Hari ini adalah hari senin, dimana si kembar akan mulai memasuki kelas baru dan memulai pelajaran pertama di kelas itu. Sebelum masuk dan memulai pelajaran, SMA Cendrawasih melakukan ritual seperti biasa, yaitu upacara bendera.
Alfa dan Alfi mengikuti upacara begitu juga dengan Deon yang berdiri di samping Alfa. Tiga orang itu mengikuti upacara dengan baik, tanpa bicara ataupun menoleh kanan kiri. Begitu juga dengan murid lain yang bersekolah di SMA Cendrawasih.
Setelah beberapa menit, upacara bendera telah selesai dilaksanakan. Semua orang mulai membubarkan diri, begitu juga dengan si kembar dan Deon. Ketiganya melangkah mendekat pada batu hiasan yang ada di taman dekat lapangan.
Alfi duduk di sebelah Deon. Ia dan cowok itu tidak adu mulut lagi. Ia sudah menerima Deon sebagai seorang teman, dan cowok itu juga orang yang baik.
"Fa, serius nih gue pisah kelas sama lo? Masa iya gue harus nunggu ada murid lain yang bisa gantiin gue supaya bisa pindah ke kelas lo?" Alfi menoleh ke samping, menatap Alfa meminta jawaban.
"Mau gimana lagi, Fi? Itu udah keputusan kepsek dari awal. Cuma beberapa hari aja, semoga ada murid yang mau gantiin lo pindah ke kelas gue," jawab Alfa dengan pelan, berusaha buat cowok itu mengerti.
Ya, Alfa sudah berusaha membujuk kepala sekolah agar Alfi diberi izin untuk bisa satu kelas dengannya, namun peraturannya tetap itu. Sudah aturan sekolah sejak lama. Jika ingin pindah kelas harus ada yang menggantikan, dalam rumus bisa dibilang ceng.
Deon ikut menoleh pada Alfi yang hanya diam mendengar jawaban Alfa. Ia waktu itu juga ikut membantu, tapi kepala sekolah tidak mau memberi izin.
"Gak lama kok, Fi. Sabar aja dulu." Deon berusaha menenangkan Alfi yang tidak ingin pisah kelas dengan Alfa, sang kembaran.
"Lo enak, Yon bisa sekelas sama Alfa. Lah gue?" Alfi tersenyum kecut. Jujur, dirinya belum terbiasa jauh dari kembarannya itu, dari kecil selalu bersama. Di tambah lagi setelah mengalami kejadian buruk itu.
"Lo tenang aja, gue bakal bantuin lo buat cari murid buat gantiin lo. Biar kita bertiga bisa sekelas." Deon merangkul pelan pundak Alfi dan setelahnya ia lepas.
Alfa menghela napas lega ketika melihat Deon juga membantu dirinya menenangkan Alfi. Ia menoleh pada koridor sekolah, beberapa guru mulai berjalan dan akan memasuki kelas.
"Kita ke kelas, guru mau masuk." Alfa segera bangkit berdiri seraya merapikan seragam yang sedikit kusut karena ia bawa duduk.
Deon dan Alfi juga bangkit berdiri. Alfi menghela napas pelan dan menenangkan diri. Ia harus bisa melawan rasa takut. Ia katakan pada diri sendiri jika semuanya akan baik-baik saja.
Alfa merangkul pundak Alfi dan membawa cowok itu berjalan menuju kelas. Deon ada di sebelahnya lagi, ikut melangkah menuju kelas.
"Lo jangan takut. Gak bakal ada yang buat jahat sama lo lagi. Selama ada gue, lo akan baik-baik aja. Lawan terus rasa takut lo," ujar Alfa dengan mata tertuju pada jalan yang ada di depan.
Deon menyamakan langkah dengan Alfa dan Alfi. Ia dengar perkataan Alfa yang terus menenangkan kembarannya itu. Sampai saat ini Deon belum tahu apa yang membuat Alfi jadi setakut itu dengan keramaian.
Sesampai di depan kelas, Alfa melepaskan rangkulan pada tubuh Alfi. Ia dan Deon berdiri di sana memastikan Alfi masuk dengan aman.
"Semangat!" ujar Alfa dengan mengepalkan tangan dan ia angkat ke atas. Ia terus lihat Alfi yang mulai melangkah masuk ke dalam dengan langkah ragu-ragu.
Setelah Alfi masuk ke dalam, tinggal Alfa dan Deon yang berada diluar kelas. Keduanya berbalik badan, berjalan menuju kelas mereka yang ada di sebelah kelas Alfi, namun terkesan jauh karena pembatas ruangan lain.
"Kuy, masuk," ajak Deon setelah ia dan Alfa sampai di ambang pintu. Ia bawa Alfa masuk ke dalam menuju bangku yang sudah mereka siapkan waktu itu.
Saat Deon mendudukkan diri di bangku, ia jadi teringat dengan ucapan Alfa pada Alfi. Ia benar-benar ingin tahu apa penyebab Alfi jadi takut dengan keramaian.
"Fa, gue mau nanya? Boleh kan?" tanya Deon dengan hati-hati, takutnya Alfa malah tersinggung dengan pertanyaaan yang ia lontarkan nanti.
"Nanya apa?" jawab Alfa dan menoleh menatap wajah Deon yang berubah jadi serius.
"Gue mau nanya. Tadi lo bilang sama Alfi jangan takut dan gak bakal ada yang jahatin dia lagi. Itu maksudnya apa? Emang Alfi pernah dijahatin orang atau sebagainya?" tanya Deon mengutarakan rasa penasaran yang memenuhi kepala.
Alfa menghela napas pelan kemudian ia mengangguk. Ia kembali teringat dengan semua kejadian yang terjadi tahun lalu. Kejadian buruk itu tidak akan pernah Alfa lupakan.
"Pernah. Gue bakal cerita sama lo, tapi bukan untuk sekarang."
***
Setelah diantar Alfa dan Deon sampai pintu masuk, Alfi melangkah ke dalam kelas dan mengedarkan pandangan untuk mencari meja dan kursi yang kosong.
Alfi melangkah mendekat ke arah kursi dan meja yang kosong di kelas itu, kemudian duduk di sana.
Alfi hanya diam ketika orang-orang mulai menoleh ke arahnya satu persatu. Kejadian waktu itu membuatnya takut bergaul dan berteman dengan orang asing, termasuk anak kelas itu. Alfi hanya ingin berada di samping Alfa, saudara kembarnya.
"Boleh gue duduk di samping lo?"
Alfi mendongak ke atas dan mendapati seorang cowok yang tengah berdiri dan tersenyum ramah ke arahnya. Alfi tidak menjawab, hanya anggukan kepala sebagai respon.
"Thanks." Cowok itu duduk di kursi, di samping Alfi. Ia lepas tas yang menyampir ke bahu dan ia masukkan ke dalam laci yang ada di bawah meja.
"Kenalin nama gue Arvin Alfarizi. Lo boleh panggil gue Arvin dan sama Alfa juga boleh." Cowok bernama Arvin itu mengulurkan tangan ke depan Alfi, ingin berkenalan dan menjadi teman sebangku.
"Kalo Alfa, itu nama kembaran gue," jawab Alfi dengan dingin. Ia biarkan tangan Arvin menggantung di udara.
"Oh, oke." Arvin menarik kembali tangannya. Seperti yang ia lihat, cowok di sampingnya tidak mau berjabat tangan dengannya.
Alfi hanya berdeham pelan sebagai respon. Tatapan matanya tertuju ke depan, melihat seorang guru yang mulai masuk ke dalam kelas.
"Selamat pagi murid-murid," sapa guru itu dengan wajah cerita. Ini adalah hari pertama mengajar di kelas. Terlihat, wajah murid didikan sangat bersemangat.
"Selamat pagi juga, Bu," jawab semua murid dengan kompak.
"Sudah siap belajar?" tanya guru itu dengan senyum kembali lebar. Ia letakkan tas dan buku paket yang ia bawa ke atas meja.
"Siap, Bu!" Lagi-lagi mereka menjawab dengan kompak serta dengan semangat yang menggebu.
Guru yang ada di depan terkekeh melihat semangat murid yang ada dalam kelas. Ia berdiri di depan papan tulis.
"Sebelum belajar, lebih baik kita perkenalan diri dulu. Kita belum saling kenal, bukan? Biar kita semua bisa saling sebut nama kalau ada sesuatu yang akan dipertanyakan." Guru itu mengulas senyum ramah.
"Iya, Bu..."
"Mulai dari Ibu dulu, ya. Perkenalkan nama Ibu Diana Putri. Kalian semua boleh panggil Ibu dengan sebutan Bu Dian. Ibu merupakan wali kelas kalian. Selanjutnya perkenalkan diri kalian masing-masing." Guru yang bernama Dian itu berjalan ke tepi.
"Biar Bu Dian yang pilih, ya." Bu Dian mengedarkan pandangan. Tatapannya terhenti pada murid laki-laki yang tengah menunduk.
"Murid Ibu yang duduk di kursi urutan nomer tiga, ayo maju ke depan."
Arvin yang merasa duduk di bangku urutan nomor tiga mengikuti tatapan mata Bu Dian, ternyata melirik pada Alfi, bukan dirinya.
"Lo dipanggil Bu Dian, perkenalkan diri lo ke depan," ujar Arvin dengan sebelah tangan menyikut lengan Alfi. Cowok itu terlihat melamun.
"Ya, kenapa?" tanya Alfi gelagapan. Ia tidak dengar apapun. Pikirannya tertuju pada Alfa yang sudah beda kelas dengannya.
"Bu Dian manggil lo ke depan, perkenalan diri," ulang Arvin dan mengulas senyum tipis.
Alfi mengangguk pelan. Ia bangkit berdiri dan berjalan ke depan dengan perasaan gugup. Saat sudah di depan, semua orang menatap ke arahnya. Telapak tangan Alfi dingin seketika.
Bu Dian menyamping dan mengulas senyum pada Alfi. "Ayo, mulai. Perkenalkan nama saja, setelah itu diperbolehkan duduk," ujarnya seakan mengerti dengan kegugupan Alfi.
"Iya, Bu," jawab Alfi pelan dan melirik Bu Dian sekilas. Setelahnya ia menoleh ke depan, menatap semua orang.
"Perkenalkan nama saya Alfi Kevza Franklin. Kalian semua bisa manggil pakai nama depan." Setelah mengatakan itu, segera Alfi berjalan cepat menuju bangku.
"Selanjutnya yang ada di samping Alfi boleh ke depan, silakan perkenalkan diri seperti Alfi tadi," ujar Bu Dian.
Alfi menoleh pada Arvin. "Giliran lo," ujarnya dengan dingin. Setelah itu ia menunduk menatap kedua tangan yang tengah ia remas pelan, mengurangi rasa dingin yang menyerang jemarinya.
"Yoi." Arvin bangkit berdiri dengan percaya diri. Ia mengumbar senyum manis pada semua kaum Hawa yang ada dalam kelas.
Setelah sampai di depan, Arvin berbalik badan. Tangan ia lambaikan dengan ramah. Tidak lupa dengan senyum yang terus mengembang.
"Hai semua. Perkenalkan nama saya Arvin Alfarizi. Kalian boleh panggil gue dengan Arvin atau... sayang juga boleh."
"Huuu...." Semua murid yang ada di dalam kelas bersorak membuat Arvin terkekeh pelan. Ia kembali melanjutkan perkenalan diri.
"Enggak, panggil saja Arvin. Kalo mau panggil sayang? Enggak apa-apa, toh aku yang senang." Arvin terbahak dan mendapat kekehan dari Bu Dina.
"Bisa saja murid Ibu yang satu ini. Silakan duduk. Buat yang ada di barisan paling depan, boleh maju," ujar Bu Dian.
Arvin kembali duduk ke bangku. Ia menoleh ke samping, mendapati Alfi yang hanya diam dan menunduk. Keningnya mengernyit. Merasa aneh dengan tingkah cowok itu.
"Are you okay?" tanya Arvin pada Alfi yang mulai meletakkan kedua tangan di atas meja. Wajah cowok itu hanya datar dan tanpa dihiasi senyum sedikit pun.
Alfi mengangguk pelan tanpa menoleh pada Arvin. Ia lirik jam hitam yang ada dipergelangan tangan, berharap waktu cepat berlalu agar ia bisa dijemput oleh Alfa dari kelas.
Setelah memperkenalkan diri, semua murid mulai mengeluarkan buku yang masih kosong dan tentunya baru. Bu Dina sudah duduk di bangku dan membuka buku paket.
"Udah ada punya buku paket atau udah ada yang minjam di perpus?"
See you next part.