Sesampai di sekolah, Alfa menghentikan laju mobilnya dan memarkirkan di tempat parkir. Setelahnya ia turun dan diikuti oleh Deon yang ada di sampingnya.
Alfa dan Deon melangkah di koridor sekolah. Keduanya menuju kelas Alfi yang tak jauh dari sana. Alfa merasa sudah sangat lama meninggalkan Alfi. Ia merasa cemas. Takut terjadi apa-apa pada kembarannya itu.
Sesampai di kelas, Alfa dan Deon tidak menemukan Alfi. Alfa berjalan masuk ke dalam dan mengedarkan pandangan, memang benar, Alfi tidak ada di kelas. Di sana hanya ada sekumpulan murid perempuan.
Alfa melirik kelompok murid perempuan yang duduk di kursi, ia ingin bertanya pada mereka yang di sana. Barangkali tahu di mana Alfi berada sekarang.
"OMG, Alfa ganteng banget."
"Diem deh, Alfa mau nuju ke sini."
"Mereka emang mirip ya, cuma wajah Alfa dikit datar, gak mau senyum."
"Andai Alfa jadi pawang gue, haha."
"Ngimpi lo."
Mendengar bisik-bisik itu, Alfa jadi mengurungkan niat untuk bertanya. Alfa berbalik badan segera dan keluar dari kelas.
"Enggak ada, kan?" tanya Deon. Ia juga memastikan dari pintu, tidak ada Alfi di kelas.
"Alfi di mana, ya?" Alfa jadi cemas dan khawatir seketika. Ia jarang meninggalkan cowok itu seperti ini. Alfa takut terjadi apa-apa pada kembarannya.
Deon mengetuk dahi berpikir. "Apa Alfi pergi sama temen barunya tadi? Sama si Arvin?"
"Mungkin Alfi beneran sama Arvin, Fa. Lo tenang aja, Alfi pasti baik-baik aja kok. Kalo terjadi sesuatu seperti pertengkaran, pasti murid jadi pada heboh," tambah Deon lagi.
Alfa mengangguk samar. Ia jadi ingat dengan teman Alfi yang baru. Ia merasa sedikit lega. Ia rangkul pundak Deon dan ia bawa melangkah menjauh dari kelas.
"Ke rooftop, kuy!"
***
Alfi dan Arvin saat ini berada di kantin. Alfi duduk di meja tengah kantin itu. Ia mengedarkan pandangan, banyak yang melihat ke arahnya. Kantin semakin ramai membuat Alfi merasa takut. Telapak tangan yang semula hangat jadi dingin dan berkeringat seketika. Ia benar-benar takut berada di keramaian.
"Alfa sama Deon mana, ya? Masa iya belum balik ke sekolah," gumam Alfi dengan pelan. Ia masih menunggu kedatangan dua orang itu, agar rasa takut tidak menguasai dirinya.
Arvin sedari tadi menatap Alfi yang semakin terlihat gelisah. Nasi goreng yang ia pesan untuk cowok itu tidak kunjung di makan. Mata Alfi terus tertuju pada pintu kantin.
"Kenapa, Fi? Makan dulu. Ntar keburu masuk," ujar Arvin dengan sebelah tangan mendorong pelan piring yang berisi nasi goreng ke tangan Alfi.
"Gue nunggu Alfa sama Alfi." Alfi meraih sendok. Ia aduk-aduk nasi goreng tanpa selera.
"Makan dulu. Nanti kita cari mereka." Arvin meletakkan air putih ke tengah meja. Ia kembali melahap nasi goreng.
"Oke." Alfi mengangguk pelan. Dengan helaan napas pelan, ia sendok nasi goreng dan ia lahap. Ia harus melawan rasa takut yang menyerang.
Arvin menatap Alfi yang mulai sibuk dengan nasi goreng yang ada di depan. Ia hentikan mengunyah, ada sesuatu yang ingin ia tanyakan.
"Fi, gue enggak tau apa yang bikin lo suka diem dan lebih suka menyendiri. Tapi dari mata lo, gue bisa liat kalo lo bukan orang yang begitu. Gue bisa liat kalo lo mau berteman dan bergabung sama murid di kelas, dan gue juga yakin kalo lo bukan tipe orang yang pendiem," ujar Arvin mengutarakan unek-unek yang ada dalam kepala.
Mendengar perkataan Arvin membuat Alfi menghentikan aktivitas makannya. Ia letakkan sendok dan meneguk air sedikit.
"Kenapa berenti? Lanjut aja makan lo. Gue cuma mau nanya itu aja, karena gue orangnya kepoan. Kalo lo gak mau cerita enggak apa-apa, lain kali aja." Arvin lanjut makan, merasa tidak enak dengan pembahasan yang ia tanyakan barusan.
Alfi mengangguk pelan. Kembali ia lahap nasi goreng dengan cepat. Ia ingin segera beranjak dari kantin dan mencari keberadaan Alfa dan Deon.
"Gue mau ingetin satu hal sama lo. Kalo lo lagi takut sama apapun itu, coba lo lawan rasa takut lo itu. Kalo ada yang natap lo gak suka, tatap balik. Jangan tunjukin pada mereka kalo lo lemah, kalo lo penakut," ujar Arvin lagi seraya meneguk air yang ada dalam gelas.
"Gue akan bantu lo buat hadapin rasa takut itu. Gue akan slalu ada buat lo. Gue gak akan biarin siapa pun orang yang bakal nyakitin lo. Gue janji," ujar Arvin dengan tulus.
Mendengar perkataan Arvin membuat Alfi sedikit tersentuh. Baru kali ini ia temui orang sebaik Arvin. Ia mengangguk pelan.
"Thanks. Ternyata lo orang baik. Gue akan berusaha buat lawan rasa takut yang nyerang tubuh gue tiap saat berada di keramaian." Alfi mengulas senyum tipis.
"Gue mau sembuh dari trauma. Lo bener, gue sebenarnya bukan cowok yang pendiem atau suka menyendiri. Gue begini karena gue ngalamin kejadian yang buat gue jadi takut berteman. Sebenarnya, gue mau gabung sama mereka, tapi buat sekarang gue belum berani aja," jawab Alfi lagi.
"Coba pelan-pelan, Fi. Gak semua orang itu jahat. Kalo mereka jahat dan lakuin yang enggak-enggak sama lo, tenang ada gue! Lo gak perlu takut. Tunjukin pada mereka semua kalo lo bukan Alfi yang dulu. Alfi yang sekarang Alfi yang kuat dan berani!" Arvin memberi semangat.
"Oke. Berkat lo, gue jadi sedikit percaya diri. Rasa takut gue sedikit berkurang."
***
Alfa dan Deon mendudukkan diri di kursi kayu yang berada di rooftop. Alfa memejamkan mata menikmati angin yang bertiup. Sangat sejuk.
"Lo ngajak gue ke sini, lo malah tidur." Deon mendengkus. Ia bangkit berdiri dan berjalan menuju pagar rooftop, ia edarkan pandangan ke bawah.
"Jangan nekat, Yon. Lo masih mudah." Alfa membuka mata dan menegakkan badan. Ia amati Deon yang berdiri di sana.
"Ini jalan terbaik buat gue. Lo jahat, Fa! Lo bilang bakal bertanggungjawab, tapi sekarang apa? Lo malah mutusin gue! Gue bakal pergi jauh dari hidup lo bersama anak kita," ujar Deon mendramatisi keadaan.
"Jijik!" Alfa melempar botol kosong yang ada di dekat kursinya ke punggung Deon.
Deon terbahak melihat wajah kesal Alfa. Ia berjalan dan duduk di kursi sebelah Alfa. "Gimana? Akting gue bagus, kan?"
"Bagus, dan lo boleh gabung sama kita." Alfa mengacungkan jempol ke atas.
"Gue? Jadi model kayak lo?" Deon menahan tawa. Ia sangat tidak berbakat di bidang itu.
"Dicoba dulu. Kita juga lagi nyari anggota. Lo bisa belajar sama gue atau sama yang lain. Lo pikir-pikir dulu. Kalo mau, gue dengan senang hati ngajak lo gabung," jawab Alfa.
Deon mengangguk pelan. "Iya, gue pikir dulu. Btw, kapan lo cerita tentang Alfi sama gue?"
"Lo mau tau sekarang?"
"Ya sekarang, kalo tahun depan kelamaan, ogeb!" Deon menepak lengan Alfa dengan kencang.
"Sakit, anjir!" Alfa mendorong tangan Deon menjauh dari dekat badan.
"Makanya cerita! Lo malah main-main, gue udah serius," jawab Deon dengan kesal. Ia sudah benar-benar penasaran dengan apa yang sudah menimpa Alfi.
"Jangan serius. Wajah lo gak ngizinin. Ternyata Alfi bener, wajah lo kek monyet." Alfa terbahak dan menepak balik lengan Deon.
Deon terkejut karena perlakuan Alfa yang mulai terlihat kehabisan obat. Ia pikir Alfa adalah pribadi yang mempunyai sikap serius setiap saat, namun ia salah. Cowok itu malahan terlihat sama dengan Alfi, kembaran Alfa yang ia anggap menyebalkan.
"Mending gue ke kantin." Deon beranjak dari sana. Menghabiskan waktu saja berada di samping Alfa yang tengah tergelak tidak jelas.
"Mau ke mana lo? Sini gue cerita!" Alfa menghentikan tawa. Ia lambaikan tangan pada Deon yang akan beranjak dari rooftop.
Deon menghentikan langkah. Dengan tatapan sinis ia kembali duduk di sebelah Alfa. "Awas gak cerita lo, gue lempar ke bawah!" ancamnya.
Alfa menghela napas pelan. Sangat sesak rasanya mengingat kejadian kelam di masa lalu. Kejadian itu adalah kejadian yang paling buruk di alami oleh kembarannya.
"Waktu itu, Alfi masih kelas satu SMP, dia punya banyak temen. Gue gak tau jelas apa yang udah mereka lakuin sama kembaran gue. Waktu itu gue di rumah sama Bunda, sedangkan bokap gue ada di luar negeri, ngurus kerjaan. Di waktu itu, ada orang yang datang, gue lupa namanya. Orang itu ngabarin kalau Alfi hanyut di sungai."
"Mendengar berita itu, gue dan Bunda bener-bener kaget. Kita tau kalo Alfi enggak bisa berenang dari kecil. Dia payah dalam hal itu. Bunda langsung nangis histeris. Dan kita langsung nyusul ke sana. Gue bawa mobil dengan tangan yang bener-bener gemetar," ujar Alfa mengingat kejadian waktu tahun lalu.
"Sampai di sana, kita keluar dari mobil. Bunda gak mau mendekat. Terpaksa gue mendekat ke kerumunan banyak orang. Gue di beri jalan waktu Alfi udah dikeluarin dari sungai. Dan lo tau gimana keadaan wajah Alfi? Babak belur dengan lebam dan luka di seluruh wajah." Tangan Alfa jadi terkepal mengingat itu.
Deon menyimak dengan baik semua yang diceritakan oleh Alfa. Ia tidak memotong satu ucapan cowok itu.
"Gue dengan cepat bawa Alfi ke mobil. Bunda tambah nangis histeris dengan tubuh gemetar. Bunda langsung kabarin bokap gue dan family jauh. Gue bawa Alfi ke rumah sakit dengan cepat. Kita takut tuh anak enggak selamat."
"Sampai di rumah sakit, Alfi langsung ditanganin oleh Dokter dan dibawa masuk ke ruang UGD. Semua datang penuh tangis. Bokap gue telat datang karena harus pesen tiket dulu." Alfi menghela napas sesak.
"Udah sebulan Alfi koma, tuh anak enggak ada pergerakan. Wajah sama bibir udah beneran pucat. Gue bener-bener takut Alfi gak bangun untuk selamanya. Tapi takdir berkata lain. Dua hari setelah itu, dia bangun. Tapi..." Alfa menghentikan ucapannya. Rasanya ia jadi ingin menangis.
"Tapi Alfi mengalami trauma. Dia ketakutan dengan tubuh menggigil, keringat dingin terus ngalir di badan dia. Sejak itu, dia takut keluar rumah dan dia lanjutin sekolah dengan cara homeschooling. Dia benar-benar enggak bisa di keramaian, hingga sampai sekarang," ujar Alfa dengan senyum kecut.
"Kembaran gue kehilangan selera buat gabung sama temen sebaya. Seperti yang lo liat, dia berubah jadi cowok yang memiliki sikap kekanakan dan apapun yang terjadi, dia selalu ngadu sama gue." Alfa menampilkan senyum tipis.
Deon jadi mengerti kenapa Alfi memiliki sikap sepeti itu. Ia jadi merasa sedih dengan kejadian yang di alami oleh Alfi. Pantas saja, Alfa sangat menjaga cowok itu.
"Gue udah janji sama diri gue sendiri, juga sama nenek. Gue akan selalu jaga dan lindungin Alfi sampai dia sembuh. Gue gak mau kejadian dulu terjadi lagi." Alfa membuang pandangan ke arah lain.
"Sampai sekarang gue enggak tau siapa pelaku yang udah bikin Alfi jadi kayak gini. Seandainya gue tau, udah gue habisin dari awal! Gak akan pernah gue biarin mereka napas!" Alfa mengepalkan tangan. Sampai sekarang ia masih dendam.
"Sorry, waktu itu gue hampir mukul kembaran lo. Gue jadi ngerasa bersalah," ujar Deon dengan rasa bersalah.
"Karena itu gue mukul lo. Gue gak suka ada orang yang bentak dia. Gue gak mau dia kembali ngurung diri di kamar kayak dulu. Buat sampai ke titik ini susah, Yon. Alfi juga banyak menjalani pengobatan di rumah." Alfa menatap Deon sekilas.
"Gue bakal bantu lo buat jaga dia. Tenang aja, Alfi bakal sembuh," ujar Deon dan menepuk pelan pundak Alfa.
Alfa mengangguk pelan. Ia mendongak dan bersandar pada kursi. Ia tatap langit biru dengan ribuan harapan yang ia tanamkan dalam hati. Semua harapan hanya untuk saudara kembarnya.
"Keinginan gue cuma satu. Ingin melihat kembaran gue hidup tenang dan tersenyum. Bebas dari rasa takut dan trauma."
See you next part🌻