja keputusannya dengan istrinya tadi malam adalah keputusan yang paling tepat. Semoga saja Angga tidak kecewa dengan keputusannya.

"Ambilkan apa yah?" tanya Angga bingung. Entah kenapa firasatnya mendadak sedikit membaik, walaupun ia tidak tahu Ibunya akan mngambilkan apa, tapi entah kenapa perasaannya menjadi sedikit lebih tenang, ia sendiri tidak tahu apa penyebabnya.

"Tunggu saja Nak." ucap Ayah Angga menenangkan putranya yang terlihat tidak sabar. Namun ia melihat bahwa wajah putranya jauh lebih cerah dari sebelumnya. Apakah putranya sudah tidak lagi sedih seperti tadi? Semoga saja putranya sudah bisa meredakan kesedihannya, karena setelah ini ia yakin bahwa putranya akan tersenyum lagi.

Setelah Ayah Angga mengatakan itu, Ibu Angga langsung berlalu dari hadapan keduanya menuju kamarnya dan mengambil sesuatu. Tak membutuhkan waktu lama, Ibu Angga kembali menampakkan wajahnya dengan membawa sebuah amplop coklat yang cukup tebal.

Ibu Angga menyodorkan amplop coklat itu kearah Angga dan berkata, "Nak... Amplop ini berisi sejumlah uang yang bisa kamu gunakan untuk biaya kuliahmu satu semester ini yang belum dibayarkan, ditambah ini juga cukup untuk uang jajanmu selama 6 bulan kedepan. Dipergunakan baik-baik ya Nak, dipergunakan dengan bijak ya Nak. Jangan berfoya-foya, ingat kita ini hanya orang miskin yang serba kekurangan. Maka dari itu, Ibu minta kamu kuliah yang benar, jangan dulu memiliki pacar sebelum kamu wisuda, bisa kabulkan permintaan Ibu, Nak?" ucap Ibu Angga berpesan pada anak semata wayangnya. Hanya itu yang bisa ia sampaikan, ia sudah kehabisan kata-kata. Sebenarnya ia sedih jika harus melarang putranya ini itu, tapi ini demi kebaikan putranya juga kan? Ia ingin Angga bisa lulus kuliah dengan nilai yang memuaskan.

Angga mematung di tempatnya. Ia tak bisa berkata-kata lagi. Ia tak menyangka bahwa Ayah dan Ibunya benar-benar berusaha sekeras ini demi ia tidak berhenti kuliah. Perasaan sedih, bahagia, sekaligus terharu bercampur menjadi satu di benaknya. Ia hanya meneteskan air matanya sebagai respon perasaannya saat ini. Ia tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini, namun sorot mata berkaca-kaca tak cukup mendefinisikan perasaannya. Ayah dan Ibunya ternyata sangat peduli dan menyayanginya, seketika itu juga ia merasa menjadi anak yang paling buruk sedunia karena sudah menyusahkan kedua orang tuanya. Apakah keserakahannya ini dapat dimaafkan oleh Yang Maha Kuasa?

Angga tersadar dan belum mengambil amplop coklat itu, ia hanya menatap amplop coklat itu dengan perasaan campur aduk dan terlukis tanda tanya besar di kepalanya. Darimana kedua orang tuanya mendapatkan uang sebanyak itu? Angga memutuskan untuk bertanya,

"Ibu dapat uang sebanyak ini dari mana Ibu?" tanya Angga menatap Ibunya meminta penjelasan lebih jauh.