Hari ini adalah hari kedua Alfi berada di kelas itu. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda murid yang akan pindah dan menggantikan dirinya untuk pindah ke kelas sebelah, kelas Alfa dan Deon.
Alfi menoleh ke samping, tetap saja merasa risih dengan tatapan semua orang termasuk tatapan murid perempuan yang ada di sana. Banyak yang ingin mendekati Alfi, namun Alfi enggan memberi respon.
Alfi dengan jelas bisa mendengar bisik-bisik dan perkataan murid perempuan yang ada di barisan bangku di sebelahnya. Semua ia dengar tentang dirinya. Murid perempuan banyak menyebut jika ia bak Dewa Yunani bersama kembarannya yang ada di kelas sebelah. Mereka juga mengatakan jika dirinya terlahir di keluarga yang ternama dan beruntung terlahir di keluarga itu. Dan satu lagi, mereka juga mengatakan jika Alfi dan Alfa sudah sukses di usia muda, sudah jadi model sekaligus penyanyi.
"Huh, membosankan!" gumam Alfa dengan sebelah tangan menopang dagu. Suasana sangat membosankan baginya apalagi tidak ada Alfa di kelas itu.
"Kenapa? Lo sakit?" tanya Arvin yang ada di samping Alfi. Ia jadi bingung dengan tingkah Alfi seperti ini. Bagaimana tidak, sebanyak itu murid ada di kelas, namun Alfi malah memilih untuk menyendiri.
"Nggak," jawab Alfi singkat. Ia rebahkan kepala di atas meja dengan sebelah tangan menutupi wajah.
"Kenapa lo nggak gabung sama mereka? Keliatan mereka mau temenan sama lo." tanya Arvin sambil menunjuk anak cowok yang berkumpul di pojok kelas.
"Gue gak suka berteman." Alfi menegakkan badan dan menghela napas pelan.
"Kenapa?" tanya Arvin lagi. Ia belum puas dengan jawaban yang diberikan oleh Alfi.
"Gue takut. Pasti di antara mereka ada yang jahat," jawab Alfi dan cepat menunduk. Jujur ia sangat malu mengatakan hal itu, tapi apa boleh buat, itulah kenyataannya.
Jawaban yang diberikan oleh Alfi barusan buat Arvin tercengang. Bagaimana bisa Alfi menyimpulkan hal secepat itu? Padahal mereka belum pernah berteman semenjak masuk ke kelas ini.
Arvin manggut-manggut pelan. Sebenarnya banyak yang ingin ia tanyakan pada Alfi. Namun melihat situasi yang tidak mengizinkan, ia urungkan niat untuk bertanya lebih banyak lagi.
"Kalo gue mau jadi temen lo, lo mau gak?" tanya Arvin dengan seulas senyum.
Alfi menoleh dan menatap Arvin. Jujur, ia merasa ragu dan takut untuk berteman lagi. Alfi menimbang-nimbang permintaan Arvin untuk berteman dengan dirinya.
"Gue gak jahat kok, gak kayak mereka yang lo maksud," ujar Arvin lagi.
Melihat Alfi diam, Arvin mencoba meyakinkan lagi. Ia mau tahu banyak apa yang membuat Alfi takut berteman dan bergaul sesama murid, Alfi juga suka menyendiri. Arvin ingin memecahkan teka-teki itu. Mana mungkin seorang anak pengusaha ternama bisa takut berteman? Apalagi Alfi merupakan seorang model dan penyanyi.
"Bo-boleh," jawab Alfi terbata. Semenjak kejadian itu, baru kali ini ia memperbolehkan seseorang berteman dengannya. Alfi berharap semoga Arvin orang yang baik.
Mendengar jawaban dari Alfi membuat Arvin tersenyum senang. Ia rangkul pundak Alfi. "Thanks, gue bakal jadi temen lo yang baik dan gak akan pernah jahatin lo.
"Iya." Alfi mengangguk dan memaksakan senyum tipis meski wajahnya terlihat datar.
Arvin melepaskan rangkulan di pundak Alfi. Saat ia menoleh ke depan, dua orang cowok di sana. Satu lagi mirip dengan Alfi, cowok di sampingnya.
"Fi, itu keknya kembaran lo, deh." Arvin menunjuk ke arah pintu dengan mata dan kepala ia tujukan ke sana.
Alfi yang mendengar itu jadi menoleh. Ia putar badan dan benar. Alfa sudah berada di sana. Alfa menghela napas lega, akhirnya ia bisa terbebas dari rasa bosan.
"Lo tunggu bentar, gue mau nyamperin Alfa dulu." Alfi berdiri dan berjalan cepat ke arah pintu, di mana Alfa dan Deon sudah menunggu di sana.
Alfi berdiri di depan Alfa yang menatapnya dengan tatapan seperti biasa. Memperhatikan jika ada sesuatu yang buat ia merasa terganggu atau tidak nyaman.
"Kenapa, Fa? Lo mau ngomong sesuatu?" tanya Alfi setelah ia mendapati tatapan Alfa seperti ingin mengutarakan sesuatu.
"Gue sama Deon mau balik bentar. Ada yang ketinggalan di rumah. Lo baik-baik di kelas, kalo ada yang jahatin lo langsung kabarin gue," ujar Alfa dengan tatapan hangat.
"Iya, Fa. Tapi..."
"Tapi apa? Ada yang jahatin lo di kelas ini?" tanya Alfa sedikit khawatir. Alfa takut jika ada yang ingin mencelakai kembarannya seperti waktu itu.
Alfi menggeleng dengan cengiran terpampang di wajah. "Gue udah punya temen di kelas."
Mendengar hal itu membuat Alfa bisa bernapas lega. Dengan begitu, berarti kembarannya itu mulai berangsur-angsur pulih, mau berteman dengan orang sekitar.
"Boleh gue ngomong sama temen lo?" tanya Alfa dengan mata menatap seorang cowok yang duduk bersama Alfi tadi.
"Boleh," jawab Alfi dengan semangat. Ia memutar badan dan melambaikan tangan ke arah Arvin yang juga tengah menatap ke arah mereka.
Arvin merasa terpanggil langsung bangkit berdiri. Ia melangkah cepat dan berdiri di ambang pintu, di sebelah Alfi berdiri.
"Lo temen baru Alfi? Ada motif apa lo temenan sama dia?" tanya Alfa dengan mata menatap lekat Arvin yang ada di depannya.
"Maksud lo?"
"Lo pasti tau apa maksud gue!" ujar Alfa dengan dingin.
"Gue gak ada motif apapun deketin sodara lo. Gue cuma mau berteman, itu aja. Lo takut kembaran lo gue jahatin? Gak bakal, lo tenang aja. Gue tulus mau berteman sama Alfi dan gak ada motif dibalik apapun itu," ujar Arvin dengan mata sesekali melirik ke arah Alfi.
"Gue janji dan bakal gue buktiin sama lo, gue bakal ikut jagain dia." Arvin menepuk pelan pundak Alfa.
"Gue pegang janji lo. Sampe lo buat yang enggak-enggak sama dia, mampus lo di tangan gue!" ujar Alfa penuh penekanan.
"Nah bener! Lo jangan macam-macam sama Alfi, bisa mampus lo di tangan gue," ujar Deon mengulangi ucapan Alfa barusan.
"Lo ngapain ngulang perkataan Alfa? Emang ogeb lo, Yon." Alfi geleng kepala.
"Biar situasi lebih mencekam," jawab Deon asal.
"Fi, gue balik ya." Sebelum beranjak, Alfa sempatkan menepuk pelan pundak Alfi, memberi semangat untuk cowok itu agar cepat sembuh dari trauma itu.
Setelah diangguki oleh Alfi, Alfa dan Deon segera pergi dari sana. Ada yang ingin Alfa ambil di rumah. Sesuatu yang penting baginya.
"Sorry. Gara-gara gue, Alfa jadi ngebentak lo." Alfi menatap Arvin yang tengah melihat kepergian Alfa dan Deon yang sudah ada di depan.
"No problem. Santai aja."
***
Deon mengedarkan pandangan setelah sampai di kediaman Alfa. Tak hentinya ia berdecak kagum karena kediaman Alfa sangat keren menurutnya. Berbeda dengan rumah yang ia tempati. Jauh dari kata mewah. Bukannya ia norak dan kampungan, namun rumah Alfa benar-benar keren. Patut ia acungi dengan dua jempol.
Alfa masuk ke dalam. Langkah kakinya jadi terhenti ketika ia tidak merasakan Deon mengikutinya. Ia berbalik badan. Ia dapati Deon yang tengah mematung di ambang pintu masuk.
"Mau sampe kapan lo berdiri di sana?" tanya Alfa dan kembali lanjut melangkah.
"Sampe kiamat keknya." Deon cengengesan dan berlari pelan masuk ke dalam. Ia ikuti Alfa yang ada di depan, yang mulai menaiki anak tangga.
"Wow amazing! Gue serasa berada dalam istana. Rumah lo gede banget, sumpah." Deon terus mengekori Alfa yang terkekeh mendengar ucapannya barusan.
"Lo boleh datang ke istana yang lo maksud ini." Alfa terus berjalan tanpa menghentikan langkah.
Deon manggut-manggut. "Fa, boleh nggak?" tanyanya dengan cengiran lebar.
"Boleh apa?" tanya Alfa dan menghentikan langkah. Ia putar badan menghadap belakang, ke arah Deon.
"Gue jual rumah lo." Deon terbahak melihat mata Alfa berubah jadi melotot karena mendengar perkataannya.
"Yon? Lo pernah liat sepatu terbang, nggak?" tanya Alfa. Kembali ia melangkah menuju kamar yang sudah terlihat.
"Gue tau apa maksud lo. Sampe lo lempar sepatu ke arah gue, gue lempar balik ke atap rumah lo." Deon jaga jarak, jangan sampai cowok itu beneran nekat melemparnya sepatu.
"Serah lo."
***
Alfa membuka pintu kamar kemudian masuk ke dalam diikuti oleh Deon yang ada di belakangnya. Alfa berjalan menuju lemari yang ada di dekat pojok ruangan.
Alfa mengacak lemari dan setelahnya menuju ke arah meja belajar. Tidak ia temukan sesuatu yang ia cari. Kembali ia cari ke dalam lemari lagi.
"Lo cari apa, Fa?" tanya Deon yang duduk di atas kasur. Ia lihat Alfa tengah sibuk sedari tadi.
"Gue cari sesuatu," jawab Alfa dan terus mengacak isi lemari.
Deon berdecak pelan. "Nama sesuatu itu apa? Biar gue ban—"
"Nggak! Lo duduk aja di sana." Alfa memotong cepat ucapan Deon yang ingin membantunya. Ia tidak ingin seorang pun mengetahui rahasianya.
Deon hanya diam. Ia terus mengamati Alfa yang mengacak lemari, bolak balik ke laci meja belajar dan rak buku. Hampir beberapa menit ia duduk dan berdiam diri di sana.
"Kok gak ada? Apa Bunda yang ngambil? Enggak mungkin. Gue pasti salah taroh," gumam Alfa dengan pelan. Matanya melirik setiap tempat yang ada di kamar.
Satu tempat yang belum Alfa periksa. Ia melangkah ke sana. Tangan Alfa meraih pelan bantal yang ada di kasur. Perlahan, Alfa melirik Deon yang duduk di kasur, merasa cowok itu lengah, dengan cepat ia raih benda itu dan memasukkan ke dalam kantong celana yang ia kenakan.
"Udah ketemu?" tanya Deon dan menoleh ke arah Alfa.
"Belum." Alfa menggeleng pelan dan berbohong. Tidak ia katakan bertemu pada Deon, jika ia katakan tentu cowok itu akan penasaran dan mau lihat.
"Gimana ya? Lain kali aja gue cari." Alfa merapikan bantal di atas kasur. Setelahnya ia rapikan lemari yang sudah acakan serta meja belajar. Setelahnya, ia melangkah mendekat ke Deon.
Deon mengangguk samar. Ia bangkit berdiri dan berjalan keluar dari kamar, diikuti oleh Deon.
"Gue yakin, pasti ada yang lo rahasiain dari gue, Fa."
See you next part.