Diraihnya tangan seorang wanita paruh baya yang sudah banyak berkorban untuknya. Lalu, menggenggamnya dan mengamati ujung jemari yang kelihatan pucat. Terlihat kuku sang ibu begitu putih kebiruan, menjadikan perasaan Bagas dan Audrey tidak karuan. Entah mengapa kekhawatiran Bagas berujung kenyataan, ibu mertua yang disayanginya harus masuk ruang ICU. Perdarahan dibagian kepala sangat mustahil bertahan, hanya menunggu pertolongan dari-Mu ya-Rabb.
Suasana rumah sakit membuat kurang nyaman, tercium aroma bebauan obat-obatan. Perawat berpakaian putih-putih mondar mandir melakukan tugasnya melayani pasien yang dirawat di ruang ICU. Pikirannya terus tertuju pada kedua mertuanya. Urusan kantor bisa belakangan. Begitu anggapan Bagas.
Tepat beberapa jam di rumah sakit, panggilan dari kantor muncul di layar ponselnya. sekretarisnya langsung menanyakan ketiadahadiran Bagas di kantor siang ini.
"Halo, Pak Bagas. Di mana posisinya? Bagaimana jadwal pertemuan dengan klien?" tanya Gabriel singkat dan lugas.
"Lanjutkan, Briel. Atur aja dulu, siap amankan!" perintah Pak Bagas dengan tegas.
"Mertua Bagas sedang kritis, kini dirawat di ruang ICU. Aku pun baru mendapat infonya barusan, maaf.... belum sempat memberitahu, Gabriel," Ujarku sambil meminta tolong pada Gabriel mengenai urusan kantor.
"Oh, Gabriel ikut prihatin dengan berita itu, pak. Oke, meeting hari ini, semoga lancar, Satu jam lagi akan dimulai," pungkasnya menjelaskan bahwa klien dari perusahaan lain udah berdatangan ke kantor Bagas.
"Untung masih ada Gabriel seorang karyawan yang loyal pada atasannya," batinku bicara.
Meeting terkait proyek besar, ia sudah menyerahkan file pada Gabriel untuk di presentasikan hari ini. Memang Pertemuan nantinya hanya berpusat di intern saja. Namun, hanya Bagas dan Gabriel yang benar-benar paham akan seluk beluknya.
"Minta tolong, Briel, gantikan Bagas untuk hari ini. Mertua pun nggak mungkin di tinggalin begitu aja, mereka sedang kritis." ujarnya meminta pengertian Gabriel.
Sekilas Bagas dan Audrey menatap wajah sang ibu dari balik kaca ruang ICU, terlihat begitu pias dan melemah. Begitu juga Oksigen dalam darah sudah menunjukkan batasan warning dari layar monitor. Bagas tak kuasa menahan kepiluan ini, dokter tidak bisa melakukan operasi ulang mengingat kondisi ibu mertua semakin drop.
Diciumnya dahi ibu, lalu menggenggam erat dengan kedua tangannya terasa lemah dan dingin.
"Bu, bertahan demi Bapak dan Audrey, " bisik Audrey di telinga ibunya sambil menyebut asma Allah. Audrey tidak tau bahwa ibunya sedang melalui masa kritis.
Diciumnya lagi tangan ibu untuk membangunkan kesadaran yang sudah hampir koma. Tidak ada respon sama sekali lalu mengusap pipi seraya menyentuhnya dengan lembut.
"Ibu, buu...!" bisik Audrey dengan nada memanggil keras, tanpa sengaja mengguncang-guncang badannya yang mulai terkulai lemah.
Seorang dokter dan perawat masuk ke ruangan memeriksa kondisi ibu yang mengalami penurunan kesadaran. Mata Audrey nampak berkaca-kaca menahan rasa perih di rongga yang tak terbendung lagi. Riak kecil menerobos di kedua netranya yang kian deras.
Keresahan menggunung membuatnya termenung saat Bagas dan Audrey harus menunggu ibunya di luar kamar ICU.
"Iya, Gas, aku nggak tega melihat ibu!"
Pasangan muda ini menikmati bulan madu, di rumah sakit, menjagai sang ibu yang sedang sekarat.
Sementara bergantian, Audrey menjenguk bapaknya di ruang rawatan Paviliun. Audrey mengambil sepoci teh dan menghidangkannys untuk bapak.
"Gimana dengan, ibu, nak?"
"Kemungkinan tipis harapan, pak. Audrey gelisah, banget! tidak dapat menemani mama di saat masa kritisnya. Aku sedih, papa!?" ratapan Audrey sangat menohok hati papanya. Sang wanita ini baru married beberapa hari lalu telah menerima kepiluan amat mendalam.
Kulirik jam dinding menunjukan pukul 10 pagi, Bapak, sejak dari tadi tertidur pulas, karena papa sedang merasakan sendu atas apa yang terjadi pada mama.
"Mas Bagas, kamu dimana? Kok, belum nongol, sih! Apa sudah makan, sayang?" Audrey merasakan firasat nggak enak hati. Bagas entah kemana, dari tadi ditungguin.
Aku tahu Bagas penuh pengertian, setiap hari bermodal nasi bungkus saja. Pernah Audrey memasak dengan seluruh cita rasa, tapi ogah disentuhnya. Walaupun demikian aku sangat menyayangi suami pujaan hati. Berharap suatu saat nanti suamiku akan mengerti kalau istrinya sedang belajar memasak. Dan sementara ini hanya membelikam makanan siap saji.
Aku memutuskan menunggu Bagas di kamar bapak sambil menonton acara televisi. Sudah hampir satu jam ku menunggu akhirnya, tertidur di sofa ruangan Bapak. Aku terlelap tidur karena kecapaian banget.
Bunyi siaran dari televisi seketika membangunkanku, kulirik jam menunjukan jam setengah 4 sore. Bagas tidak meneleponku, ada apa ini?"
"Aduh, kemana Bagas tidak menelepon istrinya?" keluhku sembari beranjak dari kamar bapak menuju keluar.
"Kenapa dengan Bagas, tidak seperti biasanya?"batinku.
Audrey melirik kearah pintu depan ruangan, di sana, sudah bertengger mobil Bagas. Ia sedang mengobrol dengan satpam muda kelihatan tegap seperti anggota militer. Bagas sudah lama berada di situ dan hanya diam saja, berarti saat aku tertidur ia sempat tak membangunkanku. Aku senang banget punya suami yang pengertian.
"Bagas tetap siaga menunggu kondisi mertuanya yang dirawat di ruang ICU, ia mengamati perawat dengan stelan baju putih lalu lalang memeriksa ibu mertua yang sedang colaps. Keadaan koma menghambat rujukan ke rumah sakit berfasilitas lengkap di luar wilayah.
"Sudah pasrah aku Mas Bagas?" suara serak diliputi kekhawatiran membuat Audrey putus asa, ia terlonjak kaget ketika ada perawat memanggil namanya.
"Bu-bu Audrey," ucap perawat gugup.
"Ibu...pasien atas nama Nurrahmah sedang kritis, sebaiknya ibu Audrey nunggu di sini aja, di samping pasien," pinta perawat ICU dengan mimik wajah serius.
"Baiklah, suster...,"
"Tolong ibu aku, suster...!?"
Audrey merasa sangat terpukul melihat kondisi ibu sangat memprihatinkan. Ia tak berkuasa menghadapi kesedihan ini. Dengan berdoa mengharap rida dari Sang Rabb. Audrey menyakini yang terbaik buat ibunda tercinta.
Akhirnya berita kepergian ibu harus ia terima dengan keikhlasan.
"Beristirahatlah dengan tenang bu, Aku akan mendoakan kebaikanmu," bisik Audrey di saat ibu telah menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Tiada kesedihan yang paling mendalam selain melepaskan orang yang kita cintai. Namun, rencana Tuhan yang terbaik.
"Maa... maafkan, Audrey? anakmu belum sempat berbakti padamu. Tuhan lebih sayang pada mama. Selamat jalan, mama," gumamnya pasrah.
Genangan air mata seakan tak mau berhenti mengalir. Kesedihanku dan bapak begitu terpukul. Lelaki yang begitu tegas dan sangar pun ambruk seketika begitu mendengar istrinya telah pergi.
"Nak, apa yang terjadi dengan, mamamu?" Tanya papa dengan rasa khawatir, papa menatap sendu putrinya, lalu memeluknya.
Audrey menghampiri ranjang tempat papanya tidur semi duduk, dengan kepala tertunduk menahan kepiluan.
"Ouh, mamaaaa.... kenapa ninggalin papa, hiks...hiks?" raung papa sesenggukan hingga tak sadarkan diri sembari memegang dada sebelah bahu kiri. Keringat dingin bercucuran diiringi nafas yang mengap. Perubahan warna kulit membiru telah mengantarkan Bapak Audrey pergi menjemput ajal bersama istri tercinta. Serangan jantung tak dapat terhindarkan lagi.
Audrey meneteskan air matanya, begitupun dengan Bagas. Lantas dia mengelus punggung Audrey lembut, Bagas pun membiarkan tangisan Audrey yang kian nyesek. Bagas memegang kedua bahu wanita di depannya dan menatapnya sendu.