Seperti yang Alfa bilang, hari ini adalah hari penentuan kelas di sekolah. Ia dan Alfi sudah berangkat sekitar setengah jam tujuh pagi tadi. Alfa sangat tidak suka jika harus datang terlambat ke sekolah. Ia malas kena hukuman yang buat ia jadi merasa ribet seketika, apalagi harus mendengar ceramah dari guru BK.
Alfa dan Alfi adalah murid SMA Cendrawasih, yang merupakan sekolah ternama yang ada di kota Jakarta.
Keduanya berjalan di koridor sekolah. Sesekali Alfa dan Alfi berhenti di depan kelas, melirik nama yang tertulis di kertas yang tertempel di dinding. Murid masih terlihat belum ramai berdatangan, sehingga mereka dengan mudah mengecek nama satu persatu.
Alfi membaca nama yang tertera di sana. Jarinya lurus mengikuti setiap abjad dari nama murid yang bersekolah di SMA Cendrawasih, yang satu angkatan dengannya. Sedangkan Alfa, berdiri di sampingnya.
Alfi mencebik ketika menemukan namanya ada di kertas itu, tapi tidak dengan nama Alfa. Berarti, mereka tidak satu kelas.
"Nama lo gak ada, Fa. Berarti kita gak sekelas. Gue maunya satu kelas sama lo." Alfi berbalik badan. Ia merengek pada Alfa dan memasang wajah memelas.
Jangan aneh dengan sikap Alfi yang seperti itu. Alfi memang anak manja dan kekanakan, tidak seperti Alfa, kembarannya itu. Sifat mereka memang terbalik dan beda jauh.
"Ya, mau gimana lagi." Alfa berucap setenang mungkin. Ia tidak masalah jika tidak satu kelas dengan Alfi. Toh, ia akan aman-aman saja. Tapi tidak dengan saudara kembarnya itu.
Alfa melirik wajah Alfi yang mulai terlihat di tekuk. Ia jadi terkekeh pelan, melihat sikap kekanakan saudara kembarnya itu. Seperti biasa, Alfi akan berada dalam mode merajuk jika keinginannya tidak bisa terkabul.
"Iya, nanti gue bantu bilang sama Pak Kepsek. Jangan ditekuk wajah lo." Alfa merangkul pundak Alfi dan membawa menjauh dari sana.
Langkah kaki Alfa dan Alfi menuju sebuah kantin yang ada di depan. Alfa memilih mampir ke kantin duluan, belakangan ia cari kelasnya. Ia sudah yakin, pasti kelasnya tak jauh dari kelas Alfi berada.
Setelah sampai di kantin, Alfa duluan berjalan menuju tempat pemesanan, sementara Alfi duduk di pojok dengan wajah menunduk. Ia takut dengan keramaian. Karena itulah trauma yang ia alami sampai sekarang. Sehingga, cowok itu tidak bisa dijauhkan dari Alfa.
Alfa kembali ke meja setelah ia pesan makanan untuk dirinya dan Alfi. Ia amati Alfi yang terus-terusan menunduk menatap lantai. Alfa menghela napas pelan, sampai kapan saudara kembarnya itu akan takut dengan keramaian? Karena kejadian itu, Alfi jadi seperti ini.
"Fi, jangan nunduk terus. Gak ada orang yang bakal jahatin lo di sini. Ada gue." Alfa berucap sambil menyentuh lengan cowok itu.
Alfi mendongak menatap Alfa. Ia mengangguk pelan dan segera meletakkan kedua tangan di atas meja. Tatapannya masih mengarah pada Alfa, tidak berani menoleh kiri dan kanan.
"Permisi, ini pesanannya." Seorang perempuan datang membawakan pesanan yang di pesan Alfa.
"Makasih, Mbak." Alfa mengambil nampan yang ada di tangan perempuan itu. Setelahnya, ia letakkan makanan dan minuman ke atas meja. Ia kembalikan nampan itu.
Alfa mengaduk jus lemon yang ia pesan. Matanya melirik Alfi yang terlihat sangat tidak nyaman berada di kantin. Murid sudah terlihat banyak berdatangan ke sana.
"Makan dulu, Fi. Setelah ini kita balik ke kelas." Alfa menyodorkan jus lemon milik Alfi ke depan cowok itu.
"Iya, Fa."
***
Alfa dan Alfi sudah selesai makan. Alfa juga sudah membayar nasi goreng dan jus lemon yang ia pesan tadi. Keduanya mulai melangkah meninggalkan kantin.
Alfa menarik lengan Alfi berjalan menuju ruang pribadi kepala sekolah. Seperti janjinya, ia akan membicarakan hal itu pada kepala sekolah. Tentang keinginan Alfi yang tidak bisa beda kelas dengan dirinya.
Keduanya masuk ke dalam dan sudah menjumpai Pak Kepsek. Alfi yang mendengar syarat yang harus dipenuhi jadi sedikit cemberut. Ia pikir, jika sudah membicarakan hal ini kepada kepala sekolah, ia bakal bisa langsung pindah, ternyata tidak.
Alfa mencoba menenangkan Alfi yang mulai merajuk tidak karuan. Setelah bisa ia tenangkan, barulah ia berjalan menuju kelas Alfi dan mencari letak kelasnya berada.
"Fa, kalo kita gak nemu pengganti gimana?" tanya Alfi yang terus berjalan tanpa melihat ke depan. Ia hanya fokus pada Alfa yang berjalan santai sambil melirik kertas yang ada di dinding.
Bruk!
Langkah kaki Alfi jadi terhenti ketika ia menabrak seseorang. Tubuhnya jadi terhuyung ke belakang. Saat ia menoleh, ia dapati seorang cowok yang terlihat seumuran dengannya.
"Punya mata gak lo?!" Cowok itu menatap Alfi dengan marah. Ia tarik kerah seragam Alfi ke atas sehingga membuat cowok itu terdorong ke depan.
"Maaf, gue gak sengaja." Alfi berusaha melepaskan tarikan cowok itu dari seragamnya.
Alfa menoleh ketika ia mendapati Alfi yang diperlakukan sekasar itu. Ia mendekat dengan langkah lebar. Ia sangat benci jika melihat saudara kembarnya diperlakukan dengan tidak baik.
"Lepasin tangan lo dari seragam kembaran gue!" ujar Alfa dengan wajah datar. Ia tepis tangan cowok itu dari seragam Alfi, namun tidak juga dilepaskan.
"Jangan ikut campur lo! Urusan gue sama dia, bukan sama lo!" cowok itu memperkuat tarikannya pada kerah seragam Alfi.
Wajah Alfa memerah ketika menyadari wajah saudaranya mulai memucat. Ini yang paling tidak ia suka, Alfi akan terus takut pada semua orang.
"Lepasin tangan lo, sialan!"
Bugh!
Satu bogeman mendarat di wajah cowok itu. Alfa mendekat pada Alfi dan merapikan seragam saudara kembarnya itu yang terlihat berantakan.
"Boleh juga pukulan lo!" Cowok itu menyeringai, menyeka sudut bibirnya yang terasa perih.
Alfa melirik cowok itu sekilas tanpa minat. Ia masih marah karena perlakuan kasar cowok itu pada kembarannya. Dengan begini, Alfa akan terus merasa kesulitan untuk membantu Alfi agar bisa sembuh dari trauma.
"Fi, lo bisa ke kelas? Gue masih ada urusan sama nih cowok." Alfa melirik cowok itu dengan ujung mata.
Alfi mengangguk samar. Ia mendelik pada cowok itu dan segera masuk ke dalam ruangan yang merupakan kelas barunya.
Cowok yang menarik kerah seragam Alfi berjalan mendekat pada Alfa yang hanya diam. Ia mengulurkan tangan.
Alfa melirik tangan cowok itu dengan sebelah alis terangkat. Setelahnya, ia terima uluran tangan cowok itu. Alfa tidak kenal cowok itu, baru sekali ini ia lihat di sekolah.
"Gue Deon Naufal. Gue murid pindahan," ujar cowok itu, yang ternyata bernama Deon.
"Gue Alfa," jawab Alfa singkat. Ia lepaskan tangan dari Deon.
"Yang tadi kembaran lo?" tanya Deon sedikit penasaran.
Alfa berdeham pelan sebagai jawaban.
"Apa gue boleh jadi temen lo?" tanya Deon seakan merasa tertarik. Di sisi lain, ia juga butuh seorang teman karena ia murid baru di sana.
"Hm." Alfa berjalan, menjauh dari sana.
"Fa? Serius? Lo beneran mau temenan sama gue?" tanya Deon seakan tidak puas dengan jawaban yang diberikan oleh Alfa.
Alfa tidak menjawab. Ia terus melangkah, mencari kelasnya berada. Ia baca kertas yang ada di dinding. Ia baca. Dan, ia dapati namanya di sana.
"Fa, tungguin kek!" Deon berdiri di samping Alfa yang tengah celingukan ke dalam kelas.
"Fa, lo beneran mau temenan sama gue? Gue gak yakin, secara, tadi gue udah kasar sama kembaran lo. Gue cuma iseng," ujar Deon.
"Hm." Alfa lagi-lagi berdeham dengan pelan.
"Lo lagi sakit gigi atau apa? Dari tadi yang gue denger cuma hem-hem mulu." Deon tidak habis pikir. Ternyata masih ada spesies langka yang irit bicara seperti Alfa.
"Terserah lo." Alfa merasa jengah dengan sikap Deon yang mulai nyinyir padanya. Ia melanjutkan langkah, menjauh dari sana.
"Fa! Tungguin! Cepat amat jalan lo. Kayak Bu Kunti," panggil Deon dengan langkah kaki yang ia buat jadi cepat.
"Ehh, Bu Kunti itu berjalan atau terbang, ya?" Deon berpikir keras sambil berlari mengejar Alfa yang sudah jauh di depan.
Saat sudah sampai di samping Alfa, ia tanyakan hal itu lagi. Alfa membuang napas jengah.
"Sekali lagi lo ngomong, gue tonjok wajah lo." Alfa mendengkus kesal dengan apa yang Deon bicarakan. Selain tidak penting, pertanyaan itu juga tidak bermutu sama sekali.
"Ck. Dasar es batu." Deon berdecak malas. Ternyata cowok di sampingnya sangat susah untuk diajak berpikir keras tentang Bu Kunti berjalan atau terbang.
Alfa mendelik tak suka ketika Deon menyebutkan dengan sebutan seperti itu. Menurutnya, lebih baik diam jika tidak ada yang penting dibicarakan, buang-buang waktu dan tenaga saja.
Deon yang tersadar akan satu hal langsung mencegat jalan Alfa. Ia rentangkan tangan, menghalangi cowok itu jalan ke depan.
"Fa, temenin gue ke ruang kepsek. Gue harus ngasih identitas sama nanya kelas gue ada di mana," ujar Deon.
"Gue baru balik dari sana," jawab Alfa seadanya.
"Ngapain?" tanya Deon kepo.
"Nemenin Alfi. Dia mau satu kelas sama gue," jawab Alfa dengan malas. Cowok di depannya sangat menghabiskan waktu. Alfa tidak suka orang banyak tanya.
Deon manggut-manggut. "Tadi lo nemenin Alfi, sekarang waktunya lo harus nemenin gue."
"Pergi sendiri." Alfa berdecak pelan. Ia kembali melanjutkan langkah.
"Tega lo sama gue, Fa. Kalo seandainya gue diculik sama penghuni sekolah ini gimana? Otomatis, pasokan cogan jadi berkurang di dunia ini." Deon menahan Alfa agar cowok itu mau menemani dirinya ke ruang kepala sekolah.
"Apalagi?! Penghuni sekolah ini gak bakal mau sama lo. Muka lo gak ada ganteng-gantengnya." Alfa merasa semakin jengah. Ternyata selain mengesalkan, cowok itu juga memiliki tingkat kepedean yang sangat tinggi.
"Astagfirullah! Mulut lo bersoda banget." Deon memegang dada, mendramatisi keadaan.
"Lo..." tunjuk Alfa dengan geram. Ingin sekali ia layangkan pukulan ke wajah cowok itu sekali lagi.
"Gue apa? Jangan bilang lo mau muji gue karena gue handsome gini? Ck, secara, gue perawatan tiap hari." Deon menepuk dada dengan bangga.
Alfa menutup mulut langsung. Ia sangat merasa mual dengan perkataan Deon barusan. Handsome? What the fuck!
"Lo gila!" teriak Alfa kehabisan kesabaran. Alfa tak habis pikir, kenapa Tuhan menciptakan manusia seperti Deon? Tingkat kepercayaan dirinya melebihi tingginya Tower Dubai, bikin Alfa jadi sangat mual dan ngeri.
Pecah sudah tawa Deon melihat wajah kesal Alfa. Ternyata buat orang kesal sangat menyenangkan menurutnya. Ia pegang perut karena merasa sakit, ia terlalu keras tertawa.
"Jadi ke ruang kepsek, nggak?" tanya Alfa dengan wajah masam. Ia benar-benar jengah berada di dekat Deon berlama-lama seperti ini.
Deon berdecak pelan. Alfa sangat tidak sabaran orangnya. "Sabar kek. Orang sabar bakal dapat istri yang cantik," ujarnya asal.
"Nyusahin aja." Alfa mengekori Deon yang berjalan di depannya, menuju ruang kepala sekolah.
Deon menahan tawa. Ia menoleh ke belakang, ke arah Alfa. "Fa, gue kasih tau sama lo, ya. Jangan keseringan marah."
"Emang kenapa?" Alfa menatap Deon dengan malas.
"Lo tau gak. Nenek gue dulu juga keseringan marah, kayak lo gini nih. Karena keseringan marah itu, nenek gue malah jadi nenek sekarang."
Ingin Alfa memukul wajah Deon dengan kencang. Alfa menarik napas pelan dan ia hembuskan. Sepertinya hari ini kesabarannya tengah di uji oleh sang kuasa. Alfa harus sabar.
"Terserah lo, Yon. Mending lo ngali kubur sana, kuburin diri lo yang gak guna itu," jawab Alfa judes.
Deon lagi-lagi tergelak. Ia tepuk pelan pundak Alfa. "Gue ganteng gue diem."
Alfa menepis tangan Deon dari pundaknya. Ia hentikan langkah ketika sudah sampai di depan ruang kepala sekolah.
"Gue nunggu di sini. Lo masuk." Alfa mendorong tubuh Deon ke dalam. Cowok itu terlalu bertele-tele buat ia jadi tidak betah berada di sana.
Alfa melihat dari arah pintu, Deo sudah melangkah dan berbicara dengan Pak kepala sekolah. Terlihat Deon juga meletakkan kertas berbentuk map ke atas meja. Mungkin itu surat kepindahan.
Setelah Deon diberi tahu letak ruang kelas, ia segera berpamitan dan menyalami Pak kepala sekolah dengan sopan. Setelahnya, ia berbalik badan berjalan menuju Alfa yang menunggu diluar.
"Yok lah. Udah siap," ujar Deon pada Alfa yang ada di sana. Ia tarik tas yang dikenakan cowok itu.
"Jangan tarik gue!" Alfa menghempas kasar tangan Deon dari tasnya. Ia bukan lembu yang harus ditarik-tarik.
"Jangan marah gitu. Lo mau cepet tua kayak nenek gue?" tanya Deon dengan wajah yang tidak berdosa.
"Lo bisa diem, gak! Asal lo tau, nenek lo itu tua karena faktor umur, bukan karena keseringan marah," bantah Alfa yang kian emosi.
"Udah tau," jawab Deon cengengesan. Ia mengekori Alfa yang sudah jalan duluan. Terlihat Alfa menuju ke tempat mereka bertemu tadi, mungkin menuju kelas saudara kembarnya itu.
"Sinting!"
See you next part.