"Pasti hari ini kamu tidak akan keluar," kata Alsa kepada Amosa yang baru saja duduk di bangku meja makan.
Amosa tersenyum. "Mau bagaimana lagi? Jika aku keluar, kemungkinan besar aku akan tertangkap pihak berwajib," jawab Amosa.
Alsa menghentikan mengelupas bawang, berjalan mendekati Amosa, dan duduk tepat di depannya. "Aku mau ngomong sama kamu. Memang uang yang kamu berikan kemarin cukup untuk beberapa hari kedepan. Namun, sampai kapan kita harus menyembunyikan ini semua dari Aurellia. Apakah kamu tidak memikirkan bagaimana perasaannya kalau mengehatui kebenaran yang kita sembunyikan?" kata Alsa panjang lebar.
Amosa tertunduk, senyuman yang ada di bibirnya perlahan menghilang. "Sudah sejak lama aku memikirkan hal ini. Akan tetapi, tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain mencopet. Jika aku berhenti menjadi pencopet, bagaimana aku menghidupi Aurellia?" jawabnya.
"Makanya dari itu, aku mau bilang, bahwa aku mau bantu kamu dalam menghidupi keluarga kecil ini," kata Alsa.
"Memang kamu mau bantu aku seperti apa?" tanya Amosa dengan mengerutkan alisnya. "Aku tidak mau kamu kembali ke tempat kotor itu. Meski aku bukan pria yang baik, namun aku berusaha menjadi yang terbaik buat keluargaku," sambungnya.
"Kamu tenang saja, aku tidak akan menjadi pelacur lagi. Aku hanya akan kerja di salah satu rumah produksi yang berada di desa sebelah. Di sana membutuhkan tenaga bagian pengemasan. Yah, meski gajinya tidak seberapa, tetapi cukuplah untuk meringankan beban kamu," jelas Alsa.
"Kalau itu memang keinginanmu, aku tidak bisa melarang lagi," kata Amosa sembari mengangkat kedua bahu.
Alsa tersenyum. "Terima kasih telah mengizinkanku membantu kamu," katanya.
Amosa membalas senyuman Alsa. "Sama-sama, terima kasih juga telah menerima seluruh kekuranganku," jawabnya. "Oh, iya, bukankah hari ini Aurellia harus ke sekolah?" tanya Amosa.
"Eh, iya, aku bangunkan dulu," jawab Alsa.
Alsa beranjak dari tempat duduknya, kemudian berjalan menuju ke kamar Aurellia.
"Aurellia, bangun nak," kata Alsa sembari membuka pintu kamar. Alsa berjalan mendekati Aurellia yang masih tertidur pulas, dan duduk di sampingnya. "Aurellia, ayo bangun, waktunya sekolah," Alsa menggoyangkan badan Aurellia dengan perlahan.
"Astaga! Badan kamu kenapa panas banget?" kata Alsa dengan menaruh punggung tanganya di dahi Aurellia.
"Kepala Ellia pusing banget, bu," kata Aurellia dengan kedua mata yang masih tertutup.
"Ya, sudah kalau begitu, kamu istirahat saja. Akan ibu buatkan surat izin," kata Alsa dengan mengelus kepala Aurellia.
"Boneka ini aku namakan, Ceki," kata Aurellia yang masih menutup mata.
Alsa tersenyum. "Nama yang bagus. Sudah jangan terlalu memikirkan hal yang tidak penting. Habis ini kita akan ke dokter," Alsa menutupi sebagian tubuh Aurellia dengan selimut dan menyisakan kepalanya saja. Alsa berjalan meninggalkan Aurellia.
"Ibu," panggil Aurellia. "Kenapa ayah membunuh tante Tatrix?"
*****
1 hari yang lalu....
Aurellia berjalan menuju ke rumah, lengkap dengan seragam sekolah yang masih melekat di tubuhnya, dan tas merah mudah tergantung di punggungnya. Tidak biasanya Aurellia pulang dengan jalan kaki, karena setiap harinya, Alsa selalu menjemput Aurellia tepat waktu.
Rumah Aurellia dengan sekolah tidaklah terlalu jauh. Aurellia juga tidak keberatan kalau harus berjalan kaki, baik berangkat maupun pulang, mengingat kebanyakan teman-teman Aurellia juga berjalan kaki. Namun, Alsa tidak mengizinkan Aurellia, dengan alasan banyak penculik anak yang berkeliaran.
Belum sempat sampai di rumah, Aurellia melihat sesosok wanita paruh baya berdiri di teras rumahnya. Dengan segera ia berjalan mendatangi wanita tersebut.
"Tante siapa? Kenapa di rumahku?" tanya Aurellia dengan polos.
Wanita itu yang tadinya menghadap pintu langsung berbalik, dan menatap Aurellia. "Eh, kamu, ya, yang punya rumah ini?" tanya balik.
"Iya, ini rumahku. Memang ada apa?" Aurellia kembali bertanya.
Wanita itu tersenyum. "Tidak apa-apa. Tante hanya berteduh, capek habis jalan dari pasar," katanya.
"Nama tante siapa?" Aurellia terus bertanya.
Wanita paruh baya itu tersenyum. "Kenalkan, aku tante Tatrix," jawabnya.
Aurellia tidak menjawan dan hanya mengangguk.
Tiba-tiba Aurellia melihat sebuah boneka tergendong di tangan wanita itu. "Tante, kenapa kamu membawa bonekaku?"
"Loh, ini bonekamu?" tante Tatrix memperlihatkan boneka itu kepada Aurellia. "Maaf kalau begitu, tadi tante menemukan di lantai rumah kamu. Lucu bonekanya, jadi tante ambil, deh," jelasnya. Tante Tatrix memberikan boneka itu kepada Aurellia.
Aurellia tidak menjawab, dan menerima memberian boneka dari wanita paruh baya tersebut.
"Namanya boneka ini siapa?" wanita paruh baya itu kembali bertanya.
"Belum aku kasih nama," jawab Aurellia.
"Kasih saja nama Ceki," kata tante Tatrix.
"Ceki?" kata Aurellia dengan lirih.
"Iya, Ceki, cukup bagus dengan nama bonekamu," jelasnya.
Aurellia tidak menjawab, dan masih memikirkan saran nama dari tante Tatrix.
"Kalau kamu suka dengan boneka ini, kamu jaga baik-baik. Karena boneka juga punya perasaan. Meski tidak bergerak, namun bisa menyaksikan apa yang sedang kamu lakukan, merasakan apa yang kamu perbuat, dan mendengarkan apa yang kamu dengar," kata tante Tatrix yang panjang lebar.
Tante Tatrix mengambil tas yang berdiri di samping kakinya, kemudian berjalan meninggalkan Aurellia.
"Tante sudah mau pulang?" tanya Aurellia.
"Iya, karena bentar lagi ayahmu akan membunuhku," jawab tante Tatrix.
*****