"Mas, mau aku buatkan teh hangat?"
Rayhan baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya masih terlihat basah. Istrinya sudah berdiri di depan kamar mandi menawarkan secangkir teh hangat untuknya. Malam ini Rayhan akan mengerjakan pekerjaannya. Tepat setelah Nara keluar dari kamar, dirinya berjalan menuju meja kerjanya dengan handuk yang masih berada di lehernya. Terduduk sembari mempersiapkan lembaran-lembaran dokumen yang akan dia kerjakan.
Saat membuka laci mejanya, ia melihat ada sesuatu yang terselip pada buku catatannya. Sebuah kartu nama yang sama sekali tidak Rayhan kenal siapa nama yang tertera di sana. Namun, ia sangat mengingat jika kartu nama ini pemberian dari sekretarisnya ketika ia baru selesai mengadakan pertemuan. Seketika ia mengurungkan niatannya menyentuh dokumen, dan atensinya lebih tertuju pada kartu nama yang berada di antara ibu jari dan jari telunjuknya. Obsidiannya sangat lekat memperhatikan kertas itu, dibarengi dengan pikiran yang berusaha keras mengingat nama ini.
Pintu kamar terbuka, menampilkan Nara yang berjalan membawa nampan berisikan secangkir teh hangat dan roti cokelat sebagai teman sang suami lembur. Selepas meletakkan bawaannya pada meja kecil dekat meja kerja sang suami, ia berjalan ke belakang kursi yang diduduki Rayhan. Mengambil handuk dan sengaja ia gunakan untuk mengeringkan rambut legam suaminya yang masih basah. Selagi tangannya bekerja, maniknya tertuju pada kartu nama yang dipegang Rayhan. Iya, dia juga teringat rentang kartu yang saat itu dia temukan.
"Bukankah itu kartu nama yang pernah aku tanyakan padamu?" tanya Nara dengan suara kelewat lembut.
Sang suami hanya menjawab dengan anggukan kecil beberapa kali. Lantas Nara mengalihkan pandangannya dari kartu nama dan kembali pada rambut suaminya yang sudah mulai mengering. Diambilnya handuk itu dan dia letakkan pada pundaknya. Berjalan keluar setelah selesai dengan urusannya.
"Haruskah kita pergi?"
Karena terkejut, Nara menghentikan langkahnya dan kembali menoleh ke arah suaminya. Dia hanya terdiam menatap Rayhan, menunggu suaminya itu kembali berbicara.
"Seperti yang diminta para orang tua," kata Rayhan lagi.
"Tapi, bukannya Mas Ray masih memiliki pekerjaan?" tanyanya.
Rayhan menyadarkan tubuhnya dan melipat kedua tangannya di dada. Maniknya melihat lampu ruangan ini sebelum membalas tatapan Nara. "Benar kata Mama, aku terlalu menyibukkan diri pada pekerjaan, membuatku kurang memperhatikanmu,"
Tidak tahu apa yang tengah Nara pikirkan, ia terlihat seperti seseorang yang linglung dan hanya bisa menatap sang suami dari jarak beberapa meter. Nara tidak ingin menyalahkan ataupun membenarkan kalimat suaminya, karena jika dilihat kehidupan mereka sehari-hari setelah menikah, memang terlihat sangat monoton. Namun, bagi Nara sendiri sama sekali tidak merasa keberatan, toh memang seperti itu adanya. Lantas, Nara hanya mengangguk untuk mengiyakan kalimat Rayhan.
Saat para orang tua datang dengan tiba-tiba, mereka menyarankan untuk Rayhan dan Nara melakukan bulan madu di luar kota. Dengan harapan ketika pulang mereka akan mendapatkan kabar gembira dari Rayhan dan Nara. Dan hal itu sempat menjadi sesuatu yang terpikirkan oleh Rayhan selama beberapa hari belakangan. Cukup lega saat ia membicarakannya pada Nara, dan disetujui oleh sang istri.
Sekitar jam sebelas malam, Rayhan masih berkutat di dalam ruang kerjanya. Sedikitpun dia tak mengeluarkan suara saking seriusnya. Memijat pelipisnya sebentar, berharap rasa pusingnya sedikit memudar. Rayhan melihat keluar ruangannya yang terhubung langsung dengan kamarnya. Cukup terkejut saat melihat posisi Nara yang nampak tak nyaman. Lantas ia menghampiri sang istri guna membenarkan posisi tidurnya. Ia yakin jika Nara pasti mencoba untuk menunggunya selesai bekerja.
Langkahnya semakin dekat pada sisi kanan ranjang—tempat Nara tertidur. Beberapa saat memperhatikan sang istri dalam ketenangan sebelum tangannya meraih kaki dan punggung Nara. Bergerak pelan agar tidak membangunkan istrinya. Rayhan juga mengambil ponsel sang istri untuk diletakkan di atas nakas. Belum saja posisi Nara benar-benar terbaring, Rayhan terkejut saat lehernya ditarik oleh Nara. Dirinya hanya mampu terdiam sebentar sebelum perlahan melepaskan kedua tangan Nara dari lehernya. Sayangnya, terlalu erat untuk dilepaskan, sehingga membuat Rayhan berlutut di sisi ranjang.
Mengamati wajah tenang sang istri membuat Rayhan perlahan tersenyum. Sangat damai memperhatikan wanita yang akan selalu menjadi orang pertama yang ia lihat saat membuka kedua matanya. Tangan kanannya terulur untuk merapikan anak rambut yang menutupi wajah Nara. Dan Rayhan mulai merasakan jika lehernya mulai terasa ringan saat Nara perlahan menurunkan tangannya dari sana. Segera ia memasukkan tangan istrinya ke dalam selimut.
Dilihatnya Nara sudah nyaman dengan posisi tidurnya, Rayhan langsung kembali ke ruang kerjanya guna merampungkan sisa pekerjaannya. Langkahnya cukup pelan, untuk meredam suara yang bisa saja timbul dari gerakan kakinya. Sampai menutup pintu ruang kerjanya saja, dia sangat hati-hati. Tak sengaja ia menyenggol bukunya dan membuat beberapa barang terjatuh ke lantai, termasuk kartu nama yang ia temukan tadi. Diambilnya semua barang itu, namun atensinya lagi-lagi terarah pada kartu nama yang entah milik siapa dan apa tujuannya diberikan padanya. Tak ada nomor yang bisa dihubungi di sana, hanya nama dan alamat perusahaan.
"Siapa dia?" tanyanya pada diri sendiri.
Pun Rayhan memasukkan kartu nama itu pada buku catatannya. Lantas membereskan semua barang-barangnya dan bergegas menuju ranjang. Ia enggan memikirkan hal yang tidak menguntungkan untuknya. Begitu menuju ranjangnya, ternyata posisi Nara sudah berubah. Saat ini, posisi mereka berdua justru saling berhadapan.
Laki-laki itu masih belum mau menutup kedua matanya, ia memperhatikan lekat wajah Nara. Tangannya pun ia lipat dan digunakan sebagai bantalan kepalanya. Sangat hening, hanya suara pendingin ruangan dan deru nafas yang terdengar di rungunya. Namun, ketika kelopak matanya hampir tertutup, ia terkejut mendengar suara Nara.
"Apa aku berhasil mendapatkan tasnya?" tanya Nara tiba-tiba.
Awalnya Rayhan kira istrinya ini sedang mengigau, hanya saja tak lama setelahnya kedua mata Nara terbuka perlahan, hingga tatapannya bertemu dengan tatapan Rayhan.
"Tadi, aku sedang berebut tas. Namun, aku belum tahu apakah berhasil mendapatkannya atau belum. Kedua kelopak mataku terlalu berat," kata Nara lagi.
Mendengar hal ini, Rayhan hanya memasang wajah datarnya. "Aku pikir, kau tertidur karena menungguku," dia mengubah posisi tidurnya, dan saat ini tengah menatap langit-langit kamar.
Terdengar kekehan dari Nara, ia mengeratkan selimutnya dan melihat sisi kiri wajah sang suami. "Aku memang tadi menunggumu. Namun, ketika melihat tas itu, jariku langsung bergerak kepadanya," tutur Nara seraya memamerkan sepuluh jari tangannya.
"Cantik," puji Rayhan.
"Aku tahu," balas Nara, ia membalikkan tubuhnya untuk meraih ponselnya.
"Tasnya yang aku maksud,"
Yang tadinya Nara sudah tersenyum dengan pujian yang ia kira mengarah padanya, seketika senyumannya luntur dan sedikit memberikan tatapan sinis pada sang suami.
"Iya, aku tahu kau memang ingin memuji tasnya," katanya tanpa melihat sedikitpun ke arah Rayhan.
"Yang akan menjadi pemiliknya jauh lebih cantik," puji Rayhan lagi.
Demi selai nanas yang ia makan tadi sore, Nara tidak bisa menyembunyikan senyumannya. Ia juga tahu, sebenarnya Rayhan sudah mengetahui jika dirinya membeli sebuah tas dan berhasil mendapatkannya.