Chereads / Triangle Of Love / Chapter 18 - 17. Pemeriksaan

Chapter 18 - 17. Pemeriksaan

Seorang cowok masuk ke dalam ruangan pribadi seorang dokter laki-laki. Dokter itu duduk di kursi dengan beberapa helaian kertas putih yang terdapat di atas meja. Ia baru selesai melakukan pemeriksaan untuk kesekian kali.

Cowok itu mendekat pada dokter dengan helaan napas yang lelah. Ia sering kali ke sana. Merasa, ruang pribadi dokter itu sudah seperti rumahnya sendiri.

"Gimana, Dok?" tanya cowok itu dengan penuh harap. Ia duduk di kursi, di depan dokter itu dengan tatapan sayu dan lelah.

Dokter laki-laki yang bernama Hendri menatap cowok itu dengan rasa iba. Ia sudah sering menangani dan berharap semakin banyak perkembangan. Namun ia merasa kecewa. Penyakit yang ada di tubuh cowok itu hanya sedikit perkembangan. Padahal ia sudah berharap penuh jika cowok itu bisa sembuh.

"Sejauh ini, cuma sedikit perkembangan," jawab dokter Hendri dengan perasaan sedih. Ia tatap cowok itu dengan sendu.

"Saya sudah bilang, jangan terlalu banyak gerak dan banyak aktivitas. Obat yang saya kasih sudah kamu minum dan meminum dengan teratur?" tanya dokter Hendri untuk kesekian kali.

"Sudah, Dok. Tapi kenapa saya selalu merasa nyeri di bagian dada? Saya juga merasa sesak napas di waktu tertentu. Bahkan, rasa nyeri itu menjalar ke lengan kiri dan lengan kanan saya," keluh cowok itu dengan helaan napas yang berat.

"Penderita jantung koroner memang kerap merasakan itu. Jantung koroner merupakan penyakit yang terjadi akibat penyempitan pembuluh darah di jantung. Maka dari itu, saya batasi gerakan kamu," jawab dokter Hendri dengan nada yang sedih.

"Kapan saya bisa sembuh ya, Dok? Saya sangat bosan seperti ini. Jujur, saya benar-benar menderita. Di saat anak seusia saya bisa melakukan apapun, tapi saya harus dibatasi," jawab cowok itu dengan kepala menunduk. Hanya rasa putus asa yang ia rasa saat ini.

"Jangan bilang begitu. Kita berdoa saja semoga Tuhan memberimu kesembuhan. Tetap semangat, jangan patah semangat. Kamu harus berjuang demi kesembuhan kamu." Dokter Hendri memberi semangat.

"Saya merasa putus asa. Tahun-tahun ini saya lewati dengan berat. Saya harus merahasiakan ini kepada kembaran saya, teman dan kedua orang tua. Saya ingin sembuh dan rasanya itu sangat mustahil." Punggung cowok itu bergetar. Ia tutup wajah dengan kedua telapak tangan.

"Saya sudah berapa kali mengatakan ini. Kasih tau saja kedua orang tua kamu, mereka harus tau tentang ini. Kenapa selalu kamu sembunyikan?" tanya dokter Hendri dengan helaan napas pelan.

"Enggak bisa, Dok. Saya enggak mau buat orang tua saya merasa sedih. Saya pasti bisa melalui semua ini. Tolong jangan bilang-bilang siapa tentang penyakit saya. Saya mohon, Dok. Saya tidak ingin menambah beban pikiran Ayah sama Bunda. Saya tidak mau mereka cemas," jawab cowok itu seraya menyeka air matanya dengan kasar. Ia tangkupkan kedua tangan, memohon.

"Baiklah, tapi kamu harus janji sama saya. Jangan terlalu banyak gerak dan aktivitas. Batasi setiap gerak kamu setiap hari. Saya tau ini berat buat seusia kamu, karena kamu anak yang aktif. Tapi kamu harus lakukan semua yang saya anjurkan, demi kesehatan kamu." Dokter Hendri menatap cowok itu dengan hangat. Ia mau pasiennya itu segera sembuh.

"Akan saya usahakan, Dok. Saya akan lakukan semua yang Dokter perintahkan. Soal obat, saat ini obat yang Dokter berikan sudah habis," jawab cowok itu dengan mengangkat kepala.

"Tunggu sebentar, akan saya ambilkan lagi. Kamu minum obatnya dengan teratur. Jangan telat. Kamu harus jaga kesehatan, paham?" nasehat dokter Hendri seraya bangkit berdiri.

"Iya, Dok. Saya akan jaga kesehatan dan tidak akan banyak gerak," jawab cowok itu dengan mata melirik Dokter Hendri yang tengah memasukkan obat ke dalam botol. Obat yang sudah menemaninya daru tahun belakangan ini.

"Minum sesuai anjuran. Jangan sekali banyak kamu minum seperti dulu. Kamu bisa overdosis," ujar Dokter Hendri lagi yang diangguki oleh cowok itu dengan cepat.

"Makasih, Dok. Saya permisi dulu." Cowok itu menerima obat yang sudah dimasukan dalam kantong kecil. Ia simpan dalam saku jaket hitam yang tengah ia kenakan.

"Iya, hati-hati kamu."

***

Alfa dan Alfi saat ini tengah duduk di taman belakang rumahnya. Keduanya duduk di ayunan seraya memakan camilan yang berasa cokelat. Alfa duduk di samping Alfi sambil baca buku, besok akan ada tanya jawab dalam kelas. Sesekali Alfa mencomot kue cokelat yang ada dalam pangkuan Alfi.

"Fa, besok kita tanding loh, lo masih inget, kan?" tanya Alfi, menoleh pada Alfa yang tengah baca buku.

Alfa meletakkan buku di atas paha. Ia baru ingat saat Alfi mengatakan itu. Bisa-bisanya ia lupa dengan hal penting seperti itu. SMA Cendrawasih akan mengadakan pertandingan basket di sekolah, dan waktunya besok.

"Gue baru inget, Fi. Bisa-bisanya gue lupa," akuh Alfa dan mencomot kue cokelat yang ada di pangkuan Alfi itu.

"Yee, lo gimana, sih. Harusnya lo ingat itu. Menurut lo, kita bakal menang enggak?" tanya Alfi dan ia letakkan botol ke pangkuan Alfa. Ia ambil minuman kaleng yang ada di sisi kanan.

"Kalo tim kita kompak, mungkin bisa saja menang. Selama ini kita sudah latihan, Fi. Menang atau tidaknya, kita sudah usaha," jawab Alfa dengan tenang.

Alfi mengangguk membenarkan perkataan Alfa. Mereka jauh-jauh hari sudah latihan. Alfi buka tutup botol air dingin dan ia teguk hingga setengah. Kerongkongannya terasa kering sedari tadi belum minum.

"Apa tim kita bakal hadir semua besok? Gue takutnya tim kita enggak lengkap. Kita juga udah atur taktik main dan formasi," ujar Alfi, merasa sedikit cemas dengan hal itu.

"Semoga tim kita hadir semua. Kan mereka juga udah dikasih tau sama guru. Lo jangan cemas. Kita pasti akan menang. Berusaha besok." Alfa menepuk pelan pundak Alfi dan kembali ia letakkan camilan ke pangkuan Alfi.

"Lo bener. Kita harus kompak besok. Kita harus bisa buat sekolah jadi bangga dan ternama," jawab Alfi yang langsung diangguki oleh Alfa seketika.

Alfa melanjutkan membaca buku. Ia hafal materi yang ada di sana. Sebagai anka yang sudah terdidik dari kecil, ia tidak merasa jenuh jika harus seharian dengan buku. Alfa mau jadi orang sukses dan pintar, seperti yang kedua orang tua ia inginkan. Semoga ia bisa membanggakan Zalfa dan Kevin bersama dengan saudara kembarnya itu, Alfi Kevza Franklin.

"Gue cari di kamar, ternyata lo berdua di sini."

Alfa dan Alfi seketika menoleh ke belakang. Senyum mereka jadi melebar ketika mendapati kehadiran Deon di sana. Tumben anak itu main ke tempatnya. Apakah Deon merasa bosan?

"Sini, Yon. Gue lagi baca buku," ujar Alfa seraya melambaikan tangan pada Deon. Cowok itu mengangguk dan berlari pelan menuju Alfa dan Alfi yang ada dalam ayunan besi itu.

"Mau lo?" tawar Alfi seraya menyodorkan camilan cokelat yang ia makan ke tangan Deon. Cowok itu duduk di bangku ayunan, di depannya.

"Thanks. Gue manggil-manggil lo di depan, taunya di sini. Tante Zalfa bilang lo di kamar," ujar Deon.

"Mungkin Bunda gak tau kita di sini. Kita ke sini aja, Bunda lagi masak di dapur," jawab Alfi yang diangguki cepat oleh Alfa.

Deon manggut-manggut pelan. Ia teringat dengan pertandingan di sekolah besok. Ia harus dukung tim Alfa dengan semangat.

"Tim lo berdua besok tanding, kan? Gue bakal semangatin lo pada dari kursi penonton," ujar Deon dengan cengiran.

"Harus lo semangatin. Sekalian pake rombe-rombe ala cewek gitu," kekeh Alfi dan meninju pelan lengan Deon yang ikut tergelak.

"Yakali. Dikita banci pake rok gue," jawab Deon buat Alfa dan Alfi tergelak dengan ucapannya.

"Lo tau main basket?" tanya Alfa seraya menghentikan tawa. Ia letakkan buku ke tepi tempat duduk.

"Tau. Gue sebelum pindah sekolah, gue ketua basket di sekolah lama," jawab Deon. Ia tepuk pelan dada dengan rasa bangga.

"Keren juga lo. Kalo anggota tim enggak cukup besok, lo bisa enggak bantu kita?" tanya Alfi. Ia masih resah dengan pemikiran 'jika ada di antara mereka tidak datang.'

"Boleh. Tapi harus minta persetujuan dari guru dulu. Gue bakal bantu lo pada kalo emang butuh bantuan dari gue."

See you next part.