Deon dan Alfi memasuki kantin dengan bersamaan. Keduanya berjalan mendekat secara tergesa ke dekat Alfa yang tengah duduk di depan meja sambil mengunyah bakso.
Alfa mendongak menatap dua orang itu dengan tatapan malas. Kenapa hari ini ia selalu diikutin ke mana ia berada? Ia pastikan beberapa hari ke depan ia tidak akan bisa tenang.
"Kenapa?" tanya Alfa ketika dua orang itu terus menatapnya. Jika ingin bakso yang ia makan? Tinggal pesan saja. Tidak perlu mengamati dirinya yang tengah mengunyah bakso nan enak itu.
Deon segera mendudukkan diri di samping Alfa dengan delikan tajam.
"Tega lo, Fa, tega lo bohongin gue. Gue udah kayak orang bego celingukan depan toilet nungguin lo. Nyatanya lo di sini enak-enakan makan bakso," ujar Deon dengan panjang lebar, mengeluarkan semua kekesalan yang ia rasa.
"Bodo!" jawab Alfa seraya membulatkan bibir berbentuk huruf O, jujur ia tidak tertarik sekali mendengar perkataan Deon yang seperti orang bego di depan toilet, salah sendiri mau percaya.
Mendengar itu Alfi terkekeh sarkas. Lihat lah, Alfa mulai bosan dengan cowok itu. Berada di dekat Deon tidak ada serunya. Itulah yang ia pikir.
"Apa lo liat-liat?" tanya Deon dengan lirikan tajam pada Alfi. Dengan tidak langsung, tatapan cowok itu mengisyaratkan penghinaan dan meremehkan terhadap dirinya.
"Heh muka kek monyet! Siapa yang liatin lo? Kepedean banget lo. Pede boleh tapi jangan terlalu tinggi, ntar ketemu sama Tuhan," balas Alfi dengan senyum miring.
"Mulut lo ya! Ngajak gelut kayaknya. Sini lo, baku hantam kita!" Deon menggulung lengan seragam ke atas dengan wajah dongkol.
Bakso yang Alfa makan tidak lagi terasa enak. Telinga kanan dan kirinya terasa sangat pengang karena bacotan dua orang itu yang tiada hentinya. Ingin Alfa membanting dua orang itu ke planet lain biar jadi alien saja di sana.
"Bisa diem gak? Kalo enggak, angkat kaki lo berdua dari sini." Alfa mendengkus kesal. Ia sudah kehilangan selera untuk lanjut makan.
"Gue ganteng gue diem!" Deon berucap seraya menutup mulut agar suara kerasnya yang suka bacotan tidak terdengar oleh Alfa. Kasian cowok itu, baru bertemu dengannya, Alfa jadi terlihat muak.
"Halah! Muka kek monyet kok dibilang ganteng," cibir Alfi dengan sewot. Setiap yang dikatakan oleh Deon buat ia jadi ingin muntah.
Deon yang dengar itu jadi emosi. Tidak terima dengan penghinaan yang selalu Alfi layangkan untuknya. "Muka lo tuh! Kek buaya darat!"
"Lo kayak monyet! Ngaca sana! Lo gak ada ganteng-ngantengnya, sumpah!" balas Alfi tak kalah keras.
Brak!
Alfa menggebrak meja dengan emosi yang sudah sampai di ubun-ubun menyaksikan adu mulut di antara dua orang itu yang terus-menerus. Bisa ia pastikan, jika begitu terus, telinganya akan jadi berasap.
Alfi dan Deon terkesiap dan terkejut. Sontak keduanya memegang dada, hampir saja jantungnya copot dan melompat keluar. Mereka saling pandang melihat Alfa yang sudah bangkit berdiri.
"Kalo lo berdua gak mau pergi dari sini? Biar gue yang pergi! Lo berdua sama aja, gak ada bedanya." Setelah mengatakan itu, Alfa beranjak dari sana. Ia keluar dari kantin menuju suatu tempat yang bisa buat ia jadi lebih tenang.
Alfi dan Deon menatap nanar punggung Alfa yang sudah hilang di balik pintu kantin. Kasihan sekali bakso Alfa, tidak jadi di makan. Padahal masih hangat dan enak untuk disantap.
"Lo sih. Gue udah diem malah lo pancing emosi gue. Alfa jadi pergi lagi, kan. Tanggung jawab lo." Deon segera berdiri dan beranjak dari kantin, mencari keberadaan Alfa.
"Salahin aja terus. Emang ya, monyet kek lo itu bisanya cuma nyalahin." Alfi berjalan mengekori Deon yang ada di depannya.
"Diem lo!"
***
Alfi dan Deon celingukan pada setiap ruang kelas yang ia temui. Tidak ada Alfa di sana. Semua ruangan sudah ia periksa termasuk kelas cowok itu. Namun keberadaan Alfa memang tidak mereka tahu.
Alfi mencoba berpikir sejenak. Satu tempat terlintas di benaknya. Ia melangkah dan berbalik badan.
"Kayaknya Alfa di rooftop." Alfi bergumam pelan, takut kedengaran oleh Deon yang ada di dekatnya.
Alfi berjalan pelan menuju anak tangga. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan dan berharap semoga Deon tidak melihat kepergiannya serta mengikutinya.
Deon yang sudah tahu ke mana arah tujuan Alfi jadi tersenyum miring. Ia berdiri di sana dan pura-pura tidak melihat kepergian Alfi yang sudah menaiki anak tangga dan bahkan sudah sampai di atas.
"Percuma lo jalan ngendap-ngendap gitu. Gue udah liat lo jalan ke atas. Apa di atas itu rooftop, ya? Bisa jadi, gak mungkin kalo rumah hantu di atas," ujar Deon sambil geleng kepala dengan kebodohan si Alfi.
Setelah Alfi tidak terlihat, Deon segera berbalik dan berlari kecil menuju tangga. Ia naiki satu persatu anak tangga yang ada di sana.
Deon sampai di rooftop. Terlihat Alfi dan Alfa ada di sana. Benar, kan apa yang ia pikirkan. Di atas itu adalah rooftop. Deon mendapat satu ide.
"Fi? Lo di mana? Udah ketemu Alfa belum? Capek, ya nyari Alfa. Tuh anak kek hantu aja, cepet ngilang." Deon pura-pura tidak melihat dua orang itu demi melancarkan ide yang ia dapat.
Alfi hanya diam menyaksikan kegoblokan cowok itu. Ia duduk bersandar di kursi kayu di sebelah Alfa.
"Fi? Lo di mana? Jangan bilang lo udah diculik sama penghuni sekolah ini? Secara tampang lo kayak—"
"Heh monyet! Ngapain lo ke sini? Pake cara teriak-teriak segala lagi. Lo ngikutin gue, kan?" tuding Alfi dengan kedua tangan bersidekap di dada.
"Halah, bacot! Gue punya kaki buat ke sini, jangan kepedean." Deon mulai malas menjawab dan berdebat. Ia berjalan mendekat dan duduk di sebelah Alfa yang hanya diam.
"Gue pikir lo di mana, nyatanya di sini." Deon melempar cengiran seraya bersandar pada kursi. Udara di rooftop ternyata sangat sejuk.
"Halah, mulai cari muka." Alfi berucap tanpa menoleh. Ia sibuk menatap ke depan. Sesekali ia lirik Deon dengan ujung mata.
"Liat kan, Fa. Kembaran lo yang mulai. Andai gue punya kembaran kayak dia? Udah gue tendang ke Amazon," delik Deon.
"Bisa gak sih lo berdua itu gak adu bacotan terus di depan gue. Kuping gue jadi panas denger lo berdua!" Alfa menatap tajam dua orang itu secara bergantian.
Terjadi keheningan. Alfi sibuk dengan lirikan maut pada Deon, sedangkan Deon juga begitu. Alfa yang melihat hanya bisa menopang dagu dengan sebelah tangan. Berpikir akan sesuatu. Bagaimana cara ia buat dua orang itu jadi akur?
"Gimana kalo kiat buat perjanjian?" tawar Alfa dengan seringaian. Satu ide cemerlang terlintas di benaknya yang sangat encer itu.
"Perjanjian apa? Jangan ngadi-ngadi lo, Fa," jawab Alfi tanpa minat. Jika sudah melihat wajah Alfa yang seperti itu, sudah ia pastikan Alfa tengah merencanakan sesuatu.
"Perjanjian apa? Jangan aneh lo. Liat wajah lo gitu nambah aneh tau, gak." Deon melempar pandang pada Alfi yang duduk di sebelah Alfa.
"Jadi gini. Pertama, gue mau lo berdua berteman akrab di depan gue, tanpa adu bacotan." Alfa menunjuk satu jari menandakan ide itu yang pertama.
"Fa, aneh lo. Gak ma—"
"Diem! Gue gak suruh lo ngomong. Kedua, lo harus berangkat barengan tiap hari ke sekolah, demi melancarkan poin yang pertama." Alfa menunjuk jari kedua. Tidak mengizinkan dua orang itu memotong pembicaraannya.
"Ketiga, Deon harus nginep di rumah gue. Dan kamarnya bersebelahan sama kamar Alfi. Gue bisa pindah ke kamar ruang utama. Ya, ini juga demi melancarkan poin yang pertama tadi," jelas Alfa dengan senyum mengembang. Idenya memang cemerlang. Dengan begitu, ia akan terbebas dari bacotan dua orang itu.
Alfi dan Deon melongo mendengar perkataan Alfa barusan. Perjanjian macam apa itu? Tinggal barengan? Berangkat bareng? Yang benar saja. Keduanya melempar tatapan tajam.
"Gak bisa!" tolak Alfi mentah-mentah, begitu juga dengan Deon. Tidak akan mereka biarkan hal itu akan terjadi.
"Gak bisa ya?" tanya Alfa dengan manggut-manggut, terlihat seperti terkejut dengan jawaban yang diberikan oleh Deon dan Alfi barusan.
"Gak bisa ya udah. Gue gak maksa. Mulai sekarang lo berdua jangan deket gue, jauhin gue. Karena lo berdua kuping gue jadi serasa panas dan mau pecah." Alfa mengamati dua orang itu dengan tatapan tegas.
"Buat lo, Deon. Gue gak mau jadi temen lo ataupun sahabat lo. Lo bisa cari orang lain. Buat lo, Fi, gue gak bisa bantu lo agar bisa sekelas sama gue. Lo usaha sendiri," ujar Alfa dengan wajah datar. Ia sandarkan diri pada kursi.
"Jangan gitu lah, Fa. Gue gak mau beda kelas sama lo. Lo tau, kan kalo gue takut sama keramaian terus takut sama orang asing, jelas Alfi seraya menggoyang lengan Alfa seperti anak kecil.
Deon yang lihat tingkah Alfi jadi menganga tidak percaya. "Daebak! Manjanya ngalahin bocah kelas 1 esede," gumam Deon asal.
"So? Ini demi kebaikan buat lo pada, bagi gue gak ada untungnya." Alfa menjauhkan tangan Alfi dari lengannya. Ia pura-pura terlihat marah dan buat wajah jadi datar.
"Gue sih mau aja. Belum tentu sama kembaran manja lo itu. Tapi kalo soal nginep di rumah lo, gue gak bisa. Karena sehabis pulang sekolah gue harus kerja dan gak mungkin ninggalin rumah. Bisa-bisanya rumah gue di maling," ujar Deon menjelaskan keberatannya.
"Lo kerja? Kerja apa?" tanya Alfa.
"Ya kerja, kalo gak kerja? Gue makan sama bertahan hidup pake apa? Yakali pake daun," jawab Deon dengan kekehan.
"Heh, ogeb. Siapa yang bakal maling rumah lo? Orang tua lo sekaligus sodara lo pasti ada di rumah," celetuk Alfi menimpali. Deon terlalu bertele-tele menurutnya. Bilang saja tidak mau, apa susahnya.
"Gue gak punya sodara, karena gue anak tunggal. Soal orang tua? Gue gak punya. Mereka udah gak ada." Deon tersenyum tipis dan menghembuskan napas pelan. Lagi-lagi ia jadi teringat dengan dua orang itu.
Jawaban Deon buat Alfi terdiam seribu bahasa. Ia menoleh menatap Alfa yang juga sama terdiam sepertinya. Ia pikir, Deon memiliki keluarga yang lengkap. Alfi jadi merasa bersalah. Lihat lah, wajah Deon jadi berubah sendu seketika.
"Sorry, gue gak maksu—"
"Gak papa, santai aja." Deon bangkit berdiri dan beranjak dari sana.
Melihat Deon keluar dari rooftop menambah rasa bersalah Alfi. Ia menyikut lengan Alfa yang hanya diam mematung. "Fa? Deon marah," ujarnya dengan wajah memelas.
Tidak mendapat jawaban dari Alfa buat Alfi jadi bangkit berdiri. Ia asal bicara dan membuat Deon jadi tersinggung. Ia benar-benar merasa bersalah sudah menyinggung tentang kedua orang tua Deon yang telah tiada. Pasti sekarang Deon bersedih dan marah karena ucapannya tadi.
Tanpa buang waktu, Alfi lari keluar dari rooftop. Ia turuni anak tangga dengan cepat. Saat lihat Deon yang sudah turun dan menuju kelas, segera ia panggil.
"Yon, mau ke mana lo?" Alfi memberanikan diri menarik lengan Deon yang terus berjalan ke depan.
Deon menghentikan langkah kaki dan menoleh menatap Alfi. Ia naikkan sebelah alis ke atas, meminta jawaban dari tindakan yang cowok itu lakukan?
"Lo marah sama gue? Gue gak maksud buat lo jadi tersinggung," ujar Alfi dengan perasaan bersalah.
"Gue gak marah. Tapi setiap orang nanya tentang ortu gue, gue jadi gimana gitu," jawab Deon sambil tertawa hambar. Terkadang, Deon juga merasa belum ikhlas dengan kepergian dua orang itu secara tiba-tiba.
Alfi jadi semakin bersalah. Ia ulurkan kelingking pada Deon. "Lo jangan sedih, gue sekarang mau jadi temen lo," ujarnya sambil mengulas senyum tipis.
"Gue tau lo kasihan sama gue. Gue benci dikasihanin." Deon menepis jari kelingking Alfi menjauh, ia kembali melangkah ke depan.
"Gue mau berteman sama lo bukan karena kasihan. Setelah mendengar sedikit kisah lo, gue jadi tau kalo lo orang yang kuat. Gue tertarik temenan sama lo," ujar Alfi dan membuat langkah kaki Deon terhenti.
Sudut bibir Deon terangkat. Ia berbalik badan dan bersedekap dada. Ia berjalan mendekat pada Alfi dan mengukir cengiran.
"Gue emang orang yang kuat. Jangan pernah salah," jawab Deon sambil merangkul pundak Alfi.
"Iyain, biar cepet." Alfi tertawa dan balas merangkul pundak Deon dengan erat.
Seorang cowok yang melihat itu jadi tersenyum tipis. Dadanya sedikit menghangat melihat tawa dua orang itu yang menular.
"Semoga Deon bisa jagain lo saat gue udah gak ada di samping lo lagi, Fi. Cepat sembuh dari trauma lo, biar gue bisa pergi dengan tenang."
See you next part.