Chereads / Big Man : The Greatest Mr. Tonny Ayres / Chapter 29 - 29. Danau tepi kota.

Chapter 29 - 29. Danau tepi kota.

Rumi memandang jauh danau yang ada di depannya. Rasanya aneh, dia berakhir dengan pria ini lagi. Namun, jika tidak ada Mr. Tonny, dia mungkin sudah menjadi bulan-bulanan napsu pria bejat itu. Rumi mungkin akan benar-benar kehilangan keperawanannya sebab kecerobohan dan kebodohan yang dia lakukan.

Mr. Tonny menyodorkan satu cup kopi yang dibelikan oleh anak buahnya, memberikan itu pada Rumi. Meksipun gadis itu enggan untuk menerimanya. Dia hanya diam, menatap Mr. Tonny dalam kepedihan.

"Ambilah. Ini bisa menghangatkan tubuhmu." Pria itu menarik tangan Rumi. Mengeluarkan dari dalam celah jaket tebal milik Mr. Tonny.

Dia duduk di sisi Rumi, memberi celah. "Kenapa datang ke sana?" tanyanya. Melirik Rumi yang masih diam. Gadis itu bermain dengan mulut cup kopi di dalam genggamannya. Tentu saja, berbicara dalam keadaan syok bukanlah hal yang mudah. Rumi masih terbayang-bayang adegan gila tadi senja.

"Katanya kau akan pergi waktu itu ...." Rumi meliriknya. "Kau tak jadi pergi?" tanyanya mengabaikan pertanyaan dari Mr. Tonny. Dia kira, pria ini benar-benar tidak ada di Indonesia. Entah untuk apa, katanya mau pulang ke kampung halaman.

"Kau mengikuti diriku?" Rumi menoleh lagi. "Sampai ke tempat ini?" Gadis itu berdecak. "Kau benar-benar mengawasiku siang malam." Dia tersenyum getir. setidaknya, Rumi bisa bernapas lega. Mafia kelas kakap mengawasi dan menjamin keselamatannya.

Meksipun sebenarnya dia tak benar-benar bersyukur atas hal itu.

"Aku tidak mengikutimu," ujarnya pada Rumi. Suara berat kembali menyela. "Aku datang ke sana karena ada yang harus aku temui."

"Tolong cari bibiku." Rumi tiba-tiba saja membuka suaranya. Menoleh. Tatapan matanya seakan memohon. Minta agar pria di sisinya ini kembali menolongnya. "Aku mohon," imbuhnya.

"Bayarannya?" sahut Mr. Tonny dengan ekspresi wajah datar. "Tak ada yang gratis dari bantuanku, Rumi. Semua tenaga Hawtorn dan Black Wolf disewa dengan harga yang mahal."

Rumi diam. Mengulum salivanya berat. Dia tak mampu, bahkan mengeluarkan uang satu lembar seratus ribu saja terasa begitu berat untuknya.

"Kenapa mencari bibimu? Dia ada di Indonesia."

Rumi kembali menatap Mr. Tonny. Bibirnya hampir saja bergerak, bertanya bagaimana pria itu begitu yakin tentang keberadaan sang bibi. Namun, dia mengurungkan niatnya. Rumi tahu, Mr. Tonny mengawasi semuanya.

"Aku ingin bertemu dengannya. Ada yang ingin aku tanyakan," ujarnya melirih. "Aku juga harus berpisah dari dia sebelum dia pergi ke luar negeri." Rumi menambahkan. Masih dengan tatapan mata yang jatuh menatap kopi hitam di dalam cup berukuran sedang.

"Apa yang ingin kau tanyakan?" Mr. Tonny menyahut. Menatap Rumi dengan ekspresi wajah datar. Seakan tak ada emosi apapun untuk gadis di sisinya.

Rumi tak menjawab. Sejenak diam membentang di antara keduanya. Toh juga, mau berkata apa lagi? Rumi enggan menjelaskan keadaannya.

Rumi menghela napasnya lagi. Menatap cup kopi di dalam genggamannya. Itu menghangatkan telapak tangannya yang masih gemetar. "Kenapa kau menembak kakinya tadi?" Rumi mengalihkan pembicaraan. Masih dengan cara dan nada bicaranya yang khas, dia memelas.

"Kau mau aku menembak kepalanya?" tanya pria itu tertawa ringan. "Seharusnya aku melakukan itu tadi. Aku kira kau benci—"

"Kau tak merasa bersalah setelah melukai orang lain, Mr. Tonny?" Rumi menoleh. Ditatapnya wajah tampan yang terlihat begitu khas untuk dirinya.

"Aku mafia, bukan dokter. Aku penjahat bukan malaikat." Mr. Tonny menyahut tanpa basa-basi. Begitulah cara dia bekerja. "Aku bahkan pernah memenggal kepala orang, jadi menembak kakinya bukan apa-apa."

Gadis itu kembali bisu, anggukan kepala mengerti semuanya. Cara kerja pria ini berbeda dari orang lain. Bagaimana bisa Rumi menjadi istrinya nanti?

"Aku menebak kepala orang pertama kalinya adalah saat usiaku 17 tahun. Tepat di hari ulang tahunku, aku melihat ayahku membantai keluarga yang tak berdosa. Namun, menurut Hawtorn, mereka adalah pengkhianat. Aku bahkan melihat kepala seseorang hancur di depan mataku." Mr. Tonny mulai bercerita. Merapatkan duduknya, menyilangkan kaki dengan rapi. "Setelah itu aku mengangkat pistol untuk pertama kalinya. Menembak kepala seorang bawahan yang aku sendiri tak tahu, kenapa aku memilihnya sebagai targetku."

Rumi mendengarkan. Tak mau membuka mulutnya sedikitpun. Kisah Mr. Tonny sungguh mengejutkan. Dia berpikir, pria ini menjadi pemimpin atau bos mafia setelah menikah di usia yang matang. Itu wajar, setiap orang punya kehidupannya masing-masing.

"Kenapa wajahmu begitu?" tanya Mr. Tonny kala tak sengaja pandangan mata mereka bertemu dalam satu titik. "Kau kira aku berbohong hanya untuk membuatmu simpati?"

Gadis itu tersenyum miring. "Kau tak butuh simpati, aku yakin itu."

"Hanya saja ... itu mengejutkan diriku, Mr. Tonny. Aku berpikir kau mendapatkan jabatan ini di usia yang matang." Rumi melanjutkan. Kembali menatap wajah pria di sisinya. "Setidaknya aku tahu sekarang bagaimana kalian mengangkat bos baru."

Mr. Tonny tersenyum miring. "Kau juga akan tahu bagaimana bos mafia memperlakukan penggantiannya nanti di malam pertama. Kau tidak akan menyesali itu, Rumi."

Rumi mengerutkan keningnya. "Aku masih sekolah. Aku masih muda dan aku bukan pelacur yang menjual diriku."

"Kau calon istriku," ujarnya menutup kalimat dengan mantap. "Itu faktanya."

"Tanggal 9 di bulan Desember nanti, aku akan membawamu ke Las Vegas. Selama menunggu hari itu datang, jangan pergi kemanapun."

"Kau memerintah diriku?" tanya Rumi tertawa aneh.

"Aku sedang mengancammu, Rumi."

... To be continued ...