Rumi berdiri di depan rumahnya. Dia kembali lagi ke sini. Memangnya mau kemana? Dia tak punya tujuan selain rumah ini. Meksipun sebentar lagi semuanya akan disita. Dia tak tahu harus menginap atau menempati tempat macam apa. Nyatanya, Rumi akan benar-benar pontang-panting tak tentu arah dan tujuan nantinya. Sikap dan keras kepala yang dipunyai gadis itu membuatnya terjebak dalam sebuah frustasi yang luar biasa besarnya. Sebentar lagi ujian dilaksanakan. Rumi harus menghadapinya. Lalu, selepas itu? Dia tak tahu harus bagaimana. Tabungannya tak seberapa tak akan pernah cukup untuk menghantarkan langkah kakinya masuk ke universitas ternama bahkan swasta tak terkenal sekalipun. Mimpinya harus kandas sampai di sini.
Dia membuka pintu rumah. Berharap sebuah keajaiban datang. Orang-orang yang mencintainya, menyambutnya dengan riang gembira. Dia hanya ingin itu. Hidup dikelilingi orang yang akan tersenyum padanya setiap waktu. Menghibur, memberi motivasi untuk tetap hidup.
--dan inilah sambutannya. Rumi terkejut kala meja di ruang tamu penuh dengan makanan. Cokelat, camilan, minuman dingin, es krim, semuanya! Dia bahkan tak bisa menyebutkan itu satu persatu. Ditambah diamnya ada karena pria itu duduk di sana. Menghadap sebuah kue besar yang tak pernah disangka oleh Rumi sebelumnya.
"Happy birthday!" katanya. Tak ada emosi. Bahagia pun tidak. Mr. Tonny bukan tipe orang yang bisa memaksakan itu. Bahagia dan senyum, sepertinya adalah hal yang langka untuk pria itu.
"Ulang tahunku masih beberapa hari lagi. Tepat setelah ujian dilaksanakan. Kenapa merayakan itu sekarang?" Rumi masuk ke dalam rumah. Menatap sekelilingnya. Mr. Tonny menyiapkan semua ini?
"Itu sebabnya aku merayakannya sekarang. Dua hari lagi aku akan pergi."
--kalimat itu menghentikan Rumi. Pandangan matanya tertahan pada satu titik yang sama. Wajah Mr. Tonny. Pria itu terlihat lebih menyakinkan, jika itu hanya sebuah kebohongan.
"Kau ... kau akan pergi?" tanyanya melirih. Naasnya, hati Rumi mulai berubah. Hari demi hari bersama dan bertemu dengannya, membuat Rumi sedikit punya harapan. Ada orang yang bisa didatangi suatu saat nanti jika dia butuh. Entah untuk menghabisi nyawanya atau menolongnya sekalipun.
"Aku punya urusan. Lagian aku tak bisa mengganggu dirimu jika kau sedang ujian. Aku tak mau merusak segalanya. Kau bilang aku hanya parasit." Mr. Tonny tersenyum seringai. Kembali duduk. Tangannya mempersilakan Rumi untuk melakukan hal yang sama.
"Duduklah. Kenapa diam saja?" Mr. Tonny menyahut lagi kala Rumi masih saja kokoh di tempatnya. Berdiri memandang semua yang ada di atas meja.
"Tentang orang tuaku ...." Rumi menyela. "Mereka benar-benar seorang pembunuh yang menghabisi tiga istrimu dan putramu?"
Mr. Tonny sekarang diam. Ia ikut menatap Rumi dengan penuh keseriusan. "Aku tak suka berbohong, Rumi. Itu bukan caraku berkerja." Ia tersenyum tipis. "Duduklah. Lilinnya perlu ditiup."
"Sejak kapan kau peduli?" Rumi menyela lagi. Tak terima dengan keadaan aneh ini begitu saja. "Ulang tahunku. Aku membaca buku tentang pekerjaanmu sebagai seorang pembunuh, mafia, dan semacamnya ... kau tidak digunakan untuk hal semacam ini."
Mr. Tonny tersenyum tipis lagi. Kepalanya mengangguk. "Aku harus profesional." Dia tertawa. "Duduklah. Aku akan memotong kuenya."
"Profesional? Kemarin kau membentak dan menarik rambutku. Seakan ingin melepas kepalaku. Sekarang kau datang dan menyajikan semua ini? Ada bayarannya bukan?" Rumi sekarang berjalan mendekat. Duduk di ujung sofa. Sedikit jauh dari Mr. Tonny. "Apa bayarannya? Masih menikah denganmu?"
Mr. Tonny menghela napasnya. Meletakkan pisau panjang, bukan pisau roti atau pisau buah. Itu jauh lebih tajam. Bahkan pisaunya bisa digunakan untuk membelah perut Rumi jika dia terus saja keras kepala begini.
"Kau bahkan membawa pisau dan pistolmu hanya untuk merayakan ulang tahunku. Berhentilah berpura-pura dan memaksakan dirimu, Mr. Tonny. Aku tahu ini menyimpang dari pekerjaanmu."
Mr. Tonny menghela napasnya. Kepalanya manggut-manggut. Tentu saja, Rumi bukan gadis bodoh. Nilainya memuaskan, pasti logikanya berjalan dengan baik. Sama seperti mendiang ayahnya.
"Aku akan membayar semua luka yang diberikan kedua orang tuaku. Namun, bukan menjadi istrimu." Rumi bangun dari tempat duduknya. "Menyerah saja. Aku tidak akan termakan dengan semua ini." Ia berjalan. Menjauh dari ruang tamu, berniat masuk ke dalam kamarnya.
Namun, sigap tangan Mr. Tonny menariknya. Menahan Rumi agar tak keluar dari jangkauannya sekarang. "Kau pikir dengan masuk ke dalam kamar itu akan menyelamatkan dirimu?" Suara beratnya berubah. Rumi melirik tangan kiri pria itu kembali memasukkan pistol ke dalam saku jasnya.
"Tak jadi menembakku?" tanyanya. Melepaskan kasar genggaman Mr. Tonny. "Jujur saja, aku lebih lega jika kau menembak kepalaku sekarang, Mr. Tonny."
"Putus cinta membuatmu gila?" Pria itu tertawa. Menarik bahu Rumi dengan kasar. Memberi perlakuan sebagaimana mestinya. Selama ini Mr. Tonny menahannya. Bukan karena iba, sebab Rumi adalah remaja. Dia mengikuti gaya kerja dan konsep dunianya. Perlakuan yang hangat dan penuh cinta. Nyatanya, itu tak meluluhkan hati batu milik Rumi.
"Kau tahu ...." Rumi menelan salivanya sejenak. "Aku sempat berpikir bahwa semua kekacauan ini adalah ulahmu." Dia menatapnya dengan sayu. "Siapa yang bisa mengambil rekaman di tempat pribadi yang hanya orang-orang punya koneksi dalam bisa melakukannya?" tanya Rumi. Dia melewatkan satu fakta.
"Pemuda itu berbicara sesuatu rupanya," lirih Mr. Tonny menerka. Genta cukup pandai dan cerdik.
Rumi menggelengkan kepalanya. "Dia tak memberi tahu apapun. Dia hanya menyadarkan otak bodohku, Mr. Tonny. Aku tertipu padamu." Rumi mendorong kasar tubuh pria di depannya. Seakan ingin memprotes, tetapi nyatanya, dia kalah. Dia tak bisa berbuat apapun. Tak bisa menduga bahwa semua kekacauan dalam hidupnya bersumber dari satu dalang yang sama.
"Hanya kau dan seluruh anak buahmu yang bisa mendapatkan rekaman itu. Kau yang menjatuhkan Gilang dan menghancurkan hatiku, Mr. Tonny. Sekarang kau berbicara pasal kebahagiaan, perayaan ulang tahun, tidak akan mengganggu diriku?" Rumi tertawa lepas. Dia gila, rupanya. "Bullshit!"
"Go away!" Rumi menolaknya lagi. Mengusir Mr. Tonny mentah-mentah. "Bawa semua sampah itu keluar dari rumahku dan pergilah seperti yang baru saja kau katakan. Lagian, kau juga akan meninggalkan diriku jika aku tak memberikan keturunan laki-laki bukan?"
"Rumi," panggilnya dengan lirih. "Jangan gegabah."
"Jangan gegabah?" Ia kembali tertawa. Lebih lepas, berusaha menjadi gila segila mungkin. Tak ada waras yang bisa diselamatkan oleh dirinya. "Kau berpikir aku tadi akan duduk, bertepuk tangan, menerima lamarannya dan kita menikah?"
"Aku bahkan akan memaksamu," ucapnya. Dengan ekspresi wajah yang dingin.
"Memaksaku?" tanyanya. Mengerutkan keningnya samar. "Untuk menikah denganmu?"
Mr. Tonny menyunggingkan senyum. Tiba-tiba saja dia mendorong tubuh Rumi membentur pintu kayu di belakangnya. Dengan kasar membuka pintu itu, dan mendorong Rumi lagi.
Tubuh gadis itu jatuh di atas ranjang yang sedikit reot. Suara decitan besi keropos menyita fokus keduanya sejenak.
"Memaksamu untuk melayaniku." Dia tersenyum picik. Menatap Rumi yang mulai ketakutan bukan main kala pria itu melepaskan jas yang ia kenakan.
"Kau selalu saja keras kepala."
Rumi ingin bangun, kabur. Namun, Mr. Tonny menarik bahunya dengan kasar. Kembali menjatuhkan gadis itu di atas ranjang. "Kau benar, aku muak dengan kepura-puraan ini, Rumi. Mari selesaikan seperti sebagaimana aku bekerja di luar sana." Mr. Tonny mulai menindih tubuh gadis yang terus meronta. "Memaksa dan melakukan paksaan itu."
... To be continued ...