Hasna menjawab Hanan sesuai pertanyaan dan kenyataan mengenai keberadaan Hana. Pemuda itu berdeham, seakan ingin memulai percakapan kembali. Suasana canggung menyelimuti mereka. Hasna terlihat tidak nyaman dan Hanan menyadarinya.
"Ya udah, nanti kalau Hana nyari saya dan enggak dapat balasan pesan dari saya, tolong bilang saya harus pergi mengurus sesuatu."
Hasna sedikit kecewa karena ternyata Hanan hanya ingin mengatakan hal itu. Matanya terlihat sayu dan menunduk, bahkan bibirnya agak bergetar. Napas perempuan itu juga memburu menahan gejolak yang tidak ingin ia akui. Namun, beberapa detik kemudian dia menggeleng kecil, menertawai dirinya sembari bertanya-tanya dalam hati tentang kewarasannya. Pada detik berikutnya wanita itu tersenyum seraya mengiyakan. Setelah itu, Hanan mengucapkan terima kasih lalu keluar dari kafenya. Hasna lagi-lagi hanya bisa menyaksikan tubuh Hanan yang membelakanginya. Kata 'seandainya' pun meluncur lolos dari bibir secara tidak sadar.
"Seandainya saja aku sadar lebih awal. Seandainya aku belum pernah menikah. Seandainya—" Lalu kalimatnya terhenti begitu saja, menyadari kesalahan karena berandai-andai dan menyesali kejadian yang telah berlalu.
Wanita itu beristighfar, memohon ampun kepada Sang Pemberi Kehidupan. Lagi-lagi, ingatannya melayang ke masa lalu. Kali ini ketika hari pernikahannya dulu. Hana datang bersama Hanan. Mereka diundang oleh Hasna. Sebenarnya, hanya Hana yang diundang, tetapi Hana memilih pergi bersama kakak lelakinya, Hanan. Awal ketika kedatangan mereka, ayah Hasna menatap sinis kedua kakak-beradik tersebut. Dia bahkan mengawasi gerak-gerik kedua orang itu, karena mengkhawatirkan mereka—Hana dan Hanan—berbuat onar. Hana terlihat sangat senang melihat pancaran kebahagiaan di mata sahabatnya, berbeda jauh dengan yang sebelumnya yang tampak kecewa. Hasna semakin menambahkan rasa cinta kepada sahabatnya itu. Di samping Hana, ada Hanan yang tampak rapi dan berwibawa. Pakaiannya berwarna senada dengan Hana, warna ungu muda. Hanan menjadi pria tertampan yang pernah Hasna lihat hari itu. Jika dia bisa jujur, Hanan jauh lebih tampan dibandingkan suaminya.
Ketika akan pulang, biasanya dan sudah menjadi tradisi akan ada sesi pemotretan bersama pengantin. Karena pergi berdua, Hanan pun menuruti adiknya yang sangat ingin berfoto dengan Hasna beserta suami sang gadis pengantin. Saat itu pula ayah Hasna dan istrinya yang tak lain ibu tiri Hasna ikut ke pelaminan, berdiri di samping Hasna, seakan-akan perbuatan itu tanda untuk melarang dua manusia itu mendekati putrinya. Mengejutkannya lagi, sang ayah memerintahkan ibu tiri Hasna untuk berdiri tepat di samping menantu mereka.
Hana menghela napas, lantas berkata, "Kami enggak foto kok, Pak. Bapak tenang aja, kami sadar diri kok kalo gak pantas." Hana berkata seakan itu hanya percakapan ringan biasa.
Hanan memelotot dan menyenggol lengan Hana, isyarat peringatan, bahwa yang dikatakan adindanya bukan hanya tidak sopan tetapi bisa melukai perasaan Hasna. Sementara si pengantin wanita memerah wajahnya karena malu. Ayahnya benar-benar kelewat batas.
"Begitu? Tapi, sadar yang sebetulnya itu, ya nggak usah datang ke acara ini!" Aksa membalas sinis, terkesan sengit.
Hasna ingin mengatakan sesuatu untuk menanggapi kalimat pedas ayahnya, demikian pula Hana. Namun, Hanan lebih cepat mengambil alih.
"Mohon maafkan kelancangan kami, Pak. Kami datang semata-mata karena diundang. Bapak lebih berpengetahuan bahwa menghadiri undangan hukumnya wajib." Lembut dan penuh kehati-hatian untuk tak menyinggung Aksa, ayah si perempuan yang tengah menikah.
Hasna tersenyum miris, tak mengerti mengapa sang ayah begitu tidak menyukai dua bersaudara itu. Suaminya tak berkata apa pun. Hana dan Hanan kemudian berpamitan setelah mengucapkan kalimat doa buat kedua mempelai.
Lagi-lagi ingatan Hasna harus kembali karena teriakan menggema dan mendayu-dayu dari Hana yang entah kenapa terasa lama sekali kembalinya.
"Has~na!"
"Lama sekali. Ngapain aja? Sekalian tidur?" sindir Hasna.
"Bang Hanan enggak ke sini? Ke meja kita, maksudnya." Bukannya menjawab, Hana malah balik bertanya.
"Buat apa Bang Hanan ke sini?" Hasna membalikkan lagi.
"Ya jawab aja kali … susah amat! Bang Hanan ke sini gak?"
"Enggak tuh!" Hasna berbohong.
"Masa sih?" Hana tampak tidak percaya kalau abangnya melewatkan kesempatan.
"Kenapa emang?"
Hana tidak menjawab. Dia masih tenggelam dengan pikiran tentang kakak lelakinya yang membuang kesempatan.
"Beneran, Bang Hanan enggak ke sini?" Hana masih gencar menanyai, dia benar-benar tidak percaya kalau Hanan menyia-nyiakan waktu.
"Tadi kan aku udah jawab, Hana. Lagian buat apa lagi Bang Hanan ke sini, kan sebelumnya udah."
"Ya, kali aja kan. Buat apa gitu. Namanya juga usaha." Hana tertawa geli setelahnya.
Hasna yang sudah hapal sekali pada perangai sang sahabat yang suka sekali menjodoh-jodohkannya dengan saudara kesayangan ikut tertawa.
"Usaha terus, ya Han!"
Hana menjawab, "Wo iya dong! Haruuuuus!"
Kemudian keduanya tertawa lagi. Lalu Hana membuka topik lain, menanyakan perihal anak Hasna yang sedang di rumah kakeknya.
"Mereka masih belajar daring sih, entah kapan masuk sekolah lagi."
Hana tampak memikirkan sesuatu. "Hm … kalau hari libur sekali lagi, ajak dong Hasan main sama kita juga.
"Sama Hana maksudnya?" koreksi Hasna. Dia tahu benar kalau Hana memang masih suka sekali bermain-main layaknya anak kecil.
"Sama calon ayahnya, abangnya Hana alias Bang Hanan." Hana tertawa terpingkal-pingkal dengan reaksi Hasna. Wajah yang memerah, matanya melotot dan terlihat salah tingkah.
"Hana, please … sudahilah candaan-candaan yang begitu."
"Ya, biar jadi doa gitu loh, Has. Awal becanda, eh, jadi serius, jadi beneran terjadi. Macam buku-buku dan film-film. Kan seru!"
"Hana, usiamu udah berapa? Masih aja kekanakan."
Hana tertawa. Bahkan kini Hanan dan Hasna memiliki gaya bicara dan kalimat yang sama persis jika dia melakukan kenakalan. Hasna meneguk minumannya lagi. Hana benar-benar tidak melupakan janji.
"Hasna, kelak kalau dikecewakan, aku tetap membuka tangan untuk diterima sebagai adik ipar."
Hasna sendiri sebenarnya juga menyadari bahwa ada bibit yang tertanam di hatinya. Tunas itu kini kian besar dan tinggi seiring berjalannya waktu. Hasna yakin pohon itu akan tumbuh jika dia tidak menyingkirkan tunas dan membersihkan hingga ke akarnya. Dia khawatir, jika pohon itu tumbuh, dia tidak bisa membendung luapan perasaannya dan menjadi memalukan, meskipun dia tahu, baik Hanan maupun Hana pasti menerimanya. Hanya saja, Hasna tidak tahu, jika Hanan menerimanya, itu atas dasar apa. Masihkah atas dasar cinta kasih seperti dahulu, atau hanya sebatas kasihan. Belum lagi ayahandanya juga putranya. Mereka adalah jembatan yang tidak bisa diprediksikan akan menyelamatkan hubungan atau malah memperburuk. Selama ini dia berusaha untuk tetap menjaga hubungan baik dengan dua kubu. Kubu Hana-Hanan dan Aksa. Hasna, masih diam-diam bertemu dengan Hana untuk menjaga perasaan ayahnya. Demikian pula kepada Hana, dia berbohong kalau dia telah meminta izin ayahandanya. Kebohongan lainnya adalah, dia berkata pada Hana kalau Aksa sudah mulai melunak dan menerima Hana dan Hanan. Hal itu membuat Hana menaruh harapannya kembali untuk menjadikan Hasna sebagai bagian dari keluarganya. Bahkan harapan itu kian besar.