Alfa melangkah keluar dari kantin dengan raut wajah yang terlihat murung. Ia tidak mengerti apa yang tengah terjadi pada dirinya. Entah kenapa, ia jadi merasa sedih, senang dan semuanya begitu campur aduk.
Alfa tidak kembali ke kelas melainkan menuju taman sekolah. Ia ingin menenangkan hati dan perasaan yang terasa tidak karuan. Ia tidak boleh sedih, karena Alfi pantas untuk bahagia dekat dengan Amora.
Setiba di taman, Alfa mendudukkan diri dan menengadah memandang langit biru. Cerah cuaca tidak secerah hatinya hari ini. Hatinya begitu murung dengan tidak ia tahu apa penyebabnya.
"Lo kenapa?" tanya Deon setelah ia sampai di depan Alfa. Ia mendudukkan diri dan melirik wajah Alfa dari samping. Cowok itu terlihat aneh hari ini.
"Enggak," jawab Alfa sedikit terkejut dengan kedatangan Deon yang terasa tiba-tiba. Mungkin karena ia terlalu fokus pada diri sendiri sampai lupa dengan kedatangan Deon.
"Kenapa? Kaget?" tanya Deon sambil terkekeh pelan. Ia melihat bola mata Alfa yang sedikit melebar saat melihat kehadirannya.
"Kaget, gue kata setan." Alfa mengembuskan napas pelan. Ia kembali mendongak dan bersandar pada kursi panjang, memandang langit biru.
Deon cengengesan. "Itu aja kaget. Jangan gampang kagetan lo jadi orang. Ntar kena serangan jantung," cibir Deon dan menyandarkan kepala pada pundak Alfa.
Alfa tersentak kaget. Ia dorong kepala Deon dari pundaknya dan ia jauhkan badan dari cowok itu. "Ngapain lo? Sinting nih anak," jawab Alfa dan bergidik ngeri.
Deon terbahak melihat reaksi Alfa. Ia hanya maksud menjahili cowok itu. Melihat dari wajah Alfa yang murung, ia jadi tahu, cowok itu pasti tengah ada masalah. Tapi Alfa terlihat tidak mau menceritakan masalah yang ada kepada dirinya.
"Biasa aja ekspresi lo. Kek ditempelin ulat aja lo. Kepala gue gak gigit, Fa." Deon terkekeh pelan.
"Jauh-jauh dari gue. Sekali lagi lo gitu, gue gantung lo," jawab Alfa dengan malas. Ia kembali menatap ke atas dan memejamkan mata.
Deon bersandar pada kursi panjang. Ia ikut mendongak menatap langit biru. Benar dugaannya. Alfa tidak mau cerita dengannya. Its okay. Mungkin lain kali cowok itu akan memberitahunya. Ia tidak ingin memaksa Alfa, secara ia baru berteman dengan cowok itu.
"Ngapain lo ngikutin gue?" tanya Alfa dengan mata yang masih terpejam. Angin yang berembus menerpa wajahnya dan menerbangkan helaian rambut hingga menutupi bagian keningnya.
"Lah? Gue harus ngikutin siapa lagi kalo bukan ngikutin lo? Gak mungkin gue gabung sama mereka yang ada di kelas sedangkan lo ada di sini. Kalo penghuni seko—"
"Gue tau isi otak lo." Alfa mendengkus kelas. Sejak pertama masuk sekolah sampai sekarang, Deon selalu bawa-bawa penghuni sekolah.
Deon cengengesan. "Habis mau gimana lagi. Hantu terkadang berkeliling siang-siang gini. Ntar lo dipacarin," bisik Deon dengan badan yang bergidik, ia takut.
Alfa berdecak. Ia kembali mendongak dan memejamkan mata. Bicara dengan Deon memang tidak masuk akal. Mana ada hantu penghuni sekolah memacari murid sekolah. Ada-ada saja. Tidak pernah ia dengar berita seperti itu. Deon saja yang mengarang cerita, dan bodohnya, cowok itu jadi takut sendiri.
Drrtt ... drrttt ...
Alfa menegakkan kepala saat merasakan getaran ponsel yang ada dalam saku seragam. Ia raba ponsel yang ada dalam saku itu. Ia keluarkan dengan segera.
Alfa menatap layar ponsel yang menyala. Ternyata panggilan suara dari Kevin Franklin, ayahnya dari seberang sana.
"Siapa?" tanya Deon dan ia menoleh menatap Alfa yang sudah menjawab panggilan dari seseorang yang tidak ia tahu.
"Bokap gue," jawab Alfa pelan seraya ia dekatkan ponsel pada telinga. Ia bersandar pada kursi.
Deon mengangguk pelan dan mengerti. Ia kembali mendongak menatap langit dan pohon yang ada di atas kepala. Hembusan angin buat ia jadi merasa segar. Ia pejamkan mata.
"Hallo, Yah," ujar Alfa dengan suara yang sangat sopan.
"Lagi di mana kamu, Fa?" tanya Kevin dari seberang sana. Ia baru saja membereskan berkas-berkas yang penting. Sudah ia tandatangani, begitu dengan kontrak yang penting.
"Alfa lagi di taman, bareng Deon. Anggota baru di perusahaan kita," jawab Alfa.
"Alfi mana? Ayah mau bicara sama Alfi. Kenapa Ayah tidak bisa hubungi nomor Alfi? Dia tidak bawa ponsel ke sekolah?" tanya Kevin Franklin lagi. Ia merasa sedikit cemas saat ponsel Alfi tidak bisa dihubungi. Takutnya, kejadian dulu terjadi lagi.
"Alfi lagi di kantin, Yah. Dia lagi makan," jawab Alfa seadanya. Alfi memang lagi makan di kantin dan bersama dengan seorang gadis, Amora Nita.
"Baiklah. Ayah takut saja jika terjadi sesuatu pada Alfi. Oh iya, Fa. Nanti pulang sekolah akan ada pemotretan lagi, kamu harus siap-siap dengan anggota kamu."
"Jangan lupa kabarin Aska, Alan sama Kenzi, ya. Kali ini The Boys dapat endorse dari brand ternama yang bernama Puma. Pemotretan akan mulai pukul empat sore, seperti biasa. Soal kontrak, sudah ayah tandatangani. Semua keperluan sudah disiapkan."
Kevin memberitahu jika sepulang sekolah nanti akan ada pemotretan lagi dari brand ternama yang bernama Puma. Meski jauh, ia selalu memantau aktivitas kedua putra dan anggota yang lain. Kevin menyiapkan keperluan saat pemotretan dengan menyuruh seseorang. Ia tidak ingin putranya dan yang lain merasa kelelahan dengan pekerjaan itu, karena mereka masih sekolah. Bagi Kevin, pekerjaan yang dikerjakan Alfa, Alfi dan yang lain tidak lah mudah. Tidak seperti yang orang-orang lihat. Resikonya juga ada. Seperti kelelahan, penat, dan sebagainya. Maka dari itu, Kevin selalu turun tangan sampai kedua putranya benar-benar bisa menangani perusahaan sendiri dan bekerjasama dengan perusahaan lain.
"Iya, Ayah. Nanti Alfa kasih tau yang lain," jawab Alfa dengan anggukan kepala.
"Baiklah, hanya itu yang mau Ayah sampaikan. Kalian semua jaga diri baik-baik, jaga Bunda juga," pesan Kevin pada putranya itu.
"Iya, Ayah. Alfa sama Alfi bakal jaga jaga Bunda dengan baik. Ayah jaga kesehatan. Cepat pulang, Ayah." Alfa mengulas senyum tipis.
"Iya, Fa. Ayah tutup dulu."
"Iya, Ayah," jawab Alfa dan menyimpan ponsel kembali ke dalam saku seragam setelah sambungan dimatikan.
"Ada pemotretan lagi?" tanya Deon dan menegakkan badan. Ia menghadap Alfa dengan posisi badan menyamping.
Alfa menoleh pada Deon dan mengangguk cepat. "Iya, dari brand Puma. Kita datang ke kantor jam empat sore. Habis ini, kita kasih tau yang lain," ujar Alfa yang diangguki oleh Deon.
"Kalo boleh tau, gimana kesan pertama lo ada di kantor?" tanya Alfa dan menatap Deon, menunggu jawaban.
"Oke-oke aja. Malahan seru. Gue bisa dapat temen, pengalaman dan segala macem. Awalnya gue agak kaku, serasa gimana gitu saat di potret. Tapi setelah liat lo pada, gue mulai tau dan semoga bisa kebiasa," jawab Deon dengan cengiran.
"Yang Alfi bilang emang bener. Gue enggak capek-capek kerja lagi di tempat kerja yang kemaren. Jag toko sampe malam. Makasih buat lo, keluarga lo dan yang lain. Gue ngerasa dapat keluarga baru."
Deon mengulas senyum tulus. Mengingat kejadian kemaren, buat ia jadi senang dan mendapat perlakuan yang hangat. Bunda si kembar menyambutnya dengan sangat ramah, begitu juga dengan Arvin. Ia tidak tahu harus berterimakasih dengan apa. Ia baru pertama kali kerja dan sudah diberi kartu rekening buat ia berbelanja dan membeli keperluan sehari-hari. Bayaran yang ia terima sangat besar. Deon tidak pernah menyangka akan diberi bayaran sebesar itu.
"Bagus kalo lo ngerasa nyaman dan seneng. Tapi kalo ada yang buat lo ngerasa berat dan enggak nyaman, kasih tau gue." Alfa menepuk pelan pundak Deon.
"Iya, Fa, sekali lagi terimakasih."
"Iya, Yon. Semoga lo selalu betah di kantor. Aska, Alan sama Kenzi orangnya juga terbuka. Kalo lo ada masalah, lo bisa kapan aja cerita sama mereka, jangan sungkan," jawab Alfa.
"Iya. Gue setuju sama lo. Mereka emang baik. Pemikiran mereka sangat dewasa. Gue bangga bisa kenal lo, Alfi dan mereka." Deon mengulas senyum dan bersandar pada kursi panjang.
"Gue juga. Ayo ke kelas. Bentar lagi bel bunyi." Alfa bangkit berdiri dan merapikan seragam.
"Yok lah."
See you next part.