Di tempat ini Rumi akhirnya datang kembali. Tidak menunggu pagi berganti, nyatanya Rumi punya sedikit kebaikan untuk segera mengembalikan pistol milik Mr. Tonny Ayres kembali pada pria itu. Pikirannya melalang buana. Entah mana yang benar, tetapi dia khawatir jika saja keadaan buruk tiba-tiba menimpa pria itu, dan dia tak punya persediaan senjata di tangannya. Rumi hanya tak ingin rasa bersalah mengekori langkahnya jika pria itu kenapa-kenapa nantinya. Mungkin dia hanya cukup mengembalikan ini dan pergi menjauh dari bangunan yang ternyata adalah sarang mafia.
Namun, dia merasa terperangkap sekarang. Rumi didudukkan paksa di atas sebuah kursi besar yang menghadap ke meja panjang, penuh dengan menu makanan yang lezat. Bukan untuk sarapan, ini adalah waktu yang tepat menunggu waktu makan malam, jika senja purna dari tugasnya.
Rumi tak boleh pulang sebelum dia menyelesaikan semua hidangan yang dibuat untuk Rumi. Penuh paksaan, tentunya. Bahkan beberapa orang menunggu dirinya di ambang pintu. Takut kalau Rumi kabur tanpa kabar.
"Boleh aku bertemu dengan Mr. Tonny?" Rumi beralasan, menoleh pada Pitter yang berdiri di sisi pintu masuk.
"Mr. Tonny sedang berlatih menembak sekarang."
Rumi tak peduli --itulah yang ingin ia katakan. Toh juga, dia sudah mengembalikan pistol itu dan memberikannya pada Pitter sebelum ini. Jadi, Rumi sudah menepati janji sepihak yang dilakukan oleh Mr. Tonny sebelum dia datang.
"Aku ingin melihatnya," ujar Rumi dengan tatapan polos. Tersenyum ringan menutup kalimat. Dengan pandangan mata yang teduh, dia berusaha mengelabuhi Pitter sekarang. Rumi tak suka olahan daging setengah matang begini. Lidahnya bukan lidah orang barat. Dia asli Indonesia. Mungkin jika itu adalah hidangan sate ayam atau semacamnya, Rumi akan menyantapnya habis tak peduli bahwa dia sedang menjilat ludahnya sendiri untuk tidak memakan apapun dari yang Mr. Tonny. Siapa peduli? Sumpah itu hanya dia gembar-gemborkan pada Mr. Tonny Ayres.
"Seumur-umur aku tidak pernah melihat orang menembak. Jadi aku pikir akan keren jika melihat orang menembak di senja begini." Rumi tersenyum lagi. Terus mencoba meluluhkan dinginnya sikap pria ini. Semua orang sama, punya kesetiaan yang luar biasa pada bos-nya. Tak akan terkecoh jika hanya sebab rayuan bocah puber seperti dirinya.
"Please ...." Rumi menyatukan kedua telapak tangannya, memohon. "Aku tidak akan melakukan hal yang macam-macam. Setelah kembali dari melihat tembak, aku akan makan semua ini lalu pulang," ujarnya lagi.
Pitter menghela napasnya ringan. "Kau janji?"
Rumi mengangguk. Dia bak bocah antusias sebab mendapat ribuan gula-gula. "Janji!"
••• Big Man Season 1 •••
Perjanjian itu membawa Rumi ke tempat ini. Pria dewasa itu membawanya ke sebuah ruang besar dengan salah satu dingin kaca yang menghadap ke sebuah lapangan besar. Di sana, Rumi melihat Mr. Tonny berdiri memegang senapan Laras panjang. Suara tembakan menghujani keadaan sepi. Sesekali berdengung di dalam telinganya sebab Rumi belum terbiasa.
Nyatanya, dia benar-benar pak tua yang keren! Tubuhnya bak binaragawan berotot pepak. Wajahnya awet muda menyempurnakan ketampanannya. Mr. Tonny Ayres tak punya celah dan kekurangan. Jika saja dia bukan bos mafia yang mengoperasikan sebuah organisasi ilegal dan menyeramkan untuk gadis desa seperti Rumi, mungkin dia sudah menerima tawaran pernikahan itu jauh-jauh hari.
Tembakan terakhir. Tepuk tangan dari seorang pria tua berwajah keriput yang berdiri di sisi sasaran tembak terdengar samar masuk ke dalam lubang telinga Rumi. Ia tak bisa mendengar apapun yang dikatakan oleh Mr. Tonny dan pria itu, jarak mereka terlalu jauh. Lagian, Rumi hanya mengawasinya dari dalam ruangan. Tak sama-sama berada di luar ruangan.
Sebuah percakapan yang singkat, Mr. Tonny pergi meninggalkan pria itu kemudian. Rumi melihatnya mulai membereskan semua peralatan tembak milik Mr. Tonny. Dia adalah bosnya. Mau tua mau muda, semaunya sama saja. Harus tunduk dan merapikan semua kekacauan yang ditimbulkan pria itu.
Seseorang tiba-tiba saja menekan gagang pintu di belakangnya. Rumi terkejut bukan main. Pintu dibuka dan seorang pria berdiri di sana. Aneh, begitulah wajahnya kala memandang Rumi.
"Kenapa kau di sini?" Ia bertanya. Suara berat yang khas. "Mengembalikan pistolnya?" Mr. Tonny menebak asal. Sedangkan gadis yang diajak berbicara hanya menganggukkan kepala. Bingung, apa pria ini? Kenapa dia berjalan sembari melepas satu persatu kancing bajunya.
"Stop!" Rumi tiba-tiba saja menghentikan aksi Mr. Tonny. Empat kancing kemeja sudah terbuka. Tinggal satu dan pria itu akan segera melepas kemejanya. "What are you doing?" tanya Rumi kebingungan. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri. Ini bukan kamar pribadi Mr. Tonny. Ruangan ini lebih mirip dengan ruang kerja yang tak terpakai. Mungkin, Mr. Tonny bersantai di sini sembari menikmati suasana yang ada melihat pemandangan dari dingin kaca di sisinya benar-benar menakjubkan.
"Melepaskan bajuku." Mr. Tonny merentang satu tangannya. "Kau boleh melakukan hal yang sama jika mau. Tak ada yang berani masuk ke sini tak seijinku. Kau bahkan boleh bertelanjang," jawabnya dengan cuek. Ia kembali meneruskan aksinya. Kini pria itu benar-benar melepas bajunya. Bertelanjang dada di sudut ruangan. Memunggungi Rumi yang entah mengapa diam secara tiba-tiba.
"Ini adalah ruang bersantai untukku selain di serambi bangunan ini. Aku biasa merokok dan melakukan hal yang lainnya. Hal yang berhubungan dengan seorang pria," ujarnya memutar tubuh jangkung dan kekar miliknya. Ia melihat Rumi yang diam sembari memalingkan wajahnya. "Aku yakin tubuhku tak mengecewakan untuk dilihat. Kenapa kau memalingkan wajahmu?"
Rumi menelan salivanya dengan berat. Tak berucap sepatah katapun sekarang. Ia menghela napasnya.
"Aku yakin kau suka menonton film dewasa. Ini tak jauh berbeda."
Rumi memutar bola matanya. Menggaruk sisi punggungnya yang tak gatal. "A--aaku ... aku akan keluar. Sepertinya ..." Rumi mulai melangkah dengan lambat. Mencoba meninggalkan ruangan ini. "Sepertinya sup daging di atas meja tadi sudah dingin. Aku hanya pergi untuk melihat-lihat. Sepertinya aku salah tempat," ujarnya terus mengelak.
Mr. Tonny tersenyum tipis. Dia tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Sigap tangannya menarik bahu Rumi. Membawa gadis itu jatuh tepat di atas meja panjang penuh dengan buku dan tumpukan dokumen. Tak peduli, sebab tangan Rumi yang mengenai tumpukan itu, semua buku dan kertas di atas meja jatuh ke lantai. Menimbulkan suara yang cukup mengganggu.
"Kau yakin akan pergi begitu saja, Rumi?" bisiknya. Tersenyum evil. "Kau yakin, tak mau menikmatinya?" Mr. Tonny menarik tangan Rumi. Meletakkannya di atas dada bidang dengan bulu-bulu tipis di atasnya. Rumi merasakan lekukan otot yang begitu nyata. Baru kali ini dia menyentuh tubuh seorang pria. "Aku mencium gairahmu," ujarnya lagi. Menggoda Rumi tanpa ampun.
... Bersambung ...