"Ibu, kenapa berisik sekali," kata Aurellia dengan ekspresi yang masih mengantuk. Aurellia mengucek salah satu matanya dengan jari telunjuk.
"Eh, Ellia. Maaf ibu telah membangunkanmu karena kebisingan ini," jawab Alsa sembari menggoreng beberapa bumbu. "Tapi, seorang wanita harus terbisa bangun pagi, biar menjadi wanita yang baik," sambungnya.
"Apa hubungannya bangun pagi dengan wanita baik?" tanya Aurellia dengan polosnya.
Alsa menghentikan aktivitasnya, kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan Aurellia. Kedua tangan Alsa memegang bahu Aurellia, meski tangan kanannya masih memegang sudip aluminium. "Dengar, Ellia. Jika kamu bangun pagi, maka kamu akan bisa menyelesaikan semua kewajibanmu, seperti memasak, mencuci, menyapu, ataupun kewajiban-kewajiban lainnya. Dengan begitu, kamu akan terlihat sebagai seorang wanita yang baik," jelas Alsa.
Alsa bangkit, dan berdiri di depan Aurellia. "Karena sekarang sudah pukul 6, kamu segera siap-siap ke sekolah," suruhnya.
"Iya, bu," jawab Aurellia.
Aurellia berbalik badan, kemudian berjalan menuju ke kamarnya guna mengambil peralatan mandi. Namun, hanya beberapa langkah kaki saja, Aurellia berhenti, dan kembali menatap Alsa. "Ibu, semalam Ellia mimpi aneh sekali, yaitu mimpi ayah telah membunuh seorang wanita tua," katanya.
Detak jantung Alsa seketika terasa terhenti, mendengar apa yang barusan anaknnya ucapkan. Tubuhnya mulai mengeluarkan keringat, dada terasa sesak, karena detak jantungnya semakin lama semakin cepat. Ia terperangga, mendengar apa yang anak ucapkan tadi. Alsa terkejut bagaimana Aurellia bisa bermimi mengenai pembunuhan yang dilakukan oleh ayahnya, Amosa. Namun, Apakah ini hanya sebuah kebetulan?
Alsa berbalik badan, kemudian kembali menatap Aurellia. Alsa tersenyum tulus, meski ia paksa sedimikian kuat. "Ah, itu cuma bunga tidur, kamu jangan terlalu mempercayainya. Karena sejatinya tidak semua mimpi bisa di wujudkan," kata Alsa yang mencoba menenangkan dirinya dan menghilangkan rasa penasaran dari Aurellia mengenai mimpi barusan.
"Sudah, tidak usah terlalu di fikirkan. Aurellia, segeralah mandi keburu siang," suruh Alsa sembari mengelus kepala Aurellia.
"Baik, bu," jawab Aurellia."Eh, Ayah kemana, bu? Tumben tidak kelihatan?" tanya Aurellia.
"Ayahmu sudah berangkat kerja," kata Alsa yang masih berdiri di depannya.
Meski sadar dengan apa yang dilakukan, Alsa terus merasa sakit ketika harus berbohong kepada anaknya soal pekerjaan ayahnya. Ia tak tahu sampai kapan harus berbohong kepada dirinya dan anaknya yang masih polos. Semoga segera ada jalan keluar.
*****
Alsa melihat suaminya terkapar tak berdaya di atas lantai. Cairan merah pekat hampir menyelimuti sekujur tubuhnya. Bau anyir dan amis bergabung menjadi satu, membuat Alsa hampir muntah.
Alsa terduduk lemas, melihat leher suaminya tertancam sebuah pisau. punggungnya, pun, di penuhi dengan luka sayatan yang mengangga lebar. Darah segar terus berkecucuran keluar dari tubuh Amosa.
Tiba-tiba Alsa melihat sesosok anak berdiri di depannya, sembari memegang boneka di tangan kanannya. Alsa tidak terlalu jelas melihat siapa yang sedang berdiri di sana, karena cahaya ruangan terlalu gelap.
"Apakah itu kamu Aurellia?" tanya Alsa dengan menteskan air mata. Alsa sudah tidak kuat lagi berdiri, kedua lututnya terasa lemas, melihat suamanya tewas dengan kondisi mengenaskan.
Anak misterius itu berjalan mendekati Alsa. Perlahan wajah gadis itu terlihat. Dan betapa terperangga Alsa melihat siapa yang sedang berjalanan menuju ke arahnya. Ternyata benar, dia adalah Aurellia.
"Kenapa, nak? Kenapa kamu lalukan ini kepada ayahmu?" bentak Alsa kepada Aurellia.
Aurellia berhenti melangkah, menatap ibunya yang menangis tak berdaya di atas lantai. Aurellia tidak bergeming, ia justru mengangkat tangan kirinya, kemudian mengarahkan jari telunjuk ke arah ibunya.
Tiba-tiba angin berhembus kencang, dan menerpa tubuh Alsa dan membuat rambut panjangnya terurai ke belakang layaknya bender yang berkibar. Dada dan perut Alsa terasa perih, dan Alsa juga merasa sakit jika bernafas, mengingat puluhan pensil bersemayang di dada dan perut Alsa. Pensil ini menancap bersamaan terpaaan angin tadi.
Alsa tertunduk, karena tidak kuat menahan rasa sakit akibat puluhan pensil menancap di tubuhnya. "Kenapa Aurellia? Kenapa kamu melakukan ini kepadaku?" tanya Alsa dengan merintih ke sakitan.
Aurellia tidak menjawab, dan berjalan mendekati Alsa sembari memeluk boneka. Aurellia berhenti, dan berdiri di depan Alsa yang sedang terkapar. "Kamu bilang kenapa? Lantas, kenapa kamu juga selalu berbohong kepadaku?" tanya balik Aurellia.
Alsa menunduk kembali, air matanya semakin deras berkucuran.
"Kamu tidak tahu bagaimana rasanya ketika mengetahui kejadian sebenarnya. Ayahku seorang pencopet, sekaligus pembunuh, tapi kenapa ibu malah berbohong kepadaku?" Aurellia kembali bertanya.
"Maaf-" kata Alsa yang terpotong.
"TIDAK ADA KATA MAAF BUAT PARA PEMBOHONG!!!!" teriak Aurellia yang begitu kencang yang di tujukan kepada Alsa.
Dengan cepat, Aurellia mengangkat pisau yang dari tadi berada di gengaman tangan kirinya, kemudian menancapkan tepat di kepala Alsa.
Alsa terbangun dengan terkejut, jatungnya berdetak kencang, dan sekujur tubuhnya basah akibat keringat yang terus berkecucuran. "Cuma mimpi ternyata," ucap Alsa dengan nafas ngos-ngosan.
Alsa menatap anaknya yang tertidur pulas di sampingnya. Ia melihat Aurellia hanyalah gadis kecil yang sedang tertidur pulas. Di sampingnya pula terbaring sesosok laki-laki yang tidak lain Amosa.
Alsa tersenyum, mengelus pipi Aurellia, meski dadanya masih berdebar mengingat apa yang ia impikan barusan. Alsa kembali berbaring. Baru saja ia berbaring, Alsa melihat boneka miliki Aurellia pemberian Amosa tertempel di langit-langit kamar, dan dibawahnya ada tulisan "Tunggu Pembalasanku".
*****