Rupanya sangat aneh sekali ketika berpindah ke rumah baru. Apalagi aroma yang dihirup Nara kemarin dan hari ini juga berbeda. Ya ampun, padahal baru saja Nara mulai terbiasa dengan aroma dan suasana rumah orang tua suaminya. Sekarang, ia sudah merasakan aroma dan suasana yang berbeda di rumah Rayhan ini. Ah, apa Nara juga harus menyebutkan ini sebagai rumahnya? Tapi, semua ini didapatkan tanpa ia ketahui sebelumnya. Ya intinya, untuk saat ini dia akan selalu menyebut jika rumah ini adalah milik suaminya. Nara tak ingin membuat usaha Rayhan terasa sia-sia hanya karena penyebutan itu.
Kedua bola mata Nara sudah terbuka sejak lima menit lalu, namun ia masih merasa mengantuk karena harus membersihkan dan merapikan semua barang yang mereka bawa. Pundaknya terasa sedikit pegal saat kemarin mengangkat meja kerja bersama suaminya. Itu memang milik Rayhan, suaminya berkata jika meja itu sangat ia butuhkan. Sebenarnya jika dipikir, Rayhan bisa membeli meja baru, dan ia bisa memindahkan barang-barangnya ke meja yang baru. Tapi, semua tetap terserah apa yang ingin dilakukan Rayhan, sebagai istri Nara tidak ingin banyak melarang suaminya melakukan sesuatu.
Nara memijat sebentar kedua pundaknya, ia menoleh sekilas ke arah suaminya yang masih meringkuk di dalam selimut. Lantas ia turun dari ranjang, pergi menuju kamar mandi guna membasuh wajahnya agar kantuk tidak menguasainya lagi. Dia harus membuatkan sarapan untuk Rayhan. Tidak ada ibu mertuanya disini, jadi ia juga tidak bisa bersikap santai terhadap kebutuhan suaminya.
Ia melihat ke arah jam dimeja, Lena segera membangunkan Rayhan, karena ia tahu suaminya itu membutuhkan banyak waktu untuk bersiap. "Mas, bangun," tangan kirinya menepuk bahu Rayhan, dan tangan kanannya menggenggam tangan suaminya. "Jangan sampai bangun kesiangan, mas," ucapnya lagi.
Dirinya mendengar suara lenguhan Rayhan yang mulai membuka kedua matanya, hanya memberikan anggukan kecil sembari menggaruk tengkuknya. Melihat suaminya begini, Nara jadi harus menahan senyumnya, karena auranya berbeda sekali dibandingkan dengan tubuh Rayhan tertutup dengan jas rapi. Lantas ia pergi dari kamar mereka dan menuju dapur.
Semalam, dia dan Rayhan sudah pergi ke supermarket untuk membeli bahan makanan. Karena sekalian saja mereka membeli kebutuhan bulanan dalam dengan jumlah yang banyak, agar Nara juga tidak perlu repot-repot keluar rumah untuk membelinya. Dia membuka kulkas dan melihat semua bagian penuh akan makanan dan bahan makanan. Kendati penuh, Nara juga sedikit kebingungan membuatkan sarapan untuk sang suami.
Melihat ada daging ayam dan wortel, Nara berpikir untuk membuatkan sup ayam untuk suaminya. Pun dia mengeluarkan semua bahan yang dibutuhkan dan semua alat yang akan ia gunakan nantinya. Jujur saja, karena masih sangat baru dengan penataan dapur ini, pergerakan Nara lebih lambat daripada di rumah orang tua Rayhan. Semoga saja masakannya bisa selesai tepat sebelum Rayhan menuju ruang makan.
Sembari memasak, Nara itu sedang mengingat semua ruangan di rumah ini. Bukan karena dia ingin menghafalnya, melainkan ia ingin memastikan jika semua ruangan sudah bersih sebelumnya. Jadi, semisal nanti dia pergi menemui teman-temannya, Nara sudah tidak memiliki tanggungan untuk membersihkan rumah. Jadi, dia tidak merasa ada yang mengganjal saat pergi nanti.
Semua sayur dan daging ayam sudah masuk ke dalam panci dengan air yang mendidih. Tangannya mengaduk dan merasakan sup itu. Selagi menunggu, Nara mengambil mangkuk dan nasi untuk suaminya. Dan saat sayur sup itu sudah matang, semua yang Nara persiapkan dibawa menuju meja makan. Ia melihat ke arah kamarnya yang baru saja terbuka, menampilkan sang suami yang berjalan menuju ruang makan.
Untuk menyambut pagi suaminya, Nara langsung tersenyum lembut ke arah Rayhan. Tepat ketika suaminya berhenti disebelah meja makan, Nara langsung berjalan mendekat ke arah Rayhan. Kedua tangannya terarah pada dasi dan kerah pakaian laki-laki itu. Hanya membenarkan dasi yang terlihat miring, selebihnya penampilan Rayhan sudah tidak ada yang salah.
Rayhan menarik kursi, sedangkan Nara langsung mengambilkan gelas dan air mineral untuk suaminya. Keduanya duduk bersama, Nara hanya menemani sang suami untuk sarapan.
"Kau ikut sarapan juga," ajak Rayhan.
Nara hanya menggeleng lembut dengan senyuman dan kedua mata yang terpejam. "Mas Ray saja, aku bisa nanti," balasnya.
Tak ada jawaban apapun dari Rayhan, dia segera mengalihkan pandangannya menuju makanan buatan istrinya. Beberapa detik terdiam dan itu membuat Nara ragu jika suaminya tidak menginginkan sup yang ia buat ini. Namun, alih-alih berpikir begitu, tak lama Rayhan menarik kedua sudut bibirnya.
"Ternyata kau cukup memahamiku," ucap Rayhan yang masih menatap sup ayam itu. "Kau tidak memasukkan jagung ke dalamnya," tambahnya.
Nara mengigit bibir bawahnya, ia ikut melihat ke arah sup itu. "Iya, ibu sudah mengatakan padaku apa yang tidak disukaimu," katanya. Tangan Nara bergerak begitu saja untuk menuangkan sup ke atas nasi Rayhan, dia juga menambahkan daging diatasnya. "Katakan saja jika nanti rasanya tidak enak. Sup selanjutnya akan aku pastikan dengan rasa yang enak," katanya lagi.
Rayhan memasukkan suapan pertamanya ke dalam mulutnya. Dirinya tengah merasakan masakan istrinya ini. "Tidak perlu diganti, ini sudah enak," kata Rayhan dengan jujur.
"Aku harap itu bukan pujian untuk menghiburku," Nara tertawa kecil saat setelah mendengar kalimat Rayhan.
Setelahnya, Nara membiarkan sang suami menghabiskan sarapannya, dia hanya melihat Rayhan yang merasa suka dengan masakannya ini. Entahlah, walaupun Nara masih merasa canggung begini, namun dirinya harus bisa terbiasa dengan situasi seperti ini. Karena sisa hidupnya juga akan bersama dengan Rayhan.
Lewat sepuluh menit, Rayhan benar-benar menghabiskan semua isi mangkuk dan piringnya. Nara tidak berekspektasi sampai sini, karena ia pikir Rayhan akan berhenti makan saat nasinya sudah habis. Tapi ternyata, sup yang berada di mangkuk pun juga dihabiskan. Tentu saja Nara senang melihatnya.
"Nanti siang, ingin dibawakan bekal atau tidak?" tanya Nara dengan salah satu tangan ia gunakan sebagai tumpuan dagunya.
Selagi menunggu makanannya dicerna, Rayhan terdiam beberapa saat, memikirkan tawaran Nara barusan. "Tidak usah. Kau nanti akan pergi," jawab Rayhan.
Kini tangan Nara sudah terlipat diatas meja, dia menatap suaminya sebelum menimpali kalimat Rayhan.
"Padahal, jika Mas Ray ingin dibawakan bekal, aku bisa memasak terlebih dahulu sebelum bersiap,"
"Tidak usah. Kau pasti butuh waktu lama untuk mempercantik diri," goda Rayhan.
Tak lama setelahnya, Rayhan bangkit dan memasang jasnya. Dirinya memasukkan ponsel ke dalam saku jam bagian dalam, berdiri dari kursi yang diikuti oleh sang istri. Dia sudah siap untuk berangkat ke kantor. Sebelum pergi dari hadapan sang istri, Rayhan secara tiba-tiba mencium bibir Nara dan mengusap kepala wanita itu.
"Aku berangkat," pamitnya.