Amosa berdiri tepat di depan kalender. Amosa menggerakkan jari telunjuknya dan mendaratkan ke angka "13". Kedua bola matanya menatap kosong ke arah angka yang ia tunjuk.
"Tanggal 13 Maret adalah 1 bulan sebelum aku melakukan pembalasan," kata Amosa kepada dirinya sendiri.
13 Maret lalu.....
"Amosa, apakah kamu masih marah dengan apa yang terjadi dengan putrimu 5 hari yang lalu?" Tanya Aboy.
Amosa langsung menatap tajam ke arah Aboy. "Orang tua mana yang tidak marah melihat darah dagingnya di culik dan dibunuh?" tanya Amosa.
Aboy mengambil foto yang tergeletak di antara mereka berdua. Saat ini, Aboy dan Amosa sedang duduk di sebuah lincak (tempat duduk yang terbuat dari bambu) sembari mencari korban. Aboy mensejajarkan foto tersebut tepat di depan mukanya.
"Kaya pernah lihat tapi dimana?" gumam Aboy yang lirih. Aboy terus mengingat-ingat siapa saja yang pernah bertemu dengannya. Ia tidak asing dengan muka yang terpampang di foto.
"Hanya di kasih hukuman 1 bulan. Hah, apakah itu pantas buat pembunuh yang sudah membunuh anak-anak dengan jumlah 13?" kata Amosa secara tiba-tiba.
Tiba-tiba Aboy teringat, mengenai seseorang yang ada di dalam foto itu. "Aku ingat, dia adalah Tatrix, seorang penjual boneka di jalan Melati nomer 7" kata Aboy kepada Amosa.
"Aku sudah tahu itu. Aku ingin ia merasakan sakit, hancur, dan tak berdaya melihat seorang yang paling berharga buat dirinya tewas," jelas Amosa.
Angin berhembus perlahan, suasana yang terasa terik tiba-tiba dingin, karena matahari tertutupi awan. Keheningan terjadi di antara mereka berdua.
"Hmm, setahuku, dia hidup sendiri, jadi bisa di pastikan dia tidak memiliki orang berharga buatnya," kata Aboy yang memecah keheningan.
"Darimana kamu tahu?" tanya Amosa.
"Dari salah satu temanku. Aku teringat, bahwa ia bekerja menjadi pembantu buat Tatrix di sana," jawab Aboy.
Amosa menghela. "Jika Tatrix tidak memiliki orang berharga, pasti ia memiliki sebuah benda atau apapun itu yang ia sayangi," kata Amosa.
"Nah, betul. Ia pernah cerita, bahwa Tatrix memiliki sebuah boneka yang seakan-akan dia adalah anaknya. Di mandikan, di dongengin ketika akan tidur, dan sering di ajak ngobrol layaknya anak dan orang tua," jelas Aboy.
Amosa langsung terperanga. "Sudah aku pastikan, aku harus menghabisi boneka itu, biar dia merasakan apa yang aku rasakan sekarang," kata Amosa dengan mengepalkan tangan kananya. Amosa mengepal dengan sangat kencang, sesuai dengan emosinya. Sehingga pembuluh darahnya terlihat bergitu dan seakan-akan akan keluar menembus kulit.
Aboy tersenyum jahat. "Aku akan membantumu, dengan meminta bantuan temanku untuk membantumu dalam menyusup ke rumahnya Tatrix san bia membunuhnya," katanya. "Selain itu, kamu membutuhkan sebuah alat guna mempermudahkan dalam melancarkan aksimu," tawar Aboy.
"Memang alat seperti apa yang harus aku gunakan?" tanya Amosa.
"Terlalu berbahaya berbicara di sini. Ikutilah aku," ajak Aboy. Aboy beranjak dari kursi, dan berjalan meninggalkan Amosa.
Dengan segera, Amosa bangkit dari tempat duduknya, dan berjalan di belakang Aboy.
Aboy berjalan memasuki pasar, menembus keramaian di sana, dan berjalan di lorong-lorong pasar. Amosa dan Aboy menembus keramaian pasar, dan sesekali mememiringkan bada untuk melewati puluhan orang.
Tiba-tiba Aboy berbelok, dan berjalan memasuki sebuah kios yang menjual berbagai macam pakaian.
Kios ini memiliki ukuran 4x6 meter, dengan puluhan baju terpampang di berbagai sudut kios. Berbagai jenis, warna, hingga motif tersedia di kios ini.
"Ada yang bisa saya bantu, pak?" tanya pemilik kios yang berdiri di belakang meja kasir.
Aboy tidak berkomentar, dan mendekati pemilik kios tersebut, mendekatkan kepalanya, kemudian membisikkan sesuatu sembari menyelipkan beberapa lembar uang kertas ke tangan pemilik kios.
Wajah pemilik kios yang semula terlihat baik, dan ceria, berubah menjadi dingin. "Baik, silahkan ikuti saya," pemilik kios berjalan meninggalkan meja kasir.
"Ayo, ikuti saja dia," suruh Aboy kepada Amosa.
Amosa tidak berkomentar, ia hanya nurut dengan perintah dari Aboy. Amosa berjalan mengikuti pemilik kios dengan perasaan yang masih kebingungan.
Pemilik kios membawa Amosa ke sebuah ruangan yang cukup sempit dan gelap. Jari tangan dari pemilik kios menekan sakelar lampu, bohlam yang tergantung berkedip beberapa kali, hingga akhirnya menyalah dan menerangi semua sisi ruangan.
Amosa terperangan, melihat berbagai macam bentuk senjata api terpajang rapi di balik etalase kaca. Amosa tidak bisa berkata apa-apa, karena ia belum pernah melihat puluhan senjata api yang berjajar di depan matanya.
"Silahkan kamu pilih, senjata apa yang sedang kamu cari," suruh pemilik toko dengan suara yang agak berat. "Masalah harga jangan kamu pikirkan, karena harga yang aku berikan di bawah harga pasaran," imbuhnya dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Amosa tidak berkomentar, ia terus mengamati dan memilih mana senjata yang cocok ia gunakan nanti. Tiba-tiba, bola matanya tertuju ke arah senjata dengan rasio ukuran sedang, dan berdiri gagah di antara puluhan senjata. Warna senjata itu hitam pekat, dengan sedikit motif bintik putih, membuah senjata tersebut terkesan hebat.
"Aku pilih yang ini," kata Amosa dengan jari telunjuk ia arahkan ke salah satu senjata.
*****